Oleh : Asghar Saleh
Referensimaluku.id,-Dua remaja tanggung saling bertukar pukulan. Tangan mereka sesekali menutup wajah. Menghindari pukulan lawan. Seturut itu, kaki-kaki bergerak lincah membawa tubuh menari. Tak ada yang mengalah. Adu pukul itu baru berhenti ketika adzan magrib dari masjid Kesultanan Ternate yang letaknya hanya sepelemparan batu berkumandang. Keduanya saling berpelukan. Kepalan tangan diadu lalu tertawa lepas sebelum berjalan pulang.
Ritual ini nyaris saban sore dilakukan mereka di sebuah gedung yang terletak di pojok selatan lapangan Salero. Heri yang datang lebih dulu selalu menunggu Dani yang masih bermain bola. Lapangan hijau di depan Kedaton Kesultanan Ternate itu tak pernah sepi. Ratusan anak menendang si kulit bundar. Siapa yang datang duluan akan langsung bermain. Berebutan bikin sebuah tim kecil. Ada empat hingga lima tim yang berlaga. Sistimnya kalah-ganti. Yang kalah harus istirahat menunggu giliran lagi. Yang menang jadi raja lapangan.
Dani lahir dari keluarga sepakbola. Papanya – Abdurahman Tomagola – seorang pemain bola yang disegani sebelum banting setir jadi wasit. Mamanya bernama Onya Gani – seorang perempuan sederhana yang sepanjang hidup membesarkan anak-anaknya dengan kasih sayang berlimpah. Keluarga bahagia ini dikaruniai lima anak. Dani anak ketiga. Dua kakaknya perempuan. Setelah Dani, ada satu laki adik perempuan sebelum si bungsu Rizal yang kita kenal sebagai salah satu “attacking midfielder” terbaik yang pernah dimiliki Persiter Ternate.
Karena itu, tak aneh jika saban sore Dani selalu ada di lapangan bola. Ia sempat bergabung dengan klub Sinar Utara. Bakat bolanya moncer dan beberapa kali jadi pencetak gol terbanyak dalam kompetisi antar sekolah. Ia juga terpilih ikut seleksi tim Soeratin. Namun sebuah ajakan dari Heri mengubah jalan hidupnya. Heri – adik kandung petinju nasional Noce Lukman ini adalah karib yang yang tumbuh bersama dalam “kenakalan remaja” saat itu. hubungan keduanya seperti saudara kandung.
“Saya ajak Dani ke Ambon karena dia teman duel. Dia punya bakat berkelahi dan tidak pernah takut siapapun”. Begitu pengakuan Heri ketika berbincang lewat telepon. Heri yang sudah berlatih rutin di sasana tinju Kie Raha Boxing Camp punya Frice Soleman terpilih untuk bergabung di Pusdiklat tinju di bilangan Karang Panjang Ambon. Penampilannya yang menjanjikan di kejuaraan Walikota Cup membuat tim seleksi kepincut. Namun negosiasi keberangkatan berlangsung alot. “Saya ajukan syarat hanya mau berangkat kalo Dani ikut. Tim bingung dan bertanya siapa Dani. Saya bilang itu teman latihan saya”.
Dani yang mendapat ajakan ke Ambon tak kalah bingungnya. Ia tak punya tekhnik bertinju. Namun jiwa mudanya yang selalu memberontak dan persaudaraan dengan Heri membuat dirinya nekad. Siswa kelas tiga SMP Negeri 1 Ternate ini meminta Heri menghadap papanya untuk dapat restu. “Papa hanya berpesan tak boleh putus sekolah” cerita Dani. Heri yang usianya lebih tua jadi jaminan. Berdua mereka ke Ambon dan bergabung bersama atlet dari berbagai daerah.
Masa itu, Maluku Utara yang masih jadi kabupaten sudah lebih dulu mengirim dua atlet. Albert Papilaya untuk tinju dan seorang atlet perempuan cabang tolak peluru bernama Susan.
Ia pindah sekolah ke SMP 1 Ambon dan kelak melanjutkan sekolahnya di STM Kudamati. Di pemusatan latihan itu, Dani dan Heri bergabung dengan sejumlah petinju hebat semisal Nico Thomas, Apeles Letty, Max Auti, Beny Keliombar dan Jopie Akywen.
Mereka dilatih oleh duet pelatih Wiem Gomies dan Otje Tehupeiory. Wiem adalah petinju hebat yang meraih emas pada Kejuaraan Tinju Amatir Asia di Teheran Iran tahun 1971.
Para petinju ini dipersiapkan untuk mengikuti Pekan Olahraga Nasional ke XI di Jakarta tahun 1986. Dani yang masih sangat muda dan minim pengalaman dijadikan “sparring partner”. Ia sering “dihabisi” oleh para senior termasuk Albert Papilaya. Tapi Dani menolak menyerah. Tekadnya untuk jadi petinju hebat justru makin membara. Selain bersekolah, hari-harinya di Ambon dihabiskan di atas ring tinju.
Tahun 1986, Dani terpilih mewakili Maluku mengikuti Kejuaraan Nasional Junior di Bandung. Bertanding di kelas Layang (48 kg), Dani melaju hingga partai final. Ia gagal meraih emas setelah dikalahkan Jhon Maitimu. Setahun kemudian, Dani kembali ikut Kejurnas tinju di Mataram. Ia sukses meraih medali emas. Saat Kejurnas tahun 1988 di Padang, Dani berpindah ke kelas terbang (51 kg). Ia kembali jadi juara dan mempersembahkan emas untuk Maluku. Dari tiga Kejurnas inilah, nama Hamdani Tomagola mulai dilirik dunia tinju nasional.
Maluku kembali memanggil Dani untuk berlaga dalam Pra PON Jakarta tahun 1989. Di partai final ajang Pra PON itu, Dani kalah dari petinju Jogja, Stevanus Herry. Tapi Ia lolos ke PON Jakarta tahun 1989. Di partai final PON, Dani kembali kalah dan hanya meraih medali perak. Ia ditundukkan Herry Maitimu – petinju asal Maluku yang mewakili Jambi. Herry belakangan kita kenal sebagai raja kelas layang di Indonesia.
Gagal di PON tak membuat Dani patah arang. Ia ingat motivasi yang diucapkan idolanya, Sugar Ray Leonard – petinju Amerika yang jadi juara di lima kelas berbeda sepanjang karir profesionalnya. “Tinju adalah tantangan utama. Tidak ada yang bisa dibandingkan dengan menguji diri sendiri seperti yang anda lakukan setiap kali memasuki ring”. Bertinju bagi Dani tak sekedar olahraga. Ia bagian dari tantangan yang harus ditundukkan. Sebuah proses untuk membuktikan jika dirinya adalah yang terbaik.
Usai PON, Ia dipanggil ikut Pelatnas sebagai persiapan ke Sea Games Malaysia. Dani pun pindah sekolah ke STM Budi Utomo yang berada di kawasan Pasar Baroe Jakarta. Latihan makin intensif. Di Kuala Lumpur, anak Ternate ini melaju hingga babak semifinal. Ia gagal ke partai puncak Sea Games setelah kalah dari petinju Thailand. Dani hanya meraih medali perunggu di kelas terbang. Ini medali pertama dalam karir tinjunya untuk Indonesia.
Setelah pesta olahraga Asia Tenggara itu, Dani tetap di Pelatnas. Tahun 1990, Ia ikut kejuaraan tinju dunia di Moskow namun langkahnya terhenti di babak perempatfinal.
Saat Filipina jadi tuan rumah Sea Games ke XVI, Dani kembali membela Merah Putih. Di Manila, langkah Dani melaju hingga partai final. Sayangnya, Ia kembali gagal meraih emas. Adalah Vichairachanon Khadpo, petinju asal Thailand yang menggagalkan ambisi meraih emas untuk Indonesia.
Sadar jika dirinya butuh jam terbang yang lebih lama di dunia tinju internasional, Dani kemudian mengikuti banyak kejuaraan tinju di luar negeri. Tahun 1992, Ia terbang ke Bangkok dan jadi juara di sana saat menumbangkan petinju Mongolia. Dani juga ke Manila dan Tokyo. Di tahun yang sama, Ia jadi bagian dari kontingen Indonesia yang akan berlaga di Asian Games Beijing.
Para petinju sebelumnya menjalani training center di Jerman. Di Jerman pula Dani mulai dilatih oleh Helmut Kruger. Pelatih asal Jerman Timur ini adalah sosok yang sangat berpengaruh dan jadi idolanya. “Gaya melatihnya sangat baik. Ia lebih mengutamakan fisik. baru setelah itu kami dilatih tekhnik dan taktik”. Di Beijing, Dani terhenti di perempatfinal oleh petinju Korea, Li Gwang-sik.
Pulang dari Asian Games, Kruger terus menggenjot Dani dengan latihan yang spartan. Ia juga dikirim ke beberapa kejuaraan amatir dunia di Kanada dan Jerman. Saat Piala Presiden digelar, Dani jadi juara setelah mengalahkan petinju asal Rusia. Ini sebuah capaian karena menurut Dani, petinju asal Rusia adalah lawan terberat yang sering Ia hadapi. Postur mereka tinggi, daya tahannya bagus dan selalu melakukan hit and run.
Saat Singapura jadi tuan rumah Sea Games ke XVII tahun 1993, Dani kembali membela Indonesia. Kegagalan meraih emas di dua edisi Sea Games sebelumnya jadi pelecut. Berbekal persiapan yang lebih matang, langkah Dani melaju hingga partai puncak di kelas terbang. Dan sejarahpun tercipta saat Dani – anak muda kelahiran Ternate 20 Mei 1970 ini – menumbangkan petinju Thailand. Medali emas untuk Indonesia. Emas pertama melengkapi medali perunggu dan perak yang didapat sebelumnya di Sea Games Malaysia dan Filipina.
Selain Dani, petinju asal Maluku Utara lainnya yang menyumbang medali emas adalah Albert Papilaya. Lelaki kelahiran Tobelo 15 September 1967 ini bahkan mencatat prestasi yang hingga kini belum tertandingi oleh petinju manapun di ajang Sea Games. Albert meraih medali emas di lima Sea Games berbeda sejak tahun 1991 hingga 2001. Ini catatan impresif bagi alumni Pusdiklat Karang Panjang. Tak ada yang menyangka jika Dani yang sepuluh tahun sebelumnya jadi lawan tanding Heri di gedung Ngara Lamo akan mengukir prestasi internasional.
“Saya dapat uang bonus 40 juta dan diterima oleh Presiden Soeharto di Bina Graha”. Berjabat tangan langsung dengan Presiden selalu dikenang Dani sebagai sesuatu yang membanggakan. Di Ternate, sukses Dani dirayakan dengan bahagia oleh keluarga. Rizal – bungsu dari lima bersaudara bercerita jika jaket kontingen Indonesia punya kakaknya dipakai dengan bangga kemana-mana. Dani adalah idola. Meski sering “memberontak” di rumah dan hoby tawuran di jalanan, kakaknya adalah tipikal orang yang bertanggungjawab. Ia jadi pelindung yang memberi rasa nyaman.
“Pernah sekali saya kehilangan dompet di daerah blok M saat ikut Persiter main di Jakarta, para preman di situ berkerumun. Mereka tanya ini-itu dengan wajah sangar. Namun begitu tahu saya adiknya Hamdani, para preman itu langsung membantu hingga dompet ditemukan meski isinya sudah tak ada” cerita Rizal tentang kakaknya. Dani masa itu memang punya nama besar. Ia disegani kawan dan lawan. Meski begitu, Ia tak pernah bersikap sombong. Dani punya banyak sekali teman.
Derek Paat, rekan tinju Dani yang kini mejadi pelayan Tuhan di Tobelo menilai Dani adalah sosok yang setia kawan. Ia gemar menolong saat temannya susah. “Orangnya agak cuek dan keras tetapi hatinya sangat lembut”. Pertemanan Dani dan Derek hingga kini terus terjaga. Mereka kadang saling bertukar kabar. Derek di mata Dani adalah rekan seperjuangan yang selalu jadi penengah. Derek juga kerap hadir saat Dani menemui masalah karena temperamennya yang keras.
Berbekal juara Sea Games, Dani masih mengikuti beberapa turnamen level amatir. Juara Nasional kelas terbang sebanyak empat kali ini baru beralih ke dunia tinju profesional pada tahun 1998. Selama dua tahun Ia tampil di beberapa kejuaraan seperti PABA di Thailand, Intercontinental Cup di Australia dan sempat mentas dalam partai tambahan tinju profesional di New York, Amerika. Selepas itu, Dani memilih kembali ke Ternate saat Gubernur Thaib Armaiyn memanggilnya pulang. Ia dijanjikan sebuah sasana dan diminta melatih anak-anak muda Ternate namun keinginan itu tak pernah terwujud.
Lima tahun di Ternate, Dani nyaris tak punya kerjaan. Adalah Walikota Ternate saat itu, Syamsir Andili yang memintanya jadi sopir pribadi saat kontestasi Pilwako tahun 2005. Sopir dinas tak boleh terlibat karena pegawai dilarang berpolitik praktis. Syamsir kembali terpilih jadi Walikota. Dani kemudian diminta jadi pegawai honor di Dinas Perhubungan. Tak lama kemudian Ia lulus tes dan diangkat sebagai pegawai negeri sipil.
Ketika kami bertemu sambil makan bakso di sebuah sore yang basah oleh rinai hujan di bilangan Salero Ternate, ayah empat anak buah perkawinan dengan Svetlana Assor ini mengungkapkan mimpinya yang belum kesampaian. Ia ingin punya sasana tinju yang melatih anak-anak. Dani sama seperti kebanyakan orang yang merindukan kembalinya kejayaan tinju di bumi Moloku Kie Raha. Dulu kita punya kakak beradik Willem dan Albert Papilaya, Rico Maspaitella, Derek Paat, Noce Lukman, Roby Rahangmetan dan Mudafar Dano.
Daftar petinju hebat itu akan bertambah panjang jika kita mengingat nama lain semisal Micho Rasyid, Martin Betawi, Hengky Wattimuri, Ibrahim Syukur, Rusdi Syukur dan Upy Pelu. “Kita punya banyak sekali potensi yang hebat, sayang pemerintah tak terlalu peduli. Tinju bukan lagi pilihan. Banyak sasana yang tak terurus. Atlet berjuang sendirian” keluh Dani.
Cerita tentang Sunan Agung Amoragam, peraih perunggu Asian Games 2018 yang sebelumnya menyumbang medali emas untuk Maluku Utara di ajang PON 2016 Jawa Barat seperti berbanding lurus dengan rasa sesal Dani. Kisah yang sama dialami Diandra Ariesta Pieter, cewek kelahiran Ternate yang dua kali juara dan meraih medali emas Sea Games Vietnam 2021 dan Kamboja 2023 di cabang kickboxing. Saat kembali ke daerahnya, tak ada sambutan apapun. Diandra malah terlihat sendirian naik ojeg saat akan kembali ke Jakarta.
Pada lanskap ini, kita patut merenung. Seberapa besar rasa hormat kita untuk mereka yang sudah berjuang untuk daerah dan negara. Kita punya banyak sekali atlet dengan jejak hebat di dunia sepakbola, tinju dan bulutangkis, tetapi mereka hanya ada dalam ingatan segelintir orang yang masih waras. Manny Pacquiao – petinju Filipina yang begitu dipuja memberi sebuah satire yang menusuk keadaban. “Ini bukan tentang materi. Ini tentang kehormatan yang saya bawa ke negara”. (*)
Discussion about this post