REFMAL.ID, Jakarta-Dalam beberapa ajang politik belakangan ini sangat tampak adanya gejala, di mana sumber daya alam dan anggaran negara menjadi taruhan dalam setiap ajang perebutan kekuasaan politik melalui pemilihan langsung. Gejala ini begitu nyata, tetapi sangat sulit untuk diberantas. Politik biaya tinggi menuntut hampir semua calon untuk memperoleh dukungan finansial. Situasi ini tidak jarang menjadikan sumber daya alam sebagai objek barter dana politik.
“Saya tidak menuduh, tetapi ada gejala seperti ini dan Maluku yang juga menggelar pemilihan kepala daerah saya khawatir tidak lepas dari gejala seperti ini. Untuk itu, kita perlu ingatkan semua pihak agar tidak menjadikan kekayaan alam di Maluku, seperti pertambangan, minyak dan gas menjadi alat barter politik. Karena ini akan mengorbankan nasib rakyat,” jelas Direktur Acrhipelago Solidarity Foundation, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina di Jakarta sebagaimana diteruskan ke referensimaluku.id, Rabu (4/7/2024).
Menurut Engelina, dalam berbagai percakapan dengan para elit politik dan para politisi, semua membicarakana politik pilkada dengan pembiayaan politik. Sebab, para bakal calon kepala daerah dituntut untuk mengeluarkan biaya politik untuk mengantongi rekomendasi, termasuk biaya untuk melakukan konsolidasi dan sosialisasi politik.
“Kita harus jujur, kalau sebenarnya kita sudah terjebak dalam sistem politik yang berbiaya mahal, sehingga para calon melakukan apapun untuk memperoleh dukungan finansial. Salah satu yang bisa mempertemukan kepentingan para pemilik modal dan politisi, ya pengelolaan sumber daya alam. Sebab, tidak ada pemodal yang mau mengeluarkan biaya tanpa mempertimbangkan keuntungan yang diperoleh,” jelas Engelina.
Menurut Engelina, meski samar-samar, tapi tetap saja terdengar adanya kepala daerah dan politisi yang sebenarnya merupakan merupakan kaki tangan dari pemilik modal. Secara pribadi, jelas Engelina, sangat berharap ini tidak terjadi di Maluku, karena kekayaan alam Maluku harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat.
“Saya memang sudah dengar adanya informasi yang seperti itu. Dunia Migas dan pertambangan ini pemainnya tidak banyak, sehingga sangat mudah untuk dideteksi, siapa melakukan apa dan siapa yang di balik pengelolaan Migas. Sebagai senior, saya wajar mengingatkan, karena itu akan mempertaruhkan nasib rakyat,” tutur Engelina.
Puteri dari Tokoh Pelopor Industri Migas JM Pattiasina ini mengatakan, Maluku memiliki kekayaan emas, nikel, minyak dan gas. Belum lagi bicara mengenai kekayaan hasil laut, yang kalau dikelola dengan baik, lebih dari cukup untuk mensejahterakan Maluku. “Pemodal mana yang tidak mau masuk ke Maluku? Karena kekayaan Maluku ini menjadi incaran dari pemodal dalam dan luar negeri. Jadi, tidak keliru kalau kita saling mengingatkan, agar kekayaan alam yang ada di Maluku tdaik dijadikan alat barter demi kekuasaan politik. Jabatan politik bukan segalanya yang harus diraih sedemikian rupa, meski kita tidak sadar telah menghancurkan kepentingan rakyat yang semestinya dibela sebagai mandate suci seorang politisi,” tegas Engelina.
Menurut Engelina, dirinya perlu mengingatkan karena dari percakapan dengan berbagai kalangan memperoleh indikasi kalau kekayaan alam menjadi alat bargaining politik lokal. Untuk itu, kalau ada yang berpikir bahwa apa yang dijanjikan dan dipertaruhkan dalam dalam pilkada merupakan rahasia bisa jadi keliru, karena sebenarnya percakapan seperti itu muncul dalam berbagai obrolan ringan di kalangan elit pemodal dan elite politik.
Dia menyontohkan, karena ada di beberapa wilayah ada yang menjadikan “Participating Interest” (PI 10%) di bidang minyak bumi sebagai kolateral politik untuk mendapat biaya kampanye calon kepala daerah dari investor. Sangat baik kalau diingat kembali bahwa PI 10% adalah milik rakyat. Rakyatlah yang berhak mendapatkan manfaat dari bagian industri minyak di wilayahnya.
“Saya kira perlu ada kesadaran bersama untuk memutus mata rantai dari praktik politik yang justru menempatkan kepentingan rakyat dalam posisi kritis. Saling menyandera dan mungkin juga mengkooptasi kepentingan rakyat untuk kepentingan politik pragmatis. Apa politik seperti ini? Semestinya politik dimaknai sebagai alat perjuangan dan bukan menjadikan jabatan politik sebagai kepentingan tertinggi di atas kepentingan rakyat,” kata Engelina.
Engelina mengatakan, Maluku memiliki Blok Masela, minyak dan nikel di Pulau Seram, dan emas di Pulau Buru, sehingga kalau tidak hati-hati dan dibarter dengan kepentingan politik pragmatis, justru sangat kontraproduktif dengan upaya untuk mencapai kesejahteraan di Maluku. Untuk itu, Maluku membutuhkan pemimpin yang tidak mudah didikte berbagai kepentingan yang berseberangan dengan kepentingan rakyat.
“Masalahnya, hal ini tidak mudah karena membutuhkan figur yang cerdas, berani dan memiliki keberpihakan yang nyata terhadap kepentingan rakyat. Sekarang ini, sistem politik memaksa para politisi untuk takluk dengan para pemilik modal. Jadi, jangan sampai, masa jabatan lima tahun digadaikan, karena hal itu sama dengan menggadaikan kepentingan rakyat. Ini tidak boleh terjadi,” tegas Engelina.
Untuk itu, Engelina mengharapkan, agar semua elemen pemuda, tokoh agama, mahasiswa dan ilmuwan bisa bersama-sama mencermati gejala politik mutakhir, sehingga jangan sampai terjadi sebaliknya, justru para elemen yang menjadi benteng untuk mengawal kepentingan rakyat dan umat, justru larut dalam melegitimasi praktik politik yang justru menjadikan kepentingan rakyat terabaikan. “Saya tidak naif, politik saat ini membutuhkan biaya, tetapi ada batas-batas kewajaran yang harus menjadi prinsip dalam setiap tindakan politik. Kalau uang menjadi ukuran semata-mata dalam berpolitik, maka kita hanya menghabiskan energi untuk menggelar setiap ajang pemilihan, karena sejatinya tidak membawa perubahan apapun bagi nasib rakyat,” jelas Engelina.
Sekali lagi, kata Engelina, semua elemen harus bersatu padu untuk meredam politik yang hanya mengandalkan kekuatan uang. Sebab, ketika meraih jabatan, hanya memikirkan pengembalian modal dan mengumpulkan uang untuk kepentingan politik berikutnya.
“Kalau kita terjebak dalam siklus seperti ini, maka sebenarnya rakyat hanya dibutuhkan pada saat pemilu. Kita hanya menjadi singa yang membela kepentingan rakyat melalui slogan kosong, tetapi sebenarnya semua itu hanya make-up untuk memoles kepentingan ekonomi pribadi dan golongan dengan menjadikan rakyat sebagai objek politik,” jelas Engelina.
Menurut Engelina, para politisi dewasa ini hanya dihadapkan pada dua pilihan, menjadi politisi bebek yang hanya mengikuti arus utama, dimana praktik poltik sebagai hal biasa ataukah menjadi politisi rajawali yang rela terbang tinggi meski sendirian untuk menjaga prinsip politik kerakyatan. “Sikap ini hanya bisa kita lihat dari apakah sekadar mencari jabatan politik ataukah menjadikan politik sebagai alat perjuangan.
Semuanya kembali kepada pilihan politik masing-masing. Tapi, kalau saya ditanya, ya lebih baik menjadi politisi yang berintegritas daripada menikmati politik glamour di atas penderitaan rakyat,” tegas Engelina.(RM-03)
Discussion about this post