REFMAL.ID,-Bandung – Di Gedung Merdeka, tempat sejarah Konferensi Asia Afrika pernah digelorakan oleh Bung Karno, Kongres XXII Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) kembali menorehkan jejak penting. Rabu, 30 Juli 2025, menjadi hari kemenangan diplomasi ideologis ketika Risyad Fahlefi resmi terpilih sebagai Ketua Umum DPP GMNI periode 2025–2028, bersama Patra Dewa sebagai Sekretaris Jenderal.
Dalam gedung yang sarat sejarah perjuangan bangsa, Risyad tak hanya memenangkan suara, tetapi juga hati para kader. Ia menempuh jalan yang tidak gaduh, jalan marhaenis, jalan Bung Karno. Bukan manuver kasar dengan kekuatan fisik atau dominasi logistik, melainkan pendekatan persuasif, konsolidasi ideologis, dan semangat gotong royong.
Di tengah potensi konflik yang kerap menaungi kongres-kongres GMNI, Risyad hadir sebagai jembatan. Ia membuktikan bahwa GMNI bukan ruang adu otot, melainkan arena peradaban gagasan. Pendekatannya mengingatkan kita pada gaya Bung Karno, yang membangun bangsa lewat meja perundingan.
Risyad merangkul semua faksi. Ia membuka ruang dialog dengan semua kader, ia mudah ditemui dan hubungi, bahkan dengan yang paling berseberangan ia menjalin komunikasi. Ia sadar: GMNI hanya akan besar jika mampu menyatukan, bukan memecah. Dan itulah nilai yang ia bawa, marhaenisme bukan hanya soal keberpihakan pada rakyat kecil, tapi juga keberanian untuk menciptakan harmoni dalam keragaman, apa yang ia mulai di gedung Merdeka maka harus ditutup juga di gedung merdeka.
Kemenangan Risyad bukan sekadar hasil suara, tapi kemenangan nilai. Dalam pidato perdananya, ia menegaskan bahwa GMNI ke depan akan tetap setia di jalur ideologi marhaenis, menjadi organisasi kader yang mendidik dan melahirkan pemimpin untuk rakyat, sebab Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktik, seperti kata bung Karno dalam Tulisan Marhaen dan Marhaenisme, 1933, bahwa “Marhaenisme adalah ajaran untuk memerdekakan manusia dari segala bentuk penindasan, bukan hanya politik, tapi juga ekonomi dan budaya.”
GMNI kini berada di tangan pasangan Risyad Fahlefi dan Patra Dewa, keduanya dipilih secara resmi dan sah oleh kongres sesuai dengan AD/ART organisasi. Bukan hanya sah secara struktural, tetapi juga sah secara moral: karena mereka menang dengan kepala dingin, bukan menciptakan forum tandingan di jalanan.
Sejarah mencatat, di Gedung Merdeka, tempat Bung Karno pernah berdiri memimpin forum Asia-Afrika, telah lahir kembali seorang pemimpin muda GMNI yang menyalakan api perjuangan yang sama. Kini, tantangan besar terbentang, namun kemenangan Risyad Fahlefi dalam kongres diraih melalui jalan ideologi, diplomasi, dan marhaenisme. Barangkali inilah saatnya kebangkitan itu dimulai, ketika diplomasi marhaenis kembali bergema dalam denyut perjuangan kader GMNI.
Bagi kader GMNI seperti Risyad, tantangannya bukan hanya tampil gagah di depan panggung-panggung forum, tetapi berani masuk ke dalam lumpur rakyat. “Turun ke bawah”, sebagai keharusan ideologis. Ia harus mampu membentuk basis, mengorganisir kaum muda para bung dan sarinah, buruh, tani, nelayan, serta kelompok marjinal dalam satu kesadaran kelas, konsolidasi ide dan kaderisasi yang berpijak pada ajaran Marhaenisme, di mana kaum kecil tidak hanya diajak bermimpi, tapi juga diajak menguasai alat perjuangannya.
Maka GMNI harus menghidupkan kembali api ideologi itu. Kader-kader harus menjadi suluh “berani menyalakan obor perubahan dari gubuk ke gubuk, dari lorong ke lorong, dari kampus ke kampus,”. Bung Karno pernah berkata dalam pidato di Kongres GMNI tahun 1965 “Saya percaya bahwa kalian, kader-kader GMNI, adalah pelanjut revolusi ini. Kalian bukan kader sembarangan. Kalian adalah Marhaenis yang tahu bahwa revolusi bukan berhenti di kemerdekaan, tetapi terus berlanjut di bidang sosial dan ekonomi.”
Sebagai penjaga api ideologi, Risyad sudah tentu berkeinginan untuk memperkuat struktur dan kaderisasi secara masif, lalu membentuk pusat-pusat gerakan rakyat berbasis Marhaenisme dan Mengembangkan sayap gerakan ke komunitas minoritas, pinggiran, dan terpinggirkan secara harmoni. “Kalau kita ingin Indonesia kuat, maka kita harus mulai dari kaum muda yang berpikir, bergerak, dan berjuang dengan semangat ideologi yang jelas.” Bung Karno, dalam Kongres Pemuda Indonesia, Yogyakarta, 1956.
Dengan keyakinan itu, mari kita jalani jalan panjang ini. Jalan yang tak menjanjikan kemudahan, tapi penuh kemuliaan. Karena seperti kata Bung Karno di Sidang Umum PBB tahun 1960: “Let us not be afraid to dream. Let us not be afraid to act. Let us not be afraid to struggle!”.
Penulis adalah seorang Romli (rombongan liar) yang terbiasa hadir di kongres, bukan pemilik suara, bukan kacung siapa-siapa – Yohansli Noya (*)
Husain Latuconsina Raih Guru Besar Bidang Biokonservasi di UNISMA
REFMAL.ID,-AMBON - Oleh : Dr M J Latuconsina...
Discussion about this post