Referensimaluku.id,-Ambon-
Oleh : Dr. M.J. Latuconsina,S.IP, MA
Staf Dosen Fisipol Universitas Pattimura
Saat di masa kecil dahulu, kata itu tak asing lagi di indra dengar kita, tatkala ribut-ribut dihadapan radio transistor, maka kawan kita akan katakan ; “coba diam, lalu duduk dan mendengarkan”. Tak lain kita diingatkan saat tengah mendengar drama kolosal melalui radio transistor, yang ditahun 1990-an begitu populer. Betapa duduk dan mendengarkan kala itu, menjadi suatu warning bagi kita agar lebih tertib, untuk menghargai suasana keseriusan yang tengah berlangsung.
Namun dimata Sir Winston Leonard Spencer Churchill (1940-1945), yang populer dengan sapaan Winston Churchill, yang merupakan Perdana Menteri Inggris sewaktu Perang Dunia Kedua, mengatakan lain, dimana bukan hanya duduk dan mendengarkan saja, tapi itu menyangkut dengan keberanian. Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa, “keberanian adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk berjuang dan bersuara ; keberanian juga berarti duduk dan mendengarkan”.
Barangkali seperti aku juga, yang pada suatu hari tengah duduk dan mendengarkan hembusan-hembusan angin, yang menghinggapi dedauan di pepohonan di hadapan saya. Suatu alunan natural yang selalu hadir setiap saat, yang merupakan anugerah dari Sang Maha Agung. Tapi aku tidak dalam posisi seperti yang digambarkan oleh Amir Hamzah (1911-1945), seorang sastrawan Indonesia angkatan Poedjangga Baroe, dalam kata-katanya yang melankolis bahwa, “turun kekasihmu, mendapatkan daku duduk bersepi, sunyi sendiri”.
Oh tidak, aku tidak seperti itu. Idealnya aku seperti dalam gagasan yang disampaikan oleh Jane Austen (1775-1817), seorang novelis berkebangsaan Inggris, yang terkenal dengan gaya realismenya serta uraiannya yang tajam tentang kondisi sosial. Dia mengatakan bahwa, “duduk di tempat yang teduh di hari yang cerah dan melihat ke atas adalah penyegaran yang paling sempurna”. Semoga penyegaran yang paling sempurna itu selalu hadir terus-menerus. (**)










Discussion about this post