REFMAL.ID,Ambon- Ada yang janggal dan tidak adil di kasus “pancuri kepeng” Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Pengadaan Barang dan Jasa atau belanja barang dan modal Politeknik Negeri Ambon (Polnam) Tahun 2022 yang digelar di Pengadilan Tipikor Ambon, Senin (22/4/2024).
Di lanjutan sidang “tou kepeng” dari DIPA belanja barang dan jasa pada Polnam Tahun 2022 sebesar Rp. 72 Miliar itu hanya menjerat tiga orang terdakwa, yakni mantan Wakil Direktur (Wadir) II Bidang Keuangan, Umum dan Kepegawaian Polnam Fence Salhuteru, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) rutin Wilma Ferdinandus dan PPK proyek Christine Siwalette.
Sedangkan Direktur Polnam Daddy Maihuru (DM) selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Wakil Direktur (Wadir) III Bidang Akademik Polnam Leonora Leuhery diduga kuat sengaja diloloskan penyidik walaupun senyatanya kedua pejabat teras Polnam ini turut menikmati aliran kepeng di balik kasus “pancuri kepeng” di DIPA Polnam tahun 2022.
Sekalipun penyidik perkara a quo diduga “masuk angin”, tapi semua berjalan biasa-biasa saja tanpa perasaan bersalah. Prosesnya tersaji tidak adil dan tebang pilih. Ini aneh tapi faktanya nyata dan terungkap di persidangan.
Dalam persidangan ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Ambon menghadirkan tiga orang saksi memberatkan masing-masing Direktur Polnam Daddy Mairuhu (DM), Wadir III Bidang Akademik Polnam Leonora Leuhery dan mantan bendahara Polnam Emy Wairata.
Berdasarkan fakta persidangan perkara ini, Senin (22/4) malam, semua jawaban DM selaku direktur Polnam dan KPA di Polnam berkelit tidak tahu atau lupa.
Padahal, sebenarnya DM selaku direktur Polnam ini harus tahu karena dia KPA yang menandatangani semua anggaran yang ada/dikucurkan di Polnam. Berdasarkan tugas pokok dan fungsi, DM selaku KPA di Polnam yang membuat dan menandatangani Surat Keputusan (SK) untuk semua kegiatan di Polnam, sehingga sangat lucu dan sarkastik jika DM dalam kedudukan selaku KPA di Polnam selalu berkelit seraya mengatakan jika dirinya tidak tahu dan lupa. DM selaku direktur Polnam diduga sengaja “bloon” alias tidak waras untuk menghindari tanggung jawab.
Menariknya lagi di persidangan perkara yang diketuai majelis hakim Wilson Shriver Manuhua didampingi dua hakim anggota Pengadilan Tipikor di Ambon itu menyajikan fakta tentang aliran “kepeng” (uang) yang diterima oleh direktur Polnam, DM.
Fakta itu tersaji usai saksi DM dicecar Hakim Wilson tentang aliran dana kasus “pancuri kepeng” di DIPA Polnam tahun 2022. Meski awalnya saat dicecar hakim Wilson DM menyangkali atau membantah kalau dia tak terima aliran kepeng di kasus “pancuri kepeng” (korupsi) polnam itu, tapi akhirnya DM mengaku berdasarkan bukti Surat Pernyataan Pertanggungjaban Mutlak (SPTJM) yang ditandatanganinya saat ditunjukkan Hakim Wilson jika DM menerima Rp. 48 Juta.
“Apakah benar berdasarkan SPTJM ada sekian anggaran yang kamu (saksi Daddy Mairuhu) terima,” cerca hakim Wilson. Jawab DM mengakui “Ia Yang Mulia. Mohon maaf saya lupa, saya ada terima sejumlah Rp. 48 juta”.
Setelah mendengar pengakuan saksi DM, Hakim Wilson kemudian memerintahkan agar yang bersangkutan mengembalikan sejumlah uang tersebut pada awal Juni 2024 nanti.
“Harus dikembalikan pada awal Juni 2024, “ cetus Hakim Wilson.
Tak hanya DM, Wadir III Bidang Akademik Polnam, saksi Leonora Leuhery juga mengakui jika dirinya menerima aliran “kepeng” di balik kasus “pancuri kepeng” di Polnam Tahun 2022.
“Saya juga terima Rp. 39 juta. Awal Juli 2024 saya akan kembalikan sesuai perintah Yang Mulia Hakim,” cetus Leuhery tanpa merasa bersalah.
Usai persidangan pada Senin (22/4) sekira pukul 23.45 WIT malam itu, Hakim Wilson kemudian menutup persidangan dan memberitahukan persidangan akan dilanjutkan pada Senin (29/4) pekan depan dengan agenda yang sama yakni pemeriksaan saksi saksi JPU.
Usai persidangan, kuasa Hukum Terdakwa Fentje Salhuteru, yakni Hendri Lusikooy saat diminta tanggapan terkait fakta persidangan enggan berkomentar meski ada fakta keterlibatan DM selaku Direktur Polnam yang dapat dijerat Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Lusikooy lebih memilih menyerahkan secara menyeluruh kasus tersebut ke pihak berwenang dalam hal ini Kejari Ambon dan Hakim Pengadilan Tipikor Ambon untuk ditindak sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Terkait fakta baru dalam persidangan kami menghormati itu dan juga kami menyerahkan secara keseluruhan perkara ini kepada Hakim dan juga jaksa. Sebab bagi kami persidangan masih berlanjut,” kilah Lusikooy. (Tim RM)
Discussion about this post