Referensimaluku.id, Ambon – Sesaat lagi genderang pemilihan ketua Majelis Pekerja Harian Sinode (MPHS) Gereja Protestan Maluku (GPM) akan ditabuh.
Bertempat di gedung Gereja Maranatha, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, akhir pekan ini, para utusan dari 34 klasis di Maluku dan Maluku Utara akan menentukan arah perjalanan misi Gereja lima tahun ke depan di tengah beragam tantangan dan kompleksitas persoalan berjemaat dan bergereja yang kian menderu. Terlepas dari implementasi pelayanan yang fluktuatif, pandangan warga jemaat GPM kini lagi tertuju ke Persidangan ke-39 Sinode GPM. Ada apa gerangan? Warga GPM tengah menanti dalam doa dan pengharapan tentang siapa yang bakal terpilih nanti menjadi Ketua MPHS GPM periode 2025-2030 mendatang. Momentum yang dinanti-nantikan ini memang sakral dan krusial.
Harapan sebagian warga GPM ialah beragam kasus dugaan “pancuri kepeng” jemaat di Klasis Pulau Ambon Timur (KPAT) sebesar Rp 6,8 Miliar, kasus-kasus serupa di Klasis-klasis GPM lain, setoran wajib ke MPHS GPM yang tak adil dan terlalu menyiksa jemaat-jemaat, revitalisasi aset-aset bergerak maupun dan tak bergerak milik GPM yang masih berada di ranah hukum, dan masalah-masalag lain yang menggambarkan betapa manajemen GPM masih rapuh dan rentan terhadap potensi “pancuri kepeng” jemaat yang berasal dari persembahan para janda, duda, anak yatim, anak piatu dan anak yatim-piatu maupun keluarga papa. Jemaat dengan keikhlasan memberi persembahan, tapi hamba-hamba pelayan dengan sekenanya menggunakan untuk memperkaya kelompok dan melanggengkan gaya hidup hedonistik.
Hancur pangal-panggal hati jemaat GPM membaca berita-berita yang viral di media sosial. Sudah seharusnya GPM bersih dan keluar dari lingkungan dan kungkungan Hamba-hamba pendusta dan pembohong (“mulut parlente”) yang kerap mencuri kepeng jemaat tapi berdalih dan berlindung di balik kebesaran baju toga hitam. Masuk satu abad perjalanan GPM (6 September 2035 nanti) menabur di kebun anggur milik TUHAN, MPHS GPM sudah harus keluar dari pendekatan birokratif administratif yang serba ketat melebihi SOP (standart operational procedure) pengamanan Ring Satu di Istana Presiden, Jakarta. Yang tak kalah penting, selama hampir seabad berdiri dan menjadi gereja tertua di Asia Tenggara dan Asia Timur, GPM melanggengkan politik primordialistik dan sentimen rasial yang kental sebagai warisan kolonial. Senyatanya hanya pendeta-pendeta asal Lease yang layak menjadi ketua MPHS GPM. “Haram” bagi etnis dan sub etnis lain di Maluku menjadi ketua MPHS GPM. Meminjam istilah Rocky Gerung, bahwa GPM telah lama kehilangan nalar karena dungu. “Dungu” dalam konteks ini bukan cacat intelektualitas, tapi dengan sadar membiarkan dan larut dalam praktik-praktik tidak etis, tidak intelek. Salah satunya membangun “dinasti pembohong dan suka curi kepeng jemaat”. Mencuri itu memalukan, tapi para pelaku yang ada di MPHS GPM merasa tidak bersalah dan bahkan mengalihkan kesalahan dan tanggung jawab ke pihak lain. Tuhan dijadikan subjek alibi dengan pernyataan: “Biar nanti kong Tuhan yang berperkara dengan dorang”. Memalukan.
Mencuri tapi tak merasa malu. Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa saat memberikan sambutan di persidangan ke-39 Sinode GPM, Minggu (19/10) meminta warga GPM harus berani menyuarakan kebenaran. Menyuarakan kebenaran artinya tidak melindungi kejahatan dan kebohongan di dalam Gereja in casu GPM. Jika barisan lama (status quo) yang nantinya terpilih, maka kesimpulannya di GPM masih terlalu kuat dinasti hamba-hamba pendusta dan “pancuri kepeng” jemaat. Siapa Berkompetensi dan Berkarakter Pimpin GPM?
Dari lorong-lorong komisi yang tersebar di berbagai lokasi, suara mulai bergema. Lima nama digadang-gadang maju sebagai calon Ketua Sinode GPM periode 2025–2030. Tiga lainnya mencuat sebagai kandidat kuat Sekretaris Umum (Sekum).Tapi sorotan tajam tak hanya tertuju pada siapa yang akan naik tahta, melainkan pada satu pertanyaan besar: siapa yang berani membongkar gurita lama yang disebut “mafia pancuri kepeng gareja”?
Mereka yang Bertarung di Jalur Ketua Sinode
Lima nama mengapung ke permukaan. Pendeta Izack Sapulette, saat ini Sekum Sinode GPM; Pendeta Rudy Rahabeat, Wakil Sekum; Pendeta Henky Herson Hetharia, eks Rektor UKIM; Pendeta George Likumahua; dan nama yang cukup mengejutkan: Pendeta Daniel Wattimanela.
Nama terakhir ini mulai ramai diperbincangkan. Ia bukan pendeta biasa. Latar belakang aktivisme dan pengalaman organisasi dari kampus, gereja, hingga KNPI Maluku, membuatnya dilihat sebagai sosok ‘non-elite’ yang punya relasi kuat di akar rumput sekaligus piawai membangun jembatan ke berbagai pemangku kepentingan.
Menurut tokoh muda GPM, Leunard Heppy Lelapary, Wattimanela bukan hanya punya kapasitas, tapi juga karakter.
“Ia bukan tipikal pemimpin yang duduk di menara gading. Dia merakyat, peka, dan bisa berkomunikasi lintas batas,” ujarnya.
“GPM butuh pemimpin yang bukan hanya pintar berkhotbah, tapi juga siap melawan arus busuk yang lama mengendap di balik jubah pelayanan.”
Di antara kelima nama, tiga tokoh disebut paling dominan dalam diskusi-diskusi internal: Izack Sapulette, Sony Hetharia, dan Daniel Wattimanela.
Pendeta Rudy Rahabeat? Masih diam. Tak banyak komentar, selain satu kalimat pendek: “Mohon doanya,” seloroh Rudy dikutip referensimaluku.id dari JejakInfo.id, belum lama ini.
Tiga Pendeta Berebut Kursi Sekum
Di posisi Sekretaris Umum, persaingan tak kalah sengit. Tiga nama kini saling beradu kapasitas dan dukungan:
• Pendeta Rein Tupan, Ketua Klasis Tanimbar Selatan,
• Pendeta Max Takaria, Ketua Klasis Ambon Timur, dan
• Pendeta Simon Werinussa, Direktur Balitbang Sinode GPM.
Werinussa disebut sebagai “arsitek sunyi” yang memahami denyut perencanaan dan arah gereja. Tupan dan Takaria, masing-masing membawa latar kuat sebagai pemimpin klasis dan eks pengurus AMGPM, menunjukkan kekuatan jaringan organisasi dan pengalaman lapangan.
Siapapun yang naik, tantangannya bukan hanya administratif. Sekum adalah jantung koordinasi. Dan dalam konteks GPM hari ini, jantung itu butuh keberanian, bukan sekadar ketekunan.
Menyingkap Tabir “Pancuri Kepeng Gareja”
Frasa “pancuri kepeng gereja” bukan sekadar umpatan. Ini adalah luka kolektif yang belum disembuhkan. Dana persembahan yang dikumpulkan dari tangan-tangan renta para janda, duda, anak yatim, anak piatu dan anak yatim-piatu di kampung-kampung, di desa-desa, di negeri-negeri, di ohoi-ohoi, dari receh para janda dan anak yatim, disebut-sebut tak seluruhnya sampai pada pelayanan jemaat.
Yang lebih menyakitkan: ketika berkat yang dikumpul dalam iman, dijadikan alat dagang jabatan dan kekuasaan di dalam tubuh gereja.
“Apakah para hamba-Nya masih bekerja dengan tulus?” tanya seorang peserta sidang yang tak mau disebut namanya. “Ataukah kita masih bermain dalam irama lama: diam-diam saling tutup dosa sambil berdoa keras di mimbar?”
Di balik nama-nama yang beredar, ada bayang-bayang gelap yang tak bisa diabaikan. GPM saat ini tengah bergulat dengan isu serius: dugaan penyelewengan keuangan, audit yang dijadikan alat politik, dan dinamika pencalonan yang dibumbui intrik.
Laporan-laporan soal dugaan “pengganjalan” lewat audit terhadap beberapa kandidat mulai ramai dibicarakan. Isu-isu ini berseliweran di media sosial, dibahas dari warung kopi hingga grup WhatsApp para pelayan dan jemaat.
Wajah persidangan yang seharusnya penuh hikmat dan pengutusan Ilahi, mulai tercoreng oleh aroma kepentingan. Seolah, laporan pelayanan dan keuangan tak lagi jadi pusat perhatian. Semua mata lebih tertuju pada “siapa yang akan duduk di kursi kekuasaan”.
Pertanyaan pun menggelayut di benak banyak jemaat: Apakah gereja masih takut akan Tuhan? Ataukah gaya lama masih dipertontonkan: saling lindungi, saling diam, dan bersandar pada relasi “ade-kaka” dalam teologi dan pelayanan?
Berkat dari Uang Receh Umat, Tapi Ke Mana Larinya?
Tak bisa disangkal: setiap lembar uang receh yang dikumpulkan janda-janda tua, para duda, yatim piatu di kampung, di desa, di negeri dan di ohoi, adalah hasil keringat dan iman. Mereka memberi bukan karena berlebih, tapi karena percaya bahwa gereja adalah tempat suci, tempat pelayanan sejati berlangsung.
Namun keyakinan itu kini diguncang. Lantunan lagu lama kembali relevan: “Banyak kali dosa untung serta damai hilanglah.”
Jika pemimpin GPM yang baru hanya lahir dari lobi, bukan dari panggilan; jika sinode besar ini hanya dijadikan ajang pamer kekuatan politik gereja; jika suara-suara yang kritis dibungkam karena tak sesuai “jalur”; maka jangan harap perubahan akan datang.
Yang dibutuhkan GPM bukan hanya pemimpin yang pandai berkotbah, tapi pemimpin yang berani membongkar pola lama: mafia kepeng, dagang jabatan, dan kompromi di balik mimbar.
GPM sedang berdiri di persimpangan. Apakah sinode kali ini akan menjadi titik balik, atau hanya mengulang pola-pola usang?
Karena jika kita jujur, relasi senior-junior dalam teologi, rasa sungkan, dan politik “ade-kaka” masih kuat mewarnai banyak keputusan. Di atas kertas, semua tampak teratur. Tapi dalam praktik, keputusan bisa ditentukan oleh bisikan dan loyalitas – bukan oleh kehendak Tuhan. Dan selama relasi emosional lebih kuat daripada keberanian moral, maka mafia kepeng akan tetap bercokol.
Arah Angin Belum Jelas
GPM bukan sedang krisis tokoh. Ia sedang krisis kejujuran. Yang dibutuhkan bukan pemimpin yang penuh gelar, tapi pemimpin yang takut akan Tuhan dan jujur pada umat.
Umat di bawah sudah letih dengan permainan kekuasaan di atas. Mereka tetap setia datang ke gereja, tetap memberi dalam keterbatasan, tetap berdoa dalam kesederhanaan. Tapi mereka tahu, ada yang tak beres di atas sana.
Dan suara itu mulai naik ke permukaan.
“Tuhan tak bisa dibohongi. Gereja bukan perusahaan. Ini soal panggilan. Bukan sekadar pemilihan,” begitu suara seorang pendeta senior yang menyaksikan sidang dari jauh.
Satu per satu informasi mulai keluar dari ruang-ruang tertutup. Audit yang digunakan sebagai alat tekan. Upaya mengganjal beberapa kandidat dengan data keuangan dari lembaga-lembaga milik gereja.
Laporan keuangan dan program pelayanan kini hanya menjadi formalitas. Para peserta lebih sibuk memperhitungkan dukungan politik dan manuver menjelang pemilihan.
Persidangan yang seharusnya menjadi ruang sakral perenungan, berubah menjadi medan strategi. Yang dicari bukan lagi jalan terang pelayanan, tapi siapa yang paling lihai memainkan taktik.
Sampai hari ketiga, tensi di ruang-ruang komisi masih terkendali. Tapi semua tahu, ini hanya permulaan. Di belakang senyum ramah dan salaman hangat, strategi sedang disusun, kesepakatan dibangun, dan nama-nama terus dibisikan dari satu ruang ke ruang lainnya.
Apakah Sidang Sinode GPM tahun ini akan mencatat sejarah sebagai titik balik? Atau justru jadi panggung ulangan dari drama lama yang terus berputar?
Sidang Sinode GPM ke-39 bukan sekadar agenda lima tahunan. Ini ujian iman bersama. Akan sangat memalukan jika di balik liturgi dan rapat-rapat mulia, terselip transaksi dan kompromi.
Satu hal pasti: Roh Kudus tak pernah kompromi dengan kebusukan. Dan umat, tak lagi buta. Karena gereja adalah milik Tuhan. Dan Tuhan tak pernah kompromi dengan kemunafikan.
Gereja bukan panggung kekuasaan. Gereja adalah tempat kebenaran, dan hanya kebenaran yang akan memerdekakan. Ambon belum tidur. Umat belum lupa. Dan langit belum berhenti mencatat. (RM-02)
Discussion about this post