Oleh : Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA
Staf Dosen Fisipol, Universitas Pattimura
REFMAL.ID,-AMBON- Pada dekade 1980-an, karya-karya sastrawan kiri Indonesia, Pramoedya Ananta Toer berupa novel dilarang beredar oleh Pemerintah. Pelarangan itu, lantaran dianggap meresahkan masyarakat hingga membahayakan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Hal ini relevan dengan pernah aktifnya Pram di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), suatu organisasi berhimpunnya para sastarawan/seniman, yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada zamannya.
Meskipun dilarang oleh Pemerintah kalah itu, namun pada penghujung Pemerintahan Orde Baru karya-karya sastawan yang pernah diganjar Pablo Neruda Award dalam bidang sastra dari Chili di tahun 2004 itu, banyak dibaca para aktifis di tanah air, yang beredar dalam bentuk foto copy dari tangan ke tangan. Karya-karya Pramoedya Ananta Toer pernah dilarang di zaman Orde Baru. Orang-orang menikmatiknya sembunyi-sembunyi, takut ditangkap polisi. Betapa saat itu, Pemerintah begitu kuatir dengan karya-karya sastawan kelahiran Bolara, Jawa Timur ini. (Kompas, 2019).
Tapi rupanya Pemerintah kala itu, tidak hanya melarang karya-karya para sastrawan Lekra saja. Namun juga melarang karya-karya para ilmuan, yang menarasikan komparasi pembangunan ekonomi Indonesia dengan sesama negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur, dengan menjadikan Jepang sebagai pionir untuk memajukan negara-negara itu. Salah satu karya lawas itu yakni, “Kapitalisme Semu Asia Tenggara” (KSAT/”The Rise of Ersatz Capitalism in South-East Asia”), yang ditulis Yoshihara Kunio.
Buku karya ilmuan berkebangsaan Jepang ini, dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung pada 10 September 1991. Pasalnya buku ini dianggap mendiskreditkan Presiden. Kejaksaan Agung menilai bahwa dalam KSAT itu Yoshihara Kunio telah menuliskan hal-hal yang dianggap mendiskreditkan Presiden. “Kunio membuat perbandingan yang keliru tentang pemerintah Indonesia dengan pemerintahan mantan Presiden Ferdinand Marcos,” begitu siaran pers Kejaksaan Agung. Namun, Kunio, penulisnya, tak merasa membandingkannya dengan Marcos. Pekan lalu dilarang beredar. (Tempo, 1999). (*)
Discussion about this post