REFMAL.ID, Ambon – Perkelahian pelajar di Kota Ambon, Maluku, sudah lazim terjadi. Belum ada yang sampai berbuntut pada pembakaran rumah-rumah penduduk sekitar lokasi perkelahian yang tak bersalah dan tidak tahu apa-apa.
Tapi, perkelahian antarsesama siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 3 Ambon di Desa Waiheru, Kecamatan Teluk Ambon Baguala, Selasa (19/8/2025) siang sekira pukul 12.00 WIT hingga pukul 13.00 WIT, tak pantas dianggap sebagai tawuran biasa.
Insiden ini punya dimensi lain dan melahirkan banyak spekulasi. Sebab, ada kelompok-kelompok lapangan (diatur dan dibayar oleh elit politik di Jakarta dan Maluku) yang bermain sebagai provokator hingga menyulut emosi warga Hitu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, yang sudah berada di Tempat Kejadian Perkara (TKP) sejak pukul 12.30 WIT, dengan membabi buta memukul kepala desa Hunuth, merusakan kantor desa Hunuth dan membakar lebih kurang 34 rumah warga Hunuth.
Padahal, tak ada pelajar asal Hunuth Durian Patah yang melakukan penikaman terhadap AP, 17, warga Hitu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, hingga pelajar Kelas XII jurusan Pelayaran SMK Negeri 3 Ambon itu meregang nyawa di ujung belati.
Insiden ini tak patut disebut spontatitas sebagaimana pernyataan salah satu petinggi Kepolisian Daerah (Polda) Maluku dalam jumpa pers di Mapolresta Ambon, Jumat (22/8) siang. Mengapa bukan spontanitas?
Sebab, sejam sebelum insiden pengrusakan dan pembakaran rumah-rumah warga Hunuth, puluhan bahkan ratusan warga Hitu sudah lebih dulu berada di TKP seraya membawa “parang” (senjata tajam tradisional), panah-panah wayer, bom molotov, bensin dan perlengkapan lain untuk ‘berperang’.
DISEBUT ADA DIREKTUR BINMAS POLDA MALUKU DI TKP SEBELUM INSIDEN PEMBAKARAN RUMAH
Informasi yang diperoleh menyebutkan beberapa menit sebelum insiden pembakaran rumah-rumah warga Hunuth Durian Patah yang tak bersalah dan tidak tahu apa-apa, telah ada Direktur Bimbingan Masyarakat (Binmas) Polda Maluku dan sejumlah anak buahnya di TKP.
Untuk apa mereka di situ? Jika untuk tugas negara mengapa mereka tak bisa menghalau mobilisasi massa yang turun dari Hitu ke Hunuth lebih kurang 30 sampai 40 menit perjalanan?.
Ini dua pertanyaan yang layak diapungkan untuk mempertanyakan pejabat dan personel Binmas Polda Maluku di TKP sebelum kejadian terjadi.
Yang patut dipertanyakan juga adalah peran Kapolsek Hitu. Dia dianggap gagal melaksanakan tugas dengan baik dan profesional sebagai Bhayangkara Negara sejati. Usut punya usut ternyata sebenarnya sudah tak betah bertugas di Polsek Leihitu.
Dia ingin cepat-cepat pindah tugas. Sikap tak bertanggung jawab ini pun dilakoni Babinkamtibmas Hitu. Dia layak dicopot dari jabatannya dari Babinkamtibmas Hitu.
EMPATI & HATI PAHIT BUPATI MALTENG “SUDAH MATI
” Banyak analis politik dan hukum yang menyebutkan bahwa insiden pembakaran puluhan rumah-rumah warga Hunuth Durian Patah oleh massa “barbar” dari Jazirah Leihitu, telah direkayasa sebelumnya atau “by design”. Insiden ini setidaknya dapat dikategorisasikan sepaket dengan konflik warga Tial dan Tulehu di Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, sehari sesudah perayaan Idul Fitri 1446 Hijriah pada akhir Maret 2025, dan kasus pembakaran 61 unit rumah warga Masihulan oleh warga Sawai di Kabupaten Maluku Tengah pada awal April 2025. Pertikaian antarwarga yang berbuntut pembakaran rumah-rumah warga tak bersalah, sedikit banyak punya kemiripan satu sama lain. Yang terbaru pengakuan IS yang ditangkap polisi setelah menikam AP, teman sekolahnya di SMK Negeri 3 Ambon di Dusun Hurnala, Tulehu, Rabu (20/8) pagi, bahwa pisau yang dia gunakan untuk menikam AP diperoleh dari salah satu temannya asal Desa Tial. Bukankah warga Tial dan warga Tulehu masih berselisih? Terlepas dari benang merah “kasus per kasus” by design seolah-olah hanya kriminal murni, tapi tujuan di balik semua konspirasi jahat ini adalah mengacaukan stabilitas sosial masyarakat Maluku dan polemik soal perlu tidaknya penambahan anggaran keamanan di daerah-daerah rawan konflik di Leihitu khususnya dan Maluku Tengah pada umumnya. Soal pengalihan isu menyusul penyelidikan kasus-kasus korupsi dana SMI pada sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) termasuk Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Maluku ada benarnya juga.
Terlepas dari semua spekulasi yang berkembang di tengah masyarakat Maluku, “hati pahit” dan rasa empati Bupati Maluku Tengah layak disebut “sudah mati”. Sudah dimakan hewan paling jijik sekalipun.
Sekalipun yang melakukan pengrusakan dan pembakaran puluhan rumah-rumah warga Hunuth dan Durian Patah adalah warganya sendiri dari Hitu, namun orang nomor satu Maluku Tengah itu hanya datang membawa santunan uang dan beras ke rumah AP, 17, warga Hitu, siswa jurusan Pelayaran SMK Negeri 3 Ambon yang ditikam sampai mati oleh rekan sekolahnya IS,19, warga Tulehu, Rabu (20/8).
Bahwa benar keluarga AP adalah korban di satu sisi, tapi di sisi lain keluarga AP dan warga Hitu yang lain tak bisa menolak bertanggung jawab kalau mereka bagian dari pelaku pengrusakan dan pembakaran rumah-rumah warga Hunuth Durian Patah. Di tengah menbanjirnya air mata warga Hunuth Durian Patah, tak ada rasa empati atau menunjukan hati pahit dari bupati Maluku Tengah.
Dia tidak datang meminta maaf ke warga Hunuth Durian Patah. Padahal, selepas puncak Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Provinsi Maluku, Wali Kota Ambon Bodewin Wattimena bergegas datang ke TKP, sedangkan Bupati Maluku Tengah memilih kabur dan mengurung diri di rumah bersama isteri dan anak-anaknya. Ini kepala daerah macam apa. Saat bentrok antarwarga Tial dan Tulehu pada akhir Maret 2025 serta insiden pembakaran kampung Masihulan pada awal April 2025, Bupati Maluku Tengah juga tidak pernah datang ke TKP untuk menenangkan massa, meminta masyarakat tenang dan menyalurkan bantuan. Begitu pun saat banjir dan longsor di sejumlah lokasi tengah mengepung rumah-rumah warga Maluku Tengah, sang bupati juga hanya “tutup mata” dan “tutup telinga”. Orang Betawi bilang “hati pahit lu udah dimakan anjing paling gede!”. Sudah pelit/sakakar dan tak punya rasa empati, bupati Maluku Tengah juga tipikal pimpinan daerah yang telat mikir alias “telmi”. Ketika orang lain sudah datang membawa dan memberikan bantuan barulah bupati Maluku Tengah berbicara di media.
Bupati macam apa ini. Sungguh ironis memang! Setelah puluhan tahun Maluku Tengah dikuasai “rezim” yang membangun “oligarki tou”, sehingga wilayah yang merupakan kabupaten tertua di Maluku ini tertinggal dan menjadi penyumbang kemiskinan tertinggi, seharusnya bupati Maluku Tengah saat ini membawa angin perubahan. Bukan duduk enak di kursi empuk tapi pura-pura tuli akan jeritan minta tolong masyarakat.(Tim RM)
Discussion about this post