REFMAL.ID,-Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, perjalanan spiritual ke tanah suci menjadi simbol harapan kekuatan bagi jutaan umat Islam, di seluruh dunia. Namun, di balik ritual yang suci, terdapat kisah perlawanan dan realitas yang tidak kalah penting untuk diungkap. Perjalanan haji bukan hanya pada batas ritual keagamaan. Tetapi juga bagian dari ajang perjalanan melawan penindasan dan ketidakadilan yang masih menghantui dunia. Di balik tabir ritual-ritual yang khidmat terdapat kisah-kisah heroic dan pengorbanan yang patut diingat dan dijadikan inspirasi untuk kita semua.
Realitas Haji Dulu dan Kini
Ibadah haji merupakan ibadah yang identik dengan ibadah universal. Dalam ibadah haji tidak hanya manusia berhubungan dengan Allah Hablum min Allah saja namun ada interkasi manusia dengan manusia Hablum min al-nas, yang boleh jadi keduanya tidak ada hubungan kekerabatan namun disatukan dengan persaudaraan atas agama yakni Ukhuwah Diniyah, harus ada keselarasan antara Hablum min Allah dan Hablum min al-nas, yakni hubungan vertikal manusia dengan Allah dan hubungan horizontal manusia dengan manusia.
Mahmud Al-Istanbuli, seorang Ilmuwan asal Turki menulis, Ibadah Haji adalah sambungan Islam paling positif untuk melahirkan manusia-manusia ideal yang satu hati dan satu amal yang selalu dicita-citakan para filsuf, sejak masa Plato, Al-Farabi, Thomas Morus sampai era filsuf hari ini. Prof Muhammad Athiyyah Al-Abrassyi dalam bukunya yang berjudul: “Keagungan Muhammad Rasulullah” dilukiskan ibadah haji sebagai perjumpaan kaum muslimin sedunia di tanah suci, dimana terasa betapa hangatnya semangat Islam, demokrasi Islam, persamaan penuh antara kaum kaya dan kaum miskin, kekuatan jiwa tauhid dan hanya takut kepada Allah.
Haji Sebagai Simbol Perlawanan
Pada abad ke-19 dan di awal abad ke-20 banyak Negara-negara Islam di Asia dan Afrika dijajah oleh Negara-negara Eropa, seperti Inggris , Perancis dan Belanda. Kolonialisme memberi dampak besar pada kehidupan social, ekonomi, dan politik masyarakat Muslim. Banyak muslim merasa bahwa kolonilisme yang dilakukan barat mengancam nilai-nilai keislaman mereka. Apalagi dengan visi-misi yang mereka bawah dengan 3 G itu, Glory, Gold dan Gospel. Memenangkan tempat jajahan seluas-luasnya merampas kekayaan tempat mereka jajah sebanyak-banyaknya dan terakhir menyebarkan ajaran mereka.
Hal ini membuat kaum muslimin resah, sehingga ibadah haji menjadi tempat titik kumpul mereka, disana, kesadaran politik mereka tumbuh dan keinginan melakukan perlawanan kepada penjajah kemudian cukup besar. Di tanah suci,simpul-simpul jaringan perlawanan kemudian terbentuk. Banyak pejuang kemerdekaan dan aktvisi Islam menjadikan haji sebagai kesempatan membangun aliansi perlawanan.
Apalagi para haji-haji yang menunaikan ibadah haji itu paham betul tentang nilai-nilai yang ada pada ritus haji. Bahwa nilai dari ibadah haji itu adalah kesetaraan, keadilan dan kebebasan. Sehingga mereka melihat bahwa ibadah haji yang mereka tunaikan adalah ibadah untuk terbebas dari penjajahan dan merdeka di tanah sendiri.
Perlawanan para haji itu bisa kita lihat dalam catatan sejarah, Aceh misalnya. Di abad ke – 19 para pejuang yang berasal dari Aceh menunaikan ibadah haji. Selama dalam ibadah itu mereka mengumpulkan simpul-simpul perlawanan. Setelah pulang mereka kemudian bersatu melawan penjajahan yang dilakukan oleh Belanda.
Di Libya, ada gerakan Sanusi, gerakan ini menggunkan ibadah haji sebagai kesempatan untuk membangun jaringan dan solidaritas dengan muslim lain di Afrika dan Asia serta melakukan perlawanan melawan kolonialisme terhadap Italia. Di India, para haji-haji yang pergi ke tanah suci juga demikian, mereka membangun simpul-simpul perlawanan untuk melawan penjajahan yang dilakukan Inggris kepada Muslim India.
Jadi, Haji itu bukan hanya pada batas ritual yang kemudian menghadirkan gelar pada nama depan kita. Tapi dia juga menjadi bagian dari strategi mengumpulkan simpul dalam melawan penjajahan. Sebab nabi juga begitu dalam ritual ibadah Hajinya, setelah dakwahnya yang panjang di Madinah, beliau bersama para sahabat melaksanakan ibadah Haji dan kemudian mengancurkan berhala-berhala yang disembah kaum Quraish pada masa itu.
Kalau para haji dahulu mengisi nya dengan membuat simpul-simpul perlawanan, haji masa kini mengisinya dengan apa? Apakah hanya dengan menambah pada gelar di depan namanya saja atau ada dampak perlawanan yang bisa mereka bawa pulang setelah kunjungan ke tanah suci yang berhari-hari itu. Kalau hanya pada batas-batas ritus tanpa ada gerakan social yang mereka ikut atau mereka bangun di dalamnya serta mengambil peran yang besar dan bisa membawa dampak besar pada umat. Atau justru malah kemudian jauh dan melemah untuk berdiri dengan umat. Sungguh gelar hajinya hanya sebatas gelar tidak ada yang bisa kita banggakan dengan gelar baru mereka itu.
Haji, Mari Melawanlah…. (*)
Penulis : Abu Rery
Pengajar Pada MTSN Batu merah Ambon
Discussion about this post