Referensimaluku.id, Ambon – Kerinduan sebagian warga Gereja Protestan Maluku (GPM) agar ada ekspektasi baru di balik terpilihnya wajah-wajah baru nan militan, berkarakter dan berintegritas untuk menghiasi komposisi personel-personel Majelis Pekerja Harian Sinode (MPHS) GPM ibarat jauh panggang dari api. Sakit yang belum jua terobati. Tata Cara dan tata tertib pemilihan ketua sinode GPM yang telah digiring ke “sekuler politis” (politik duniawi) dan tak elastis telah “membunuh” harapan sebagian warga Gereja tertua di Asia Tenggara ini untuk meraih harapan baru di balik maraknya kasus-kasus “tou (pancuri) kepeng” jemaat secara masif di bawah naungan manajemen keuangan MPHS GPM. Ini belum termasuk sejumlah kasus-kasus gugatan perbuatan melawan hukum yang telah dan Tengah bergulir di pengadilan akibat klaim GPM atas tanah-tanah milik orang lain, termasuk tanah milik warga yang sudah keluar dari GPM dan beralih ke Gereja denominasi.
Perlu ada keputusan untuk menempatkan auditor eksternal agar laporan keuangan MPHS GPM lebih berimbang dan menutup celah terjadinya kebocoran sana-sini akibat pat-gulipat. Kewenangan menunjuk Tim Verifikasi pun sudah harus diperbaiki, sehingga ketua MPHS GPM tidak seenaknya mengganti ketua Tim verifikasi setelah ditemukan banyak ketimpangan pengelolaan keuangan.
Banyak kasus-kasus pengrusakan rumah-rumah warga GPM dalam perselisihan antarwarga di Maluku yang membutuhkan peran nyata MPHS GPM, tak hanya berdiri di atas mimbar atau diam di belakang meja kerja. Sebetulnya, problem utama di situ ketika MPHS GPM lebih takut kehilangan jatah rutin dari Biro Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Maluku ketimbang berdiri lantang menyuarakan kebenaran sebagaimana pesan teologis Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa dalam sambutannya saat membuka resmi persidangan ke-39 Sinode GPM, yang baru tuntas perhelatannya, Sabtu (25/10/2025).
Senyatanya GPM sudah sekian lama terkungkung dalam pendekatan birokratif administratif. MPHS GPM lebih melakoni diri elitis, lebih eksklusif.
Ruang komunikasi sosial sengaja dipersempit dan sistemnya lebih ketat dari SOP ring satu Pasukan Pengawal Presiden (Paspampres) di Istana Negara Jakarta. Padahal, MPHS GPM terpanggil sebagai pelayan TUHAN yang inklusif, membuka ruang komunikasi, damai, mencair dan mengutamakan pelayanan. Seorang pelayan harus datang langsung ke umatnya.
Bukan bertahan di menara gading. Sudah begitu, banyak masalah sengaja didiamkan dan ditutupi atas alibi wilayah sakral keagamaan yang tak laik disentuh siapa pun. Apalagi diberitakan di media sosial dan media online. Ini sudut pandang dan pola pikir yang kacau. Bukan “dungu” sebagaimana dikonstantir pengamat politik dan ahli filsafat Indonesia Rocky Gerung. Dungu, kata Rocky, bukan persona, tapi nalar yang tidak berfungsinya dan membiarkan kejahatan terjadi tanpa kesadaran untuk menghentikannya. Mereka lupa ketika Reformator Gereja Protestan, Marthin Luther, menempelkan “95 Tesis” kecaman di pintu Gereja Kastil Wittenberg tahun 1517 sebagai protes terhadap penjualan surat pengampunan dosa (indulgensi) oleh gereja Katolik. Jika aliran protestan lahir karena protes yang dilakukan Marthin Luther, seorang Profesor Teologi, komponis, eks imam Katolik dan eks biarawan Agustinian berkebangsaan Jerman lantas “Mengapa MPHS GPM memosisikan diri sebagai hamba-hamba pendiam, takut protes dan alergi kritik?”.
Mungkin banyak hal yang perlu direformasi jika inggin GPM tetap kuat menjadi gereja orang Basudara dan berperan penting dalam pembangunan bangsa. Omong kosong visi GPM itu terwujud jika manajemen MPHS GPM ‘tidak tahu malu’ dan masih tetap mengimplemtasikan apa yang ditulis Profesor Aholiab Watloly dalam bukunya:” Bergereja dengan Roh Sindikat, Sebuah Kritik Eklesiologi”. Kasus “pancuri kepeng jemaat” sebesar Rp 6,8 Miliar di Klasis Pulau Ambon Timur (KPAT) dan kasus-kasus kejahatan bergereja serupa di Klasis-klasis GPM yang lain menjadi bukti otentik betapa selama beberapa dekade MPHS GPM tak lebih dari “sindikat para penyamun intelektual” di dalam Gereja.
Dan anehnya lagi, sosok-sosok yang terpilih sebagai MPHS GPM periode 2025-2030 adalah pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung berada di tengah pusaran kasus “pancuri kepeng jemaat” GPM di KPAT. “Mata hati” para pemilih dalam persidangan ke-39 Sinode GPM boleh saja “buta”, tapi Mata TUHAN tak akan pernah buta. Secara teologis mungkin saja orang berasumsi yang terpilih sebagai MPHS GPM periodesasi lima tahun ke depan adalah hasil gumulan para pelayan. Tapi, jangan lupa dalam kasus “pancuri kepeng” jemaat GPM di KPAT masih terus membahana jeritan dan doa para janda, duda, anak yatim piatu, anak yatim, anak piatu dan keluarga papa yang persembahan syukur maupun perpuluhan mereka semua “dimakan” atau “dicuri” oknum-oknum pelayan pembohong dan penipu dalam sebuah sindikat pelayanan. Warga GPM tak akan pernah lupa soal proses hukum kasus “pancuri kepeng jemaat” GPM di KPAT yang masih menggelantung di ruang penyidik Direktorat Reserse dan Kriminal Umum Kepolisian Daerah Maluku. Ingat Rp 6,8 Miliar bukan uang sedikit jika dibandindingkan masih banyak anak-anak GPM yang hidup susah dan serba kesulitan.
Selamat bagi para pelayan yang dipercayakan duduk di MPHS GPM periode 2025-2030. Ringkas kata. “Jangan melupakan kasus tou kepeng jemaat GPM di KPAT!”. “Jangan sampai dong lupa kasus KPAT. Kita akan kawal kasus ini sampai tuntas,” tegas sejumlah warga GPM, Sabtu (25/10) malam. Jika kasus “tou kepeng” jemaat GPM di KPAT masih terus ingin ditutupi, maka MPHS GPM layak disebut “Sindikat pembohong dan pencuri kepeng jemaat”. Tuhan Yesus memberkati kita semua. (RM-02)
![{"remix_data":[],"remix_entry_point":"challenges","source_tags":[],"origin":"unknown","total_draw_time":0,"total_draw_actions":0,"layers_used":0,"brushes_used":0,"photos_added":0,"total_editor_actions":{},"tools_used":{},"is_sticker":false,"edited_since_last_sticker_save":false,"containsFTESticker":false}](https://referensimaluku.id/wp-content/uploads/2025/10/Picsart_25-10-25_22-50-35-115-750x375.jpg)








Discussion about this post