Referensi Maluku
No Result
View All Result
  • NASIONAL
  • MALUKU
    • AMBON
    • KKT
    • MALRA
    • MALTENG
    • MBD
    • SBB
    • SBT
    • TUAL
    • ARU
    • BURSEL
    • BURU
  • DESA
  • HUKRIM
  • RAGAM
  • OLAHRAGA
    • LIGA 3 MALUKU
    • ALL SPORT
  • OPINI
  • EDITORIAL
  • EKONOMI
  • LOKAL
Youtube
Facebook
  • NASIONAL
  • MALUKU
    • AMBON
    • KKT
    • MALRA
    • MALTENG
    • MBD
    • SBB
    • SBT
    • TUAL
    • ARU
    • BURSEL
    • BURU
  • DESA
  • HUKRIM
  • RAGAM
  • OLAHRAGA
    • LIGA 3 MALUKU
    • ALL SPORT
  • OPINI
  • EDITORIAL
  • EKONOMI
  • LOKAL
No Result
View All Result
Referensi Maluku
Home Opini

Refleksi Menyongsong Persidangan Sinode ke-39 dan Seabad Gereja Protestan Maluku

Oktober 20, 2025
in Opini
0
Oplus_16908288

Oplus_16908288

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsappShare on Email

Referensimaluku.id,-Ambon- 
MENYONGSONG

Baca Juga

Refleksi Kecil Seorang Guru : Guru dan Iqraah

Saatnya Kita Optimis – Jangan Mudah Diprovokasi Aspek Non Tekhnis.

Husain Latuconsina Raih Guru Besar Bidang Biokonservasi di UNISMA

Pdt. (Em.). I. W. J. Hendriks
__________________________________

Bulan Oktober 2025 akan terjadi peristiwa yang sangat penting bagi perkembangan Gereja Protestan Maluku (GPM) ke depan. Di bulan Oktober tersebut akan berlangsung Persidangan ke 39 Sinode GPM yang akan memutuskan hal-hal yang penting dan strategis termasuk pemilihan MPH Sinode GPM yang baru, periode 2025-2030. Di samping itu, tahun 2035 nanti GPM akan genap berusia 1 abad. Peristiwa-peristiwa penting tersebut tidak dapat dibiarkan berlalu tanpa suatu perenungan untuk mengambil makna. Dalam rangka itulah saya pikir baik untuk menyampaikan beberapa catatan reflektif berikut ini.

***KESADARAN PANGGILAN DAN KUALITAS PELAYANAN PENDETA***

Kesadaran panggilan dan kualitas pelayanan banyak pendeta, tidak semua pendeta tetapi cukup banyak, telah menjadi pokok keprihatinan banyak warga jemaat dan anggota Majelis Jemaat.

Ada warga jemaat yang dengan terus terang mengatakan bahwa para pendeta sekarang lebih berorientasi pada kuasa dan uang. Biaya mutasi atau pensiun yang dikeluarkan oleh jemaat sangat besar, melampaui apa yang ditetapkan dalam Peraturan Keuangan dan Perbendaharaan Gereja.

Banyak pendeta yang telah kehilangan empati dalam pelayanan mereka. Mereka kurang memperhatikan pergumulan jemaat yang dilayani. Mereka cenderung lebih memperhatikan yang kaya dan mengabaikan yang miskin. Mereka lebih sering tampil sebagai manajer dari pada gembala; khotbahnya tidak menarik dan doa syafaatnya sangat panjang, hampir sepanjang khotbahnya. Dengan kata lain, spiritualitas banyak pendeta sedang mengalami krisis.

Kondisi seperti ini tidak dapat diabaikan. Ada beberapa usul untuk dipertimbangkan.

1. Penyelenggaraan pendidikan teologi di Fakultas Teologi UKIM harus mendapat perhatian MPH Sinode GPM, mulai dari seleksi mahasiswa baru sampai mereka menyelesaikan studinya. Ada beberapa pokok pikiran yang dapat dikemukakan.

1.1. Test psikologi menjadi bagian menentukan pada test masuk karena diharapkan test tersebut dapat membantu mengidentifikasi apakah kepribadian dan potensi calon tersebut sesuai dengan panggilan pelayanan sebagai seorang pendeta.

1.2. Pengembangan spiritualitas harus menjadi bagian utuh dan “built in” dalam seluruh proses belajar mengajar di Fakultas Teologi UKIM. Ketentuan-ketentuan yang antara lain disebutkan di atas perlu dipertimbangkan dengan baik mengingat Fakultas Teologi UKIM adalah “dapur” yang akan menghasilkan calon pendeta GPM.

2. Pendidikan Kependetaan perlu ditata lagi. Kurikulumnya perlu dimatangkan lagi dengan MPH Sinode GPM. Penyelenggaraannya dapat diserahkan kepada Fakultas Teologi di bawah pengawasan ketat MPH Sinode GPM.

3. Pedoman vikariat perlu dievaluasi lagi. Peran mentor di jemaat perlu dirumuskan dengan baik sehingga para vikaris dapat memperoleh kesempatan yang memadai untuk mengalami dinamika kehidupan jemaat yang diperlukan dalam mengembangkan potensi diri mereka sebagai calon pendeta. Bila kondisi tersebut tidak tercipta, maka mentor mesti digembalakan.

4. Kita berdebat tentang apakah seorang pendeta dapat berpolitik praktis atau tidak. Tetapi jauh lebih penting adalah melakukan transformasi terhadap para pendeta yang “bermental politik transaksional”. Kemandirian gereja perlu dengan tegas diperlihatkan sehingga kita tidak membiarkan diri diperalat dan atau memperalat kekuatan politik dan atau ekonomi manapun dalam masyarakat. Hanya dengan begitu gereja dapat berbicara kepada semua pihak. Oleh karena itu ke depan jangan lagi ada pendeta yang menjadi tim sukses. Jangan lagi ada pendeta yang melakukan transaksi politik dan atau ekonomi dengan pihak manapun. Gereja tidak apolitik. Keterlibatan politik jelas perlu. Tetapi politik gereja adalah politik kerajaan Allah, seperti yang telah dikatakan dalam Ajaran Gereja GPM. Dengan demikian keterlibatan politik dari gereja sama sekali bukan keterlibatan transaksional melainkan transformasional.

***TANGGUNG JAWAB PENGGEMBALAAN***

Fokus pelayanan pendeta umumnya pada ibadah hari Minggu, ibadah sektor, unit, wadah-wadah pelayanan dan ibadah lain-nya. Penggembalaan jarang sekali dilakukan. Ada salah kaprah yang menganggap kegiatan Kunjungan Akhir Tahun atau menjelang ibadah Perjamuan Kudus sebagai penggembalaan. Umumnya kunjungan-kunjungan tersebut diisi dengan sosialisasi Keputusan Persidangan Jemaat, informasi kegiatan pelayanan dan ucapan terima kasih. Jenis kunjungan seperti itu bukan penggembalaan. Karena itu perlu ada upaya sengaja dari gereja untuk meningkatkan kegiatan penggembalaan.

Berikut ini ada beberapa usul yang dapat dikemukakan untuk dipertimbangkan.
Tampaknya perlu ada program dan kegiatan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan menggem-balakan jemaat. Apalagi ada banyak masalah yang dihadapi jemaat baik masalah rumah tangga, hubungan antar tetangga maupun yang berkaitan dengan pekerjaan. Pendekatan yang sering digunakan adalah memberlakukan ketentuan organisasi dengan ketat.

Misalnya bila ada beberapa keluarga karena suatu perselisihan menyebabkan mereka tidak betah di sektornya dan menyatakan pindah ke sektor lain. Masalah ini harus dilihat sebagai masalah penggem-balaan dan bukan masalah tertib berorganisasi belaka.

Karena itu, langkah yang diperlukan adalah langkah pastoral supaya warga jemaat dapat dibimbing untuk menyelesaikan masalah di antara mereka, memulihkan lagi hubungan satu dengan yang lain. Dengan demikian mereka dapat mengalami hidup persekutuan (koinonia) dalam lingkup sektor dan atau unit. Demikian juga pemekaran jemaat harus didahului dengan proses penggembalaan yang matang sehingga tidak menimbul-kan perpecahan dalam jemaat.

Pastor pastorum perlu digalakkan di setiap jenjang kepemimpinan GPM, Ketua MPH Sinode di jenjang sinode; Ketua Klasis di jenjang Klasis; dan Ketua Majelis Jemaat di jenjang jemaat. Pastor pastorum ini diperlukan untuk memberi penguatan dan penyegaran kepada para pendeta, penatua dan diaken yang akan atau sudah mengalami krisis panggilan dan kekeringan rohani. Indikasi terhadap adanya krisis panggilan antara lain seperti yang telah disebutkan di butir I di atas.

Diperlukan suatu tindak penggembalaan yang sistematis terencana dan bertujuan terhadap para pendeta/ pegawai GPM yang bermasalah. Tim pastoral perlu diberdayakan lagi sehingga proses tindak penggembalaan yang dilakukan terhadap pendeta/ pegawai yang bermasalah akan menghasilkan transfor-masi diri dari yang bersangkutan. Langkah-langkah atau tahap-tahap pastoral ini perlu dipikirkan dengan matang.

***PENGGEMBALAAN DAN ADVOKASI TERHADAP PENDETA/ WARGA JEMAAT KORBAN KDRT***

Rumah tangga pendeta sering diilustrasikan seperti orang yang tinggal dalam rumah kaca. Rumah tangga pendeta harus menjadi contoh bagi rumah tangga warga jemaat. Karena itu bagi si pendeta yang tidak mampu menata rumah tangganya dengan baik, maka terhadap pendeta tersebut dikenakan tindak penggembalaan yang bermaksud memberdayakan si pendeta sedemikian rupa sehingga ia pada waktunya dapat menata rumah tangganya dengan baik dan dapat menjadi contoh bagi jemaat. Tetapi pemikiran yang positif ini tidak dapat diterapkan kepada perempuan pendeta yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Penyelenggaraan penggembalaan terhadap mereka yang melakukan (pelaku) dan mengalami (korban) KDRT masih dilakukan dengan paradigma lama, yaitu yang melihat KDRT sebagai masalah privat. Dan karena itu dilaksanakan prosedur standar penggembalaan gereja terhadap mereka yang terlibat dalam KDRT. Tetapi ternyata penggembalaan seperti itu tidak mempan menghentikan KDRT. Seperti dikatakan di atas, prinsip penggembalaan adalah melahirkan kesadaran pada pihak-pihak yang digembalakan untuk menghentikan tindakan/ perbuatan buruk yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Bila nasihat pastoral itu karena satu dan lain hal tidak melahirkan perubahan, maka tindak penggembalaan dapat ditingkatkan dalam bentuk pemberian sanksi. Dalam kaitan dengan KDRT, sanksi itu seyogianya diberikan kepada pelaku, bukan kepada korban. Tetapi karena istri adalah seorang pendeta, pegawai organik gereja, yang harus menjadikan rumah tangganya sebagai teladan bagi warga jemaat, maka sanksi diberikan kepada istri. Penyelenggaraan penggembalaan dalam paradigma lama ini (KDRT sebagai masalah privat) tanpa disadari menjadikan sang istri dua kali korban. Dia menjadi korban kekerasan sang suami yang melakukan KDRT  dirinya dan menjadi korban terhadap kebijakan gereja. Sang isteri terjepit di tengah-tengah dan KDRT tetap berlangsung. Tidak semua istri dapat melakukan perlawanan yang dapat menghentikan KDRT terhadap dirinya.

Tetapi sejak ditetapkannya UU no 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, perlawanan ini bukan perlawanan fisik, melainkan untuk menegakkan hukum sebab KDRT adalah perbuatan melawan hukum. Dengan adanya UU tersebut, KDRT bukan lagi masalah privat sebagaimana yang disangka banyak orang. UU tersebut telah menggeserkan KDRT dari persoalan privat menjadi persoalan publik. Siapapun yang mengetahui terjadinya KDRT dapat melapor ke pihak kepolisian. Gereja pun dapat mengambil inisiatif untuk melakukan proses hukum terhadap suami yang melakukan KDRT terhadap istrinya, baik istrinya seorang pendeta maupun seorang warga jemaat biasa.

Dengan demikian penggembalaan harus berwujud advokasi yang memberi perlindungan terhadap korban dalam rangka memulihkan hubungan-hubungan yang rusak dan dapat berlangsung di luar maupun di dalam pengadilan. Karena itu advokasi sebagai bagian dari penggembalaan tidak bertujuan untuk mengondisikan perceraian. Tetapi upaya memproses penciptaan iklim baru dalam kehidupan berumah tangga di mana cinta kasih suami isteri dapat diwujudkan dalam hal saling menghormati, menghargai dan saling menopang demi kehidupan rumah tangga yang semakin baik.

Proses hukum karena KDRT pun tidak selalu harus berakhir dengan perceraian. Namun bila keutuhan rumah tangga tidak dapat dipertahankan lagi, maka perceraian dapat menjadi pilihan terakhir dan terburuk yang dapat diambil. Gereja dengan demikian jangan terlalu cepat membuang atau mengkarantina mereka yang dianggap bersalah karena mereka dianggap menodai sakralitas gereja. Tekanan terhadap sakralitas gereja jangan sampai membuat gereja menjadi steril, tidak membuahkan kebaikan, dalam hal ini melakukan advokasi terhadap perempuan pendeta dan perempuan warga jemaat yang menjadi korban KDRT.

***PENDIDIKAN YANG DISELENGGARAKAN GEREJA HARUS MERUPAKAN PENDIDIKAN KARAKTER***

Korupsi yang masih sangat sulit diberantas dalam masyarakat dan penyalahgunaan keuangan dalam gereja mengharuskan kita untuk secara aktif turut serta menertibkannya.

Tetapi upaya kita untuk menghilangkan korupsi tidak boleh terbatas pada penyelesaian kasus per kasus. Kita harus melakukan langkah strategis antara lain melalui pendidikan sebagai pendidikan karakter. Kita sering puas dengan pencapaian-pencapaian kognitif. Kini kita sadar bahwa pencapaian kognitif tidak cukup. Kita tidak hanya memerlukan orang-orang pintar melainkan orang-orang bijak yang jujur, kreatif, bertanggung jawab dan berintegritas.
Pendidikan karakter dimulai dari rumah.
Rumah harus menjadi tempat pertama pendidikan karakter diberlakukan. Orang tua memberi teladan dan membiasakan anak-anak hidup jujur, adil, bertanggung jawab, berintegritas, cinta lingkungan, anti kekerasan, gemar melakukan kebaikan sebagai pewujudan hidup yang takut Tuhan. Karena itu pembinaan kepada orang tua perlu dilakukan secara teratur. Antara lain misalnya, lewat Hari Keluarga GPM, dan lain-lain.
SM/ TPI dan Remaja

Tempat berikut di mana pendidikan karakter dilaksanakan adalah Sekolah Minggu/ Tunas Pekabaran Injil dan Remaja. Kurikulum Sekolah Minggu sudah satnya dievaluasi. Kurikulum yang lebih mengutamakan kognisi perlu dikem-bangkan dan diperkaya dengan pendidikan karakter. Bahkan Sekolah Minggu sebagai pendidikan karakter perlu ditekan-kan sekarang ini.
Katekisasi

Mengamati pendidikan katekisasi dan perilaku sidi baru selama ini, saya pikir para pendeta dan Majelis Jemaatt perlu mengamati sejauh mana pendidikan katekisasi mempenga-ruhi tutur kata, tindakan dan perilaku sidi baru. Sejauh mana mereka terlibat aktif dalam pelayanan gereja di jemaat masing-masing. Dalam pengamatan saya yang masih terbatas, pendidikan katekisasi belum mempengaruhi perubahan signifikan terhadap katekisan ketika mereka menjadi anggota sidi baru.

Karena itu saya mengusulkan untuk melakukan evaluasi terhadap kurikulum katekisasi. Dalam rangka itu ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu katekisasi dilihat sebagai pendidikan karakter dan kedua, pendidikan katekisasi perlu dikaitkan dengan pengkondisian katekisan untuk mengembangkan hidupnya, terutama bagi mereka yang tidak dapat atau tidak mau melanjutkan pendidikannya di SMA/ SMK dan perguruan tinggi. Pendidikan katekisasi diupayakan untuk mempersiapkan mereka menjadi petani, nelayan, tukang, jurumasak dan berbagai jenis pekerjaan yang tersedia dalam masyarakat dan atau dapat diciptakan oleh mereka sendiri. Pada waktu mereka sidi, mereka dapat membawa hasil karya sebagai buah dari pendidikan katekisasi sebagai wujud pengucapan syukur mereka. Ada dua hasil positif yang dapat diperoleh, yaitu katekisan lebih siap untuk menjalani dan mengembangkan hidupnya dengan bekal pengetahuan dan keterampilan yang ia terima selama katekisasi dan dengan demikian menjadi anggota sidi jemaat yang bertanggung jawab.

Dan kedua, dalam pikiran dan kesadaran mereka telah “terinstal” relasi yang erat antara apa yang diimani dengan hidup mereka sehari-hari. Tidak ada kesenjangan antara apa yang diimani dan apa yang dihidupi. Dengan kata lain, menghidupi apa yang diimani. Bila waktu pendidikan katekisasi tidak cukup untuk membekali katekisan dengan keterampilan yang diperlukan untuk pengembangan hidup mereka, maka latihan keterampilan dapat dilakukan di AM GPM. Dengan begitu kita memperoleh para pemuda dan pemudi yang dapat diandalkan baik dalam kehidupan bergereja maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

AMGPM

AM GPM adalah wadah pelayanan dan pengembangan potensi pemuda. Karena itu pelayanan pemuda harus juga menjadikan pendidikan karakter dalam pembinaan pemuda.

Selama ini Angkatan Muda telah menjadi wadah pendidikan kader. Kini sudah waktunya AM GPM harus pula menjadikan pendidikan karakter sebagai bagian utuh pembinaan pemuda. Dengan demikian kader-kader yang dihasilkan adalah kader-kader yang berkarakter kristiani yang dapat diandalkan dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat dan berbangsa.

Wadah Pelayanan

Pembinaan di wadah-wadah pelayanan ada baiknya menjadi bagian dari pendidikan karakter. Dengan demikian ada kesinambungan pembinaan sejak Sekolah Minggu sampai pembinaan dewasa.

Di samping itu, ibadah wadah-wadah pelayanan dapat diisi dengan kegiatan peningkatan keterampilan yang dapat meningkatkan pendapatan warga jemaat. Ini merupakan wujud dari upaya menyeimbangkan refleksi dan aksi. Ibadah-ibadah wadah pelayanan dapat dilihat sebagai saat berefleksi yang pada gilirannya menghendaki aksi konkrit dalam hidup bersama berjemaat dan bermasyarakat.

Pendidikan Umum

GPM telah lama melibatkan diri dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui bidang pendidikan, dari Kelompok Bermain (Play Group) sampai Perguruan Tinggi. Masyarakat telah lama memperoleh manfaat dengan adanya sekolah-sekolah umum yang diselenggarakan oleh GPM.

Memang GPM mengalami kendala di bidang dana dan sumber daya guru sehingga banyak sekolah GPM yang terbengkalai. Ini tantangan yang dihadapi oleh gereja dan Yayasan yang diserahi tanggung jawab pengelolaannya.

Persekolahan Kristen harus tetap dilihat sebagai bagian dari tanggug jawab diakonal dari gereja. Ia inheren dalam panggilan pelayanan gereja dan karena itu menjadi tanggung jawab bersama.

Dalam perspektif itu, maka saya memikirkan kemungkinan pengembangan hubungan kemitraan antara klasis atau jemaat yang secara finansial kuat dengan klasis atau jemaat yang secara finansial agak lemah tetapi harus turut membiayai sekolah. Bila satu jemaat terasa berat, hubungan kemitraan ini bisa melibatkan dua atau tiga jemaat.

Kemungkinan kedua adalah UKIM menjadikan jemaat yang terdapat sekolah GPM sebagai jemaat binaan. Dengan demikian UKIM dapat mengalokasikan sejumlah dana untuk fasilitas pendidikan dan gaji guru.
Ciri khas dari pendidkan umum yang diselenggarakan oleh gereja adalah pendidikan karakter.

Ciri khas inilah yang harus kita mantapkan sekarang ketika banyak pemimpin masyarakat dan bangsa dan juga gereja mengalami krisis integritas. Dalam rangka pemantapan itu, kebijakan MPHS menempatkan para pendeta sebagai pimpinan sekolah atau guru bernilai positif. Diharapkan para pendeta tersebut melihat pengabdian di sekolah sebagai wujud panggilannya sebagai hamba Tuhan. Selain itu mungkin kita bisa belajar dari pengalaman sekolah-sekolah Kristen, seperti Penabur atau sekolan-sekolah Katolik, mengintegrasikan pendidikan karakter dalam seluruh proses belajar mengajar di sekolah.

***PENGEMBANGAN PELAYANAN JEMAAT BERBASIS DATA***

Kita bersyukur GPM telah menggunakan prinsip-prinsip manajemen modern dalam mengembangkan organisasi GPM. Dan kita pasti akan lebih mengembangkannya di masa depan. Dalam rangka itu saya pikir ada satu hal yang harus memperoleh perhatian yang serius, yaitu bagaimana para pendeta di jemaat merencanakan pengembangan pelayanan jemaat berbasis data yang benar.

Para pendeta, penatua dan diaken harus betul-betul mengenal jemaat yang mereka layani. Hanya dengan mengenal jemaat kita dapat menetapkan program-program prioritas dalam pengembangan jemaat. Buku John Mansford Prior, Meneliti Jemaat, Pedoman Riset Partisipatoris, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1997 dapat membantu para pendeta, penatua dan diaken melakukan penelitian partisipatoris.

Di lingkungan GPM dikenal prinsip “sentralisasi visi dan desentralisasi prakarsa”. Prinsip ini telah memberi ruang bagi penyeimbangan pendekatan “top-down” dengan pendekatan “bottom-up”. Untuk maksud itu, maka jemaat perlu diberdayakan. Dalam rangka itu kualitas pendeta, penatua dan diaken perlu pula ditingkatkan. Mereka tidak boleh puas melayani secara tradisional. Harus ada keseimbangan antara aktivitas ritual / seremonial dengan upaya meningkatkan kualitas hidup yang utuh dari setiap keluarga dan individu warga jemaat. Karena itu kebutuhan hidup real dari keluarga dan individu warga jemaat perlu diketahui.

Dalam rangka itu penelitian partisipatoris perlu diwujudkan di setiap jemaat. Bila ini dilakukan secara baik maka akan dihasilkan data-data jemaat yang terpercaya. Data-data ini akan menjadi kekayaan berharga bagi Litbang GPM untuk merumuskan kebijakan pengembangan gereja ke depan.

***PENGELOLAAN KEUANGAN GEREJA***

Bila kita berefleksi tentang pengelolaan keuangan gereja di GPM, maka satu hal adalah pasti, yaitu warga jemaat yang kuat, kuat secara finansial dan kuat pula kesadaran memberinyalah yang memungkinkan GPM mengembangkan pelayanannya dengan baik. Itu realitas yang tak terbantahkan namun sering terabaikan atau tidak/ belum cermat diamati.

Karena itu, ketika di tahun 1950 ketika GPM harus membiayai pelayanannya sendiri, ada yang mengatakan bahwa lonceng kematian bagi GPM telah dibunyikan. Tetapi ternyata bukan lonceng kematian melainkan lonceng kehidupan.

Sebab ternyata pekerjaan menanam dan menyiram dari para hamba Tuhan diberkati Tuhan. Kesadaran memberi dari warga jemaat semakin tinggi. Dan ketika kehidupan pribadi dan rumah tangga warga jemaat makin sejahtera, makin besar pula pemberian mereka menopang pelayanan gereja. Karena itu kebijakan pengembangan keuangan gereja tidak boleh berdampak pada pelemahan jemaat. Oleh karena itu ketika kita mau terapkan 30-70 dalam pengelolaan keuangan gereja, maka pertanyaan pokoknya adalah apakah 70% sudah cukup untuk memenuhi tuntutan pelayanan dalam jemaat terutama dimensi pemberdayaan warga? Dari mana kita menghitung 30%? Apakah dari seluruh pendapatan atau pendapatan murni saja? Apakah termasuk persepuluhan, atau persepuluhan dihitung tersendiri? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu perlu didiskusikan. Selain itu perlu disadari bahwa 70% dana jemaat itu bukan dana pemberdayaan melainkan dana pelayanan. Kita kembali kepada pertanyaan pokok tadi, sudah cukupkan 70% itu membiayai pelayanan jemaat? Berapa persenkah dari 70 itu digunakan untuk pemberdayaan? Kalau ternyata, setelah dihitung dengan baik, dana 70% tidak cukup untuk mengembangkan pelayanan jemaat, maka dana tersebut harus dinaikkan menjadi 80, kalau perlu 90%.

Tetapi dalam menentukan persentase ini semua kita yang terlibat harus memiliki hati yang bersih dan spiritualitas yang matang. Jangan ada yang merekayasa data atau mengambil langkah-langkah untuk memperkecil saldo akhir tahun atau mempraktekkan sistem “tagalaya” yang sebenarnya telah lama ditinggalkan. Kita harus bertumbuh bersama. Karena itu kesadaran koinonia harus terimplementasi pula dengan baik dalam pengelolaan harta milik gereja.
Mungkin ada yang bertanya, apakah penetapan persentase tersebut perlu mempertimbangkan pula kebutuhan pelayanan di tingkat sinode dan klasis.

Kita tentu dapat juga mempertimbangkan pelayanan di sinode dan klasis. Tetapi yang paling penting dan tidak dapat dikorbankan adalah pelayanan di jemaat. Apapun yang kita lakukan, pelayanan jemaat tidak boleh diperlemah atau berkurang. Sebab bila jemaat lemah, maka pelayanan gereja tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik.

Dalam kaitan dengan pengelolaan keuangan gereja, maka perlu menegakkan peraturan keuangan dan perbendaharaan gereja menyangkut mutasi dan atau pensiun dari pendeta/ pegawai organik GPM. Biaya yang dikeluarkan gereja berkaitan dengan mutasi dan atau pensiun pendeta/ pegawai organik GPM tidak boleh melampaui apa yang telah ditetapkan dalam Peraturan Keuangan dan Perbendaharaan GPM. Pelanggaran terhadap peraturan tersebut dianggap kejahatan. Tindak penggembalaan perlu dilakukan kepada yang melakukan pelanggaran supaya yang bersangkutan bertobat dan mengembalikan kelebihan uang yang diterima. Bila penggembalaan tidak menghasilkan pertobatan, maka yang bersangkutan perlu menjalani proses hukum. Tindakan tegas perlu diambil terhadap kasus-kasus tersebut supaya ada efek jera dan akibat positifnya adalah penyelenggaraan pelayanan gereja akan semakin tertib.

***MISI DAN BISNIS***

Mungkin ada yang melihat misi dan bisnis sebagai dua hal yang tidak bisa dipertemukan. Mungkin benar, namun tidak selalu demikian. Gereja sebagai lembaga nirlaba memerlukan dana untuk menopang pelaksanaan misinya. Ada lembaga yang dibentuk oleh gereja yang lebih menekankan pelayanan. Ada pula lembaga bentukan gereja yang merupakan lembaga bisnis. Baik lembaga pelayanan maupun lembaga bisnis, ciri kristianinya tetap melekat, tidak dapat dihilangkan.

***PENDIDIKAN***

GPM memiliki dua yayasan yang mengelola pendidikan Kristen, yaitu Yayasan Pembinaan Pendidikan Kristen (YPPK) Dr. J. B. Sitanala dan Yayasan Perguruan Tinggi (YAPERTI) GPM. YPPK mengelola pendidikan dasar sampai menengah, sedangkan YAPERTI mengelola pergurruan tinggi. Beberapa hal tentang pendidikan telah disebutkan di atas, lihat butir IV.6, yang tidak diulangi di sini. Hal penting yang perlu ditekankan di sini adalah profesionalisme, kemandirian dan transparansi dalam pengelolaan lembaga pendidikan. Kalau saya tidak salah ada dana 1% dari APBJ yang diperuntukkan bagi YPPK. Demikian juga ada dana yang dihimpun jemaat untuk menopang UKIM. Harus diusahakan supaya lemaga-lembaga pendidikan ini bisa mandiri dan mampu untuk ikut serta dalam program-program pemberdayaan jemaat/ masyarakat yang dilakukan oleh gereja. YAPERTI dan UKIM telah dapat melakuknnya. Pada waktunya YPPK juga akan mampu melakukannya.

Itu berarti kualitas pendidikan yang diselenggarakan oleh YPPK dan YAPERTI harus selalu diperhatikan untuk terus dikembangkan. Bila pendidikan yang diselenggarakan berkualitas, maka sekolah-sekolah tersebut akan menjadi pilihan masyarakat.

***RUMAH SAKIT GPM/ SUMBER HDUP***

Unsur bisnis dalam pengelolaan Rumah Sakit GPM perlu mendapat perhatian serius. Rumah Sakit GPM pernah menjadi rumah sakit yang maju dan mandiri. Kondisi seperti itu harus dapat dicapai lagi dan dikembangkan lebih lanjut.

Kualitas pelayanan rumah sakit sangat perlu untuk diwujudkan dengan meningkatkan kualitas dokter dan para perawat/ bidan. Kualitas peralatan kesehatan harus juga ditingkatkan. Kalau perlu para pengusaha Kristen dapat dikumpulkan dan memberi kepada mereka kesempatan untuk turut menanam saham. Pengelolaan Rumah Sakit GPM sangat perlu dilakukan secara professional, mandiri, transparan dan akuntabel.

***MEDIA CENTER***

Tidak banyak gereja yang memiliki Media Center. GPM termasuk sejumlah kecil gereja yang memilikinya. Kita mengembangkannya dengan mentautkan misi pelayanan dan bisnis secara proposional. Kemajuan teknologi informasi yang luar biasa sekarang ini perlu disikapi secara kritis, positif, kreatif dan konstruktif/ produktif. Ada beberapa pemikiran yang mungkin dapat dipertimbangkan.

Media center telah berfungsi sebagai media yang menyampaikan informasi tentang berbagai kegiatan gereja di tingkat sinodal, klasis dan jemaat.
Media center juga telah berfungsi sebagai media pemberitaan di mana refleksi-refleksi singkat disampaikan.
Media center juga dapat berfungsi sebagai podcast dengan konten pembinaan dan pemberdayaan.

Media center dapat juga difungsikan oleh MPHS GPM untuk membuat digitalisasi data personalia dan potensi serta kharakteristik jemaat. Data-data tersebut akan mempermatang pertimbangan MPHS GPM dalam menetapkan mutasi dan penempatan pendeta karena kharakteristik pendeta, pengalaman dan prestasi kerjanya yang telah terdata diperhadapkan/ didialogkan dengan potensi dan kharakteristik jemaat. Dengan cara itu kita memperkokoh sistem meritokrasi dalam kebijakan-kebijakan personalia di GPM.

Media center dapat difungsikan untuk melakukan rekayasa sosial dalam arti secara sengaja mengubah pandangan dan perilaku masyarakat dengan menyebarkan nilai-nilai toleransi; kesetaraan; cinta lingkungan; jujur dan bertanggung jawab; kerja keras dan kerja cerdas; anti korupsi; hubungan harmonis dalam keluarga antara suami-istri, orang tua-anak, mertua-menantu, saudara bersaudara; dll.

Hal ini dilakukan melalui drama-drama pendek yang diciptakan. Dengan demikian Media Center dapat berfungsi ganda, yaitu mengembangkan pelayanan dan menjadi sumber keuangan bagi pengembangan pelayanan gereja karena drama-drama pendek dan konten-konten lainnya disukai jemaat dan masyarakat.

***LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN & LEMBAGA PEMBINAAN JEMAAT***

LITBANG dan LPJ dapat juga mengembangkan misi dan bisnis sebagai dua sisi yang bisa berjalan berdampingan. Tentu sebagai lembaga nir-laba bisnis berfungsi untuk mendukung misi yang diemban kedua lembaga tersebut.

Karena itu ada baiknya kedua lembaga diberi keleluasan untuk mengembangkan kedua sisi tersebut secara proposional. Tentu saja semua yang dilakukan akan dipertanggungjawabkan kepada MPHS GPM.

***PENDIDIKAN POLITIK WARGA JEMAAT***

GPM dengan jumlah anggota yang banyak dan tersebar dari kota sampai di desa di Maluku dan Maluku Utara mestinya memiliki peran politik yang signifikan dalam pembangunan bangsa dan negara.

Tetapi warga jemaat belum dipersiapkan dengan baik. Belum ada pendidikan politik yang terencana dan berkesinambungan. Selama ini MPHS GPM mengeluarkan Surat Gembala menyongsong Pemilu.

Peran politik ini harus secara sengaja ditingkatkan. Tetapi perlu diingat bahwa peran politik ini bukan politik kekuasaan yang transaksional. Peran politik gereja adalah politik Kerajaan Allah yang transformasional.

Dalam rangka itu, maka pendidikan politik warga GPM menjadi sangat penting dan mendesak untuk dilakukan. Pendidikan politik bagi warga GPM merupakan proses edukasi untuk meningkatkan kesadaran, pemahaman, dan partisipasi aktif individu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tujuannya adalah menciptakan warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya, mampu memahami isu-isu politik, serta dapat membuat keputusan politik yang bijak dan bertanggung jawab. Pendidikan politik dapat dilakukan melalui berbagai cara seperti materi bacaan, media audio-visual, diskusi interaktif, dan kegiatan sosialisasi untuk membekali masyarakat dengan pengetahuan dan kemampuan berdemokrasi.

Media center GPM dapat difungsikan secara maksimal dalam rangka pendidikan politik warga GPM. Pendidikan politik harus build in dalam keseluruhan penyelenggaraan pelayanan GPM.

KEBUTUHAN TRAUMA HEALING

Maluku dan Maluku Utara pernah dilanda konflik sosial yang dahsyat tahun 1999-2004. Konflik tersebut telah mengakibatkan korban jiwa dan harta. Meninggalkan luka fisik dan terutama luka psikhis.

Tetapi luka psikhis ini tidak pernah dirawat dan disembuhkan. Tidak ada langkah-langkah yang sistematis terencana untuk menyembuhkan trauma. Kita sudah merasa puas dengan penghentian konflik, pembangunan-pembangunan fisik dan budaya diromantisasi. Ketika lagu pela-gandong dinyanyikan semua merasa sebagai saudara.

Tetapi rasa percaya satu terhadap yang lain belum kokoh. Konflik antar desa baik yang seagama maupun yang beda agama menunjukkan adanya luka psikhis yang belum tersembuhkan. Karena itu pemerintah, para tokoh masyarakat dan tokoh agama perlu bekerja sama untuk melakukan trauma healing terhadap masyarakat.

Selain itu ada warga jemaat yang mengalami trauma karena berbagai pengalaman yang melukai jiwa. Karena itu gereja perlu mempertimbangkan untuk mengembangkan Pusat Pembinaan Spiritualitas menjadi Pusat Pembinaan Spiritualitas dan Pastoralia.

PERIBADAHAN

Beberapa waktu yang lalu kita disibukkan dengan perdebatan tentang penggunaan istilah ibadah dan kebaktian. Dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBBI online) istilah kebaktian memiliki arti 1,rasa tunduk dan khidmat; perbuatan (pekerjaan) bakti; kesetiaan; 2. Perbuatan baik; 3. (Kris) perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Tuhan, di dalamnya berisi doa, pujian, dan khotbah; ibadah.

Kata ibadah (KBBI online) berarti perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah, yang didasar ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kata turunannya adalah beribadah yang berarti menjalankan ibadah; menunaikan segala kewajiban yang diperintah Allah. Asal kata kebaktian yaitu bakti dari bahasa sansekerta (bhakti) sedangkan ibadah asal bahasa Arab yang serumpun dengan bahasa Ibrani abodah. Perbedaan pengertian kebaktian dan ibadah adalah ibadah memiliki makna yang lebih luas dan tidak terbatas dalam tempat dan waktu, sementara kebaktian memiliki batasan waktu dan tempat yang lebih spesifik, seperti ibadah mingguan di gereja. Jadi kita dapat menggunakan kedua kata tersebut, misalnya kata kebaktian digunakan untuk aktivitas yang berkaitan dengan tempat dan waktu, misalnya Kebaktian Minggu, Jam Kebaktian. Kita tidak bisa mengatakan, “Marilah kita berkebaktian”. Ungkapan yang benar adalah, “Marilah kita beribadah.” Kata ibadah dengan demikian memiliki cakupan penggunaan yang lebih luas dari kata kebaktian.

Tetapi hal tersebut tidak substansial. Jadi kita tidak perlu membuang energi untuk memperdebatkan penggunaan kedua istilah tersebut. Ada hal yang lebih mendasar yang harus dipikirkan dan dijabarkan dalam proses pelayanan gereja.

Relasi ibadah dan kehidupan sehari-hari.
Di GPM tidak ada hari tanpa ibadah. Kita beribadah dari hari pertama (hari Ahad/ Minggu) sampai hari yang ketujuh (hari Sabtu): ibadah wadah-wadah pelayanan, ibadah unit dan ibadah kunci usbu. Itu berarti ibadah merupakan aktivitas yang penting malah dapat dikatakan terpenting.

Tetapi sering kali ibadah-ibadah tersebut tidak dipersiapkan dengan baik, terutama ibadah Minggu. Khotbah-khotbah sering tidak menjawab pergumulan umat. Doa syafaat sangat panjang kadang-kadang diisi dengan rincian-rincian yang tidak perlu, seolah-olah Tuhan itu tidak tahu apa-apa sehingga pendeta harus merincinya. Akibatnya, doa syafaat hampir sama panjang dengan khotbahnya.

Ibadah-ibadah yang dirancang dan diselenggarakan oleh gereja harus berfungsi transformatif. Relasi ibadah dan kehidupan setiap hari harus erat dikaitkan. Khotbah harus responsif terhadap masalah aktual dalam jemaat sehingga jemaat tercerahkan dan terdorong untuk membarui hidup mereka. Itulah yang diteladankan oleh Yesus dalam Injil-Injil.

Menghidupi/ merayakan kalender/ tahun liturgi.

Salah satu cara untuk erat menghubungkan ibadah dengan kehidupan sehari-hari umat adalah dengan menghidupi kalender/ tahun liturgi. Sejak gereja perdana ibadah dikembangkan dengan mengenang peristiwa-peristiwa yang dialami Yesus dalam rangka menyelamatkan dunia.

Mengenang dalam konteks ibadah merupakan saat ketika kita sendiri “hadir” dalam peristiwa yang diingat dan turut terlibat di dalamnya. Pengalaman ini (turut hadir dalam peristiwa yang dialami Yesus pada masa lalu) akan semakin kuat jika ibadah dikembangkan dengan mengikuti kalender/ tahun liturgi.

Pengalaman inipun dapat menjadi daya yang mampu mentransformasi hidup umat. Kalender/ tahun liturgi ini tidak hanya tertata dalam ritme musiman (masa raya) yang menolong umat mengenang peristiwa besar dalam sejarah keselamatan, tetapi juga tertata dalam ritme tahunan yang menolong umat berlatih untuk memiliki hidup yang sesuai dengan kehendak Kristus.

Dalam praktik di GPM kita sudah terbiasa dengan menggunakan Mnggu-Minggu Adven (I-IV), Natal, Minggu-Minggu Epifania, Minggu Sengsara (I-VII), Jumat Agung, Paskah, Kenaikan, Pentakosta. Di GPM telah ditambahkan juga dengan Hari Pekabaran Injil, Hari Keluarga, ada juga hari Lingkungan Hidup atau Hari Bumi. Kita bisa juga mengikuti tradisi gereja tua yaitu Rabu Abu, Kamis Putih dan Sabtu Sunyi. Bahkan jika mengikuti perkembangan sekarang, gereja-gereja di dunia mulai merayakan Masa Raya Penciptaan (1 September s/d 4 Oktober). Jika kita memandang kalender/ tahun liturgi sebagai suatu ritme tahunan maka hal yang lebih penting adalah bagaimana Kalender liturgi itu diisi dengan kegiatan-kegiatan yang mengajak umat menghayati imannya.

Misalnya Masa Adven dan Natal diisi dengan aksi sosial; Minggu-Minggu Sengsara diisi dengan dengan doa, meditasi, puasa; Masa Raya Penciptaan diisi dengan aksi lingkungan hidup dengan menanam pohon termasuk meremajakan tanaman buah-buahan dan lain-lain.

Ibadah Etnis

Ibadah etnis sudah biasa dilakukan oleh GPM. Minggu ke 5 biasanya diisi dengan ibadah etnis. Ada bainya disampaikan beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Perlu disadari bahwa ada beragam sub-etnis di Maluku dan Maluku Utara. Selain itu di ibu kota Provinsi dan Kabupaten ada orang-orang Kristen, anggota gereja yang berasal dari luar Maluku.

Keragaman itu perlu diperhatikan sehingga tidak ada warga gereja yang merasa terasing dalam ibadah etnis.
Perlu disadari pula bahwa GPM bukan gereja suku tetapi gereja Kristus. Konteks Maluku dan Maluku Utara diperhitungkan dengan serius dalam rangka mengakarkan kekristenan di Maluku dan Maluku Utara.

Tetapi upaya ini tidak berarti menjadikan gereja eksklusif. Dimensi oikumenis dan inklusif dari gereja tidak dapat diabaikan apa lagi dihilangkan.

Kita perlu mengingat kritik James Cone terhadap pemikiran Richard Niebhur yang merumuskan hubungan Kristus dan Kebudayaan. Bagi James Cone, merumuskan relasi Kristus dan kebudayaan harus menyentuh kemiskinan masyarakat. Hal yang sama perlu diperhatikan oleh GPM karena Maluku termasuk ranking keempat termiskin di Indonesia. Mengentaskan kemiskinan harus menjadi panggilan GPM. Kita tidak bisa berhenti pada aktivitas ritual-seremonial melainkan berlanjut pada aksi real, solidaritas dengan mereka yang miskin, lemah dan tertindas. Itulah jalan Yesus yang harus menjadi jalan kita juga.

Penataan Ruang Ibadah

Penataan ruang ibadah perlu dilakukan terutama fungsi dari altar. Selama ini altar menjadi meja persembahan di mana kantong kolekte diletakkan. Kita keliru bila menganggap kolekte yang dikumpulkan sebagai korban dan karena itu diletakan di meja persembahan. Padahal kita tahu bahwa ibadah korban yang dipraktekkan di PL tidak lagi dipraktekkan oleh gereja. Sebab bagi gereja, Kristuslah Imam Besar Agung yang mengorbankan diri-Nya sendiri satu kali untuk selama-lamanya. Kolekte yang kita berikan bukan korban melainkan ucapan syukur kita atas anugerah yang telah Tuhan limpahkan dalam hidup kita.

Dan anugerah terbesar adalah kematian-Nya di Golgota untuk menebus seluruh makhluk dari kuasa dosa. Korban agung inilah yang direpresentasikan dengan piring dan cawan yang diletakkan di altar. Pikiran ini sebenarnya telah dikemukakan beberapa dekade yang lalu tetapi telah salah diinterpretasikan sehingga alat-alat Perjamuan Kudus dimasukkan dalam lemari kaca dan ditempatkan di samping altar. Kini saatnya kita meluruskan pemahaman kita dan menghadirkan simbol-simbol yang bermakna dalam ibadah kita.

Penerjemahan Ulang Lagu-Lagu Dua Sahabat Lama

Buku lagu Dua Sahabat Lama merupakan perbendahaan GPM yang tak ternilai. Lagu-lagu tersebut telah memberi penghiburan dan kekuatan kepada banyak warga jemaat sepanjang sejarah GPM.

Lagunya sudah sangat akrab namun bahasanya sudah sulit dimengerti oleh generasi sekarang. Karena itu penerjemahan ulang liriknya menjadi keharusan. Jemaat harus mengerti apa yang diimaninya. Bila lagu dilihat sebagai ekspresi iman, maka lirik lagu-lagu tersebut harus dimengeri, dihayati dan pada gilirannya turut membentuk perubahan pemikiran, perilaku dan tindakan warga jemaat sehingga semakin kristiani.

PELAYANAN BAGI MEREKA YANG PURNA BAKTI

Tanggung jawab gereja secara khusus kepada para pensiunan pendeta dan pegawai organik adalah memberi mereka pensiun setiap bulan. Selanjutnya mereka dilayani oleh jemaat domisilinya sama seperti anggota jemaat lainnya. Mereka sendiri telah membentuk organisasi pensiunan yang memperhatikan masalah kesehatan mereka dan hal-hal lain. Upaya supaya organisasi mereka diakui oleh gereja sampai sekarang belum diwujudkan.

Saya pikir, dapatkah dibentuk Biro Pelayanan Pensiunan GPM yang secara khusus merancang program pembinaan, pelayanan dan pendampingan bagi para pensiunan tersebut. Para pensiunan tersebut terdiri dari mereka yang masih sehat, kuat dan produktif sehingga dapat dibina dan didampingi untuk diberdayakan, menjadi mandiri sesuai bakat dan kemampuan mereka masing-masing. Selain itu, pengalaman melayani yang mereka miliki dapat menjadi kekayaan tersendiri yang dapat dibagikan kepada yang lebih muda dan masih aktif.

Ada juga yang sudah mulai lemah sehingga memerlukan pelayanan, pendampingan dan penghiburan supaya mereka tetap tabah menjalani masa senja mereka. Pembentukan Biro tersebut dapat dilihat sebagai tanda penghargaan kepada para senior yang pernah turut aktif menanam dan menyiram di GPM.

***PERSIDANGAN GEREJAWI DAN MEKANISMENYA***

Persidangan gerejawi pada hakekatnya merupakan upaya untuk mencari dan memahami kehendak Tuhan bagi gereja-Nya yang melaksanakan tugas dan panggilan Tuhan di tengah dunia. Karena itu persidangan selalu dibuka dalam ibadah jemaat. Dan selalu ada Penelahan Alkitab dalam setiap persidangan walaupun sering diabaikan banyak pendeta. Dan kontribusi hasil PA dalam persidangan GPM perlu lebih diperhitungkan karena persidangan sebagai instansi tertinggi pengambilan keputusan di tingkat Jemaat, Klasis dan Sinode.

Persidangan dapat dilihat sebagai penjabaran prinsip gereja reformasi yang sangat menekankan keterbatasan manusia seperti terungkap dalam tri sola: sola vide, sola gratia dan sola scriptura. Artinya, keterbatasan manusia itu tidak memungkinkan satu orang mengambil keputusan untuk semua orang. Kita memerlukan forum yang kita sebut persidangan. Ada pikiran untuk mengganti istilah persidangan dengan musyawarah. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, persidangan dapat berarti pertemuan. Sedangkan musyawarah berarti pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah. Musyawarah gerejawi berarti pembahasan bersama dalam tuntunan Roh Kudus untuk mencapai keputusan bersama sesuai kehendak Tuhan.

Hal berikut yang tak kalah pentingnya adalah mekanisme persidangan atau musyawarah. Persidangan sering dilaksanakan dalam semangat “menang-kalah”. Karena itu dalam persidangan gerejawi sering terjadi debat yang panas. Peserta sulit untuk saling mendengar.

Dan biasanya voting dilihat sebagai jalan keluar. United Church di Australia mengembangkan mekanisme lain yang disebut Konsensus. Mekanisme pengambilan keputusan ini sudah menjadi mekanisme pengambilan keputusan di Dewan Gereja Sedunia. Ada baiknya mekanisme ini juga digunakan di GPM. Ada buku yang menjelaskan mekanisme konsensus yang dikeluarkan oleh DGD.

Dengan mekanisme konsensus, maka persidangan kita akan semakin gerejawi sebab ada kesempatan untuk saling mendengar argumentasi masing-masing sebelum pengambilan keputusan. Dan keputusan diambil berdasarkan mufakat bersama.

***PEMILIHAN MPH SINODE GPM 2025-2030***

Persidangan ke 39 Sinode 2025 akan menghasilkan pemimpin baru untuk masa kepemimpinan 2025-2030. Sejauh pendengaran saya sudah ada empat nama yang disebut yaitu dua dari kepemimpinan yang sekarang: Pdt, I. Sapulete dan Pdt. Rudy Rehabeat. Dua lainnya adalah Pdt. George Likumahuwa dan Pdt, H. Hetharia. Saya sengaja menyebut nama mereka karena saya berharap kita dengan terbuka, jujur dan bertanggungjawab berbicara tentang para calon ini. Kita hindari kampanye hitam sebab setiap calon memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Kita hindari tindakan-tindakan transaksional apapun bentuknya. Sebab transaksi selalu berorientasi pada kekuasaan padahal pimpinan gereja adalah pelayan dan kepemimpinannya adalah kepemimpinan hamba dan gembala. Karena itu saya berharap keempat saudara sadar bahwa anda berempat bukan pesaing-pesaing yang saling menjatuhkan. Anda berempat harus menjadi orang-orang yang saling melengkapi. Anda tawarkan yang terbaik dari anda untuk membangun tubuh Kristus. Setiap saudara mesti sadar dan yakin bahwa Tuhanlah yang memilih saudara. Keyakinan ini dengan sendirinya menolak cara-cara yang tidak gerejawi dalam seluruh proses pencalonan dan pemilihan. Sejalan dengan itu marilah kita menolak segala bentuk sumbangan atau bantuan apapun dan dari siapapun, untuk menghindari menyusupnya penyuapan terselubung.

Persyaratan bakal calon ditetapkan secara obyektif, misalnya:
Tidak sedang berada dalam proses penggembalaan gereja.
sehat jasmani dan mental/ jiwa yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

Jujur, bertanggung jawab, berintegritas
Tidak berafiliasi dengan partai politik apapun, baik kelihatan maupun terselubung.

Tidak bermental transaksional
Tidak menerima dan atau memberi suap dalam bentuk apapun

Kita berharap para peserta yang memiliki hak suara dapat menggunakan haknya dengan takut akan Tuhan, mendengar suara hati nuraninya, bebas kepentingan pribadi, sadar sepenuhnya bahwa pilihannya berpengaruh untuk perkembangan pelayanan gereja lima tahun ke depan.

***PESAN PERTOBATAN***

Bila kita cukup peka, maka kita akan dapat mendengar dan merasakan ketidak-puasan warga jemaat terhadap pelayanan gereja. Orientasi banyak pendeta pada uang dan kuasa telah menjadi bahan percakapan di antara warga jemaat. Banyak pendeta yang melayani tanpa empati sehingga tidak bisa merasakan kesusahan warga jemaat yang ia layani. Pelayanan pilih kasih juga menjadi gejala dalam pelayanan banyak pendeta.

Banyak pendeta, penatua dan diaken yang suka mabuk. Banyak kasus penyalahgunaan keuangan, perpecahan dalam jemaat dan lain-lain yang terjadi dalam gereja. Ada warga gereja yang terjerat kasus korupsi dan berbagai tindak kejahatan lainnya. Kekecewaan warga gereja terhadap pelayanan gereja tampak dalam tulisan dari Prof. Watloly yang diberi judul “Bergereja Dengan Roh Sindikat.” Tulisan ini akan segera diterbitkan. Tulisan ini merupakan suatu kritik membangun dari seorang warga gereja yang mencintai gerejanya.

Semua keprihatinan ini menyebabkan banyak warga GPM berharap bahwa Persidangan ke 39 Sinode GPM dapat menghasilkan suatu seruan pertobatan bagi seluruh pejabat/ pelayan dan warga gereja. Sudah saatnya para pendeta, penatua dan diaken merevitalisasi kesadaran panggilannya. Sudah saatnya kita sebagai warga GPM untuk membarui hubungan kita masing-masing dengan Tuhan; hubungan antarpendeta, penatua dan diaken; hubungan dalam keluarga; hubungan antartetangga; hubungan-hubungan dalam masyarakat; hubungan dengan alam. Kita perlu sungguh-sungguh membarui hubungan-hubungan tersebut sehingga dapat berdampak signifikan bagi tranformasi gereja dan masyarakat.

Demikianlah beberapa pokok refleksi saya setelah mengamati praktek hidup bergereja di GPM selama ini dan mendengar berbagai keluhan warga dan pelayan GPM. Mohon maaf bila ada yang kurang berkenan. Pokok-pokok refleksi ini lahir dari rasa cinta yang mendalam terhadap GPM dan keinginan yang kuat untuk melihat pembaruan Roh Kudus atas kita semua, pelayan dan warga

GPM.
Kiranya Tuhan Yesus Kristus Kepala gereja, menuntun kita melaksanakan tugas panggilan kita dalam Persidangan ke 39 Sinode GPM 2025 dan menyongsong satu abad GPM.
Kiranya Tuhan Yesus Kristus selalu dimuliakan dalam hidup dan pelayanan kita.

Ambon, 7 Oktober 2025
Pdt. (Em.). I. W. J. Hendriks.  (***)

ShareTweetSendSend

BERITATERKAIT

Refleksi Kecil Seorang Guru : Guru dan Iqraah

Refleksi Kecil Seorang Guru : Guru dan Iqraah

by admin
Oktober 19, 2025
0

Referensimaluku.id,-Ambon-  Oleh :Abu Rery (Pengajar Sejarah Islam di...

Saatnya Kita Optimis – Jangan Mudah Diprovokasi Aspek Non Tekhnis.

Saatnya Kita Optimis – Jangan Mudah Diprovokasi Aspek Non Tekhnis.

by admin
Oktober 8, 2025
0

REFERENSIMALUKU.ID,-AMBON- Kita pernah bermain di Piala Dunia tapi...

Husain Latuconsina Raih Guru Besar Bidang Biokonservasi di UNISMA

Husain Latuconsina Raih Guru Besar Bidang Biokonservasi di UNISMA

by admin
Oktober 5, 2025
0

REFMAL.ID,-AMBON - Oleh : Dr M J Latuconsina...

Merepair Organisasi Pengawas Pemilu

Merepair Organisasi Pengawas Pemilu

by admin
September 16, 2025
0

REFMAL.ID,-AMBON-  Oleh : Dr. M.J. Latuconsina,S.IP, MA Staf...

Menata Batas, Merawat Perdamaian Maluku

Menata Batas, Merawat Perdamaian Maluku

by admin
September 16, 2025
0

REFMAL.ID,-AMBON-  Oleh : Muhammad Emir R Hehanussa (Sekretartaris...

Sri Mulyani Tergusur, Purbaya Naik Tahta

Sri Mulyani Tergusur, Purbaya Naik Tahta

by admin
September 11, 2025
0

REFMAL.ID,-AMBON- Pergantian Menteri Keuangan oleh Presiden Prabowo memantik harapan...

Next Post
Warga Binaan Lapas Tual Panen Sawi Sinta, Wujud Nyata Pembinaan Kemandirian Dibalik Jeruji

Warga Binaan Lapas Tual Panen Sawi Sinta, Wujud Nyata Pembinaan Kemandirian Dibalik Jeruji

Kapolres Tual Beri Penghargaan Personel Berprestasi, Tekankan Etika Pelayanan dan Disiplin Tugas

Kapolres Tual Beri Penghargaan Personel Berprestasi, Tekankan Etika Pelayanan dan Disiplin Tugas

Discussion about this post

Popular Stories

  • Kisah Pasutri Petinju Maluku, Berulang Kali Sumbang Medali di PON, 15 Tahun Honor Tak Diangkat PNS

    Kisah Pasutri Petinju Maluku, Berulang Kali Sumbang Medali di PON, 15 Tahun Honor Tak Diangkat PNS

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lima ABK Sabuk Nusantara 103 Babak Belur Dihajar Oknum TNI dan Brimob, Yermias Minta Danyon dan Dansat Bersikap

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bawa Malut United ke Posisi 3 Liga I, Imran Nahumarury Justru Keluar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Selamat Jalan Kaka Sani Tawainella, Sampai “Baku Dapa” Glend Fredly Latuihamallo di Tengah Cahaya Sorgawi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Delapan Wakil Rakyat Maluku di Senayan Membisu dan “Omong Kosong”, Anggota DPR RI Asal Sulut Bantu Heins Songjanan Siap Dilantik Tamtama TNI

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Kontak Kami
  • Pedomam Media Cyber

© 2022 referensimaluku.id

No Result
View All Result
  • NASIONAL
  • MALUKU
    • AMBON
    • KKT
    • MALRA
    • MALTENG
    • MBD
    • SBB
    • SBT
    • TUAL
    • ARU
    • BURSEL
    • BURU
  • DESA
  • HUKRIM
  • RAGAM
  • OLAHRAGA
    • LIGA 3 MALUKU
    • ALL SPORT
  • OPINI
  • EDITORIAL
  • EKONOMI

© 2022 referensimaluku.id