Referensimaluku.id,-Ambon-
Oleh :Abu Rery
(Pengajar Sejarah Islam di MTsN Batumerah Ambon)
Sebagai seorang guru sejarah, setiap hari saya bergelut dengan buku, artikel, dan bahan ajar. Namun di tengah rutinitas itu, ada satu hal yang selalu menuntut perenungan: sejauh mana ilmu yang saya ajarkan benar-benar hidup dalam diri saya?
Bagi murid-muridnya, guru adalah gudang pengetahuan — tempat segala pertanyaan dilontarkan. Mereka tak peduli apakah pertanyaan itu penting atau remeh; yang mereka tahu, gurunya pasti tahu jawabannya. Dalam pandangan mereka, guru adalah manusia yang serba tahu, yang mampu menjawab setiap kegelisahan dengan keyakinan. Maka, menjadi guru bukan sekadar mengajar, tapi menjadi sosok yang tahu banyak dan mau terus belajar.
Saya pernah mendengar seorang pemateri berkata dalam sebuah forum guru,
“Perintah guru sering kali lebih didengar oleh murid daripada perintah orang tuanya di rumah.”
Kalimat itu melekat di benak saya hingga kini. Sebab di baliknya ada tanggung jawab besar: bagaimana jika yang kita sampaikan ternyata keliru? Bagaimana jika guru hanya bersandar pada satu sumber tanpa meneliti sumber lainnya, lalu mengajarkan sesuatu yang salah? Bukankah bisa jadi orang tua di rumah justru lebih paham daripada guru di sekolah?
Iqra: Titik Awal Revolusi Ilmu
Jika guru malas membaca, maka murid pun akan tumbuh tanpa arah. Dan itu bukan hal yang kita harapkan. Perintah pertama yang turun dari langit adalah “Iqra” — bacalah.
Islam memerintahkan umatnya untuk membaca, sebab membaca adalah kunci membuka cakrawala, memperluas cara pandang, dan memperdalam pemahaman terhadap kehidupan.
Guru yang rajin membaca tidak hanya terpaku pada satu buku atau satu sumber. Ia seperti lautan — luas, dalam, dan menenangkan — mampu menjawab pertanyaan murid-muridnya dengan keluasan wawasan. Namun sebelum berbicara tentang semangat membaca, ada pertanyaan yang lebih mendasar:
Apa yang sebenarnya kita baca hari ini?
Jangan-jangan, waktu kita habis untuk membaca gosip, berita palsu, dan status-status yang tak menambah ilmu. Jika bacaan kita hanya berhenti di sana, lalu apa yang bisa kita bagikan di ruang kelas? Pelajaran berharga apa yang bisa kita tanamkan, jika guru sendiri tidak menyiapkan bekal pengetahuan yang layak untuk murid-muridnya?
Muhammad dan Perintah Membaca
Perintah “Iqra” adalah titik mula revolusi ilmu dalam sejarah manusia. Saat itu, Nabi Muhammad Saw berusia empat puluh tahun — usia matang bagi perenungan dan pencarian makna. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan masyarakat Arab yang dipenuhi penyembahan berhala, ketidakadilan, dan kebodohan, beliau memilih untuk menyepi dan merenungi nasib kaumnya.
Beliau melihat betapa jauh manusia tersesat dari cahaya ajaran para nabi terdahulu. Maka, dalam keheningan malam di Gua Hira — di puncak Jabal Nur, sekitar lima kilometer dari Makkah — beliau menempuh jalan uzlah, mengasingkan diri dari hiruk dunia, mendekat pada Tuhan semesta alam. Bekalnya sederhana: roti, gandum, dan hati yang penuh kerinduan akan kebenaran.
Gua Hira itu kecil dan sunyi — lebarnya hanya sekitar satu setengah hasta dan panjangnya empat hasta. Namun dari tempat sesempit itulah, cahaya ilmu dan peradaban menyala untuk seluruh dunia. Setiap bulan Ramadan, Rasulullah Saw ber-tahannuts, berdiam diri hingga empat puluh hari, menenggelamkan diri dalam zikir dan tafakkur.
Hingga pada tahun ketiga dari masa uzlah itu, turunlah wahyu pertama — sebuah peristiwa agung yang mengguncang sejarah: “Iqra’ bismi rabbika alladzi khalaq.”
Bacalah — dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.
Sejak saat itu, Nabi Muhammad Saw diangkat sebagai Rasul, pembawa risalah ilmu dan cahaya. Para ulama berbeda pendapat tentang surah pertama yang turun — apakah Al-‘Alaq (1–5), Al-Muddatstsir (1–3), atau Al-Fatihah — namun mayoritas bersepakat: wahyu pertama adalah Al-‘Alaq (1–5), yang membawa pesan mendasar bagi manusia: membaca adalah pintu segala pengetahuan.
Adapun Al-Muddatsir menjadi tanda dimulainya misi dakwah, dan Al-Fatihah adalah penyempurna Al-Qur’an — mukjizat abadi yang menerangi akal dan jiwa umat manusia.
Dari Buta Huruf ke Malas Baca
Dahulu, ketika perintah “Iqra” turun, itu adalah seruan besar bagi bangsa Arab yang sebagian besar masih buta huruf — ajakan untuk bangkit dari gelapnya ketidaktahuan menuju cahaya ilmu. Namun hari ini, ironi justru terbalik: kita sudah melek huruf, tapi kehilangan gairah untuk membaca.
Kita hidup di zaman yang segalanya serba mudah — ilmu tinggal digeser di layar, pengetahuan hanya sejauh ketikan jari. Tapi di tengah kemudahan itu, semangat mencari ilmu justru memudar. Soe Hok Gie pernah berkata dengan getir, “Guru yang malas membaca pantasnya dibuang ke selokan.” Kalimat itu seperti tamparan keras bagi siapa pun yang mengaku pendidik namun enggan membuka buku.
Lihatlah, generasi sahabat Rasulullah dahulu menempuh perjalanan jauh hanya untuk menuntut satu hadis, menulis ilmu dengan tinta dan kesungguhan. Sedangkan kita, di zaman yang serba instan ini, bahkan enggan membuka lembaran buku di hadapan mata. Mungkin benar, seperti kata Gie—kita memang pantas diseret ke selokan, jika membaca saja tak mau.
Guru sejatinya adalah buku yang berjalan—sumber pengetahuan yang tak pernah kering. Dari lisannya lahir jawaban bagi rasa ingin tahu murid-muridnya. Tapi bagaimana mungkin ia bisa menjawab dengan benar, jika membaca saja jarang? Sebab satu kesalahan kecil dari seorang guru bisa menumbuhkan kesalahan besar pada murid-muridnya. Maka, membaca bagi guru bukan sekadar kewajiban, tapi napas kehidupan intelektualnya. Karena hanya guru yang terus belajar yang pantas menjadi cahaya bagi anak didiknya.
Penutup
Perintah Iqro itu bukan hanya sekedar ajakan untuk membaca huruf, tapi membaca semesta, membaca diri, membaca sejarah dan tanda-tanda tuhan di balik setiap peristiwa. Menjadi guru adalah bagian dari menjaga api ilmu. Karena dari guru-lah, anak-anak mengenal dunia. Maka jika cahaya itu padam dari sang guru, gelaplah generasi setelahnya.
Kita hidup di zaman yang penuh informasi, tapi miskin makna. Maka tugas guru-lah, untuk menghidupkan kembali semangat iqro dalam diri dan murid-murid kita. Sebab membaca itu bukan hanya membuka buku, tapi membuka jalan untuk peradaban.(***)
Discussion about this post