Referensimaluku.id, Ambon – Kuasa Hukum Ahli Waris Josfince Pirsouw, Rony Samloy, S.H., meminta kepala kantor Pertanahan Nasional Kabupaten Seram Bagian Barat agar mencecek dan dapat menarik kembali lebih kurang 200 sertifikat hak milik (SHM) tidak sah alias bodong/tidak terdaftar yang sudah beredar luas di tangan masyarakat di zaman Marsembun.
“Sebab jika 200 sertifikat tersebut tidak dicek dan tidak ditarik, maka masyarakat akang mengangap sertifikatnya sah,apalagi mereka sudah membayar pajak,” kata Samloy kepada Referensimaluku.id, Senin (1/12).
Menurut Samloy, sertifikat/SHM yang diterbitkan semenjak tahun 2006 di Tanah Urik/Teha milik Josfince Pirsouw dan ahli warisnya kebanyakan tidak mempunyai alas hak dan tidak terdaftar dalam Buku Tanah dan praktik melanggar prosedur penerbitan SHM itu marak terjadi di zaman kepala Kantor Pertanahan Nasional Kabupaten SBB almarhum Marsembun.
“Ada juga sertifikat yang luas tanahnya hanya 1 hektar, tapi dibikin jadi 2-4 hektar. Kami akan menyurati kepala BPN SBB yang baru ini untuk tidak serta merta mengukur kembali atau melakukan pengembalian batas tanpa melibatkan klien kami selaku ahli waris pemilik sah dari Tanah Urik/Teha tersebut. Hal ini perlu diwanti-wanti sedari awal agar tidak terjadi permasalahan hukum serius di kemudian hari,” ingatnya.
Samloy mengungkapkan adapun ke-200 lebih ‘SHM bodong’ alias sertifikat yang tidak terdaftar di dalam buku tanah itu baru terkuak pada zaman kepala kantor pertanahan Kabupaten SBB yang lama Petrus Tehupeiory. “Memang pada waktu itu Pak Petrus Tehupeiory berjanji untuk menyelesaikan beban peninggalan Pak Marsembun di mana di zaman Pak Marsembun banyak sekali kantor pertanahan Nasional SBB menerbitkan SHM tanpa melalui mekanisme, tidak mempunyai alas hak berupa Surat Keterangan Tanah, sehingga SHM tersebut tidak terdaftar dalam buku tanah, memakai blanko-blanko kosong SHM lalu dibuat begitu saja tanpa alas hak,” sebutnya.
“Kami juga mengimbau para pemilik SHM agar dapat membantu pihak Kantor Pertanahan Kabupaten SBB dalam melacak SHM bodong tersebut dengan mendatangi kantor pertanahan untk mengadakan pengembalian batas sekaligus penetapan batas bersama-sama dengan klien kami selaku Ahli Waris pemilik sah Dusun Urik/Teha karena kebanyakan masyarakat berpikir jika tanahnya sudah bersertifkat maka itu sudah resmi dan sah.
Tapi kalau ternyata setelah dicek kembali SHM mereka tidak terdaftar maka pasti masyarakat akan menyesal. Kami juga meminta Kepala kantor pertanahan Kabupaten SBB yang baru agar berhati-hati dalam mendaftarkan SHM yang tidak melalui prosesur karena apabila sudah didaftarkan juga akan bermasalah di kemudian hari apabila terjadi gugatan di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara,” jelasnya.
Samloy juga mengimbau kepala desa (kades) Piru jangan sekali kali membuatkan SKT hanya berdasarkan katanya-katanya atau hanya ‘dengar-dengar’ dari mulut katanya punya tanah, tapi proses pembuatan SKT harus berdasarkan surat kepemilikan yang jelas. “Surat yang katanya-katanya harus sudah diuji di pengadilan atau ada harus putusan pengadilan yang inkracht tentang tanah yang diklaim sebagai milik tersebut, agar di kemudian hari jika terjadi gugatan di pengadilan maka Raja atau Kades bisa mempertanggujawabkan tindakan yang dilakukannya,” ujarnya.
Terkait dengan status tanah Dusun Urik/Teha di Piru, lanjut Samloy, hanya ada putusan Pengadilan Negeri Masohi Nomor register : 23/Pdt.G/2018/PN.Msh antara Josfince Pirsouw melawan Nicodemus/Niklas Pirsouw, Wampine, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan kawan-kawan dan putusan Pengadilan Tinggi Ambon Nomor Register: 58/PDT/2019/PT Amb yang memenangkan Josfince Pirsouw atas klaim Tanah Urik/Teha seluas lebih kurang 1.000 hektare dan kepemilikan atas objek sengketa seluas lebih kurang 10 hektare di mana kedua putusan a quo telah berkekuatan hukum tetap (inkrachf van gewijsdezaak).
Belum ada putusan lain yang sifatnya telat membatalkan putusan No.23/2018 dan putusan No.58/2019 yang memberikan kekuatan hukum penuh bagi Josfince Pirsouw dan ahli warisnya untuk mengklaim kepemilikan atas tanah Urik/Teha. “Jadi kalau ada orang-orang yang datang menggunakan putusan tidak jelas atau putusan kalah, serta datang menunjukkan surat-surat yang tidak jelas karena belum pernah diuji di pengadilan sebaiknya ditolak Kades Piru untuk tidak membuat SKT bagi masyarakat yang tertipu ulah para penipu tersebut,” tutup Samloy. (RM-03)










Discussion about this post