Oleh Eliot Otmudy
Jurnalis dan Pengamat Komunikasi
REFMAL.ID,- AMBON –Saya merasa lucu ketika membaca postingan salah satu pemimpin organisasi ternama dalam cuitan di salah satu kolom grup percakapan Media Sosial (Medsos) dan juga menyikapi argumen Asal Bunyi (Asbun) sejumlah orang yang mengatakan bahwa, penggunaan diksi atau pilihan kata “Oknum” melulu mengandung konotasi negatif alias jelek. Padahal sejatinya yang bersangkutan tak menyimak objektifitas keseluruhan pengertian dasar dari diksi ini, kterutama dalam konteks pembicaraan di ranah publik.
Kemudian, sebagai seorang penyuka karya tulis – dalam hati saya muncul pertanyaan: Alasan dan dasar apa yang melatarbelakangi paradigma atau cara pandang penafsiran subjektif tanpa didasari data baku menyangkut pengertian penggunaan diksi “Oknum” di dalam kedangkalan otak cara berpikir bersangkutan.
Sebab rasanya cuitan itu terkesan bukan dilontarkan dari bibir seorang berintelektual mumpuni tetapi boleh dibilang memakai ‘bahasa pasar’ yang membingungkan dan mengaburkan arti dan nalar berpikir luas yang sulit dicerna sesuai takaran pembicaraan orang yang menggunakan standar logika kritis.
Dan tentunya, ini menjadi paradoks karena dinilai tak objektif dan cukup mengusik nalar pikir sehat, berintelektual serta luas dan objektif sesuai konteks perihal topik pembicaraan di publik.
Padahal sejatinya bila sebuah kata yang dimuat sudah pasti memiliki pengertian dan asal-usul suatu kata itu berasal, dan sudah pasti semua pihak sepakat memahami betul dan menelaah asal -usul kata itu. Maka diksi “Oknum” harus diketahui pertama adalah asal-muasal muncul kata “Oknum” itu dari mana, dan bagaimana definisi serta cara penggunaan kata tersebut (?) sesuai aturan baku (Misalnya berpatokan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI), dan pengertian umum lain yang disampaikan para pakar tata bahasa atau linguistik yang lebih mengetahui persis penggunaan diksi tersebut dalam suatu konteks kalimat atau penulisan sehingga tak mengaburkan arti kata yang sebenarnya secara subjektif yang mengarah kepada pengertian sempit saja, sehingga mempengaruhi pikiran orang yang mengarah ke ranah negatif semata, terutama menyangkut pribadi tertentu dalam suatu konteks realita persoalan yang sebenarnya.
Tentunya jangan hanya bicara ‘asal bunyi’ tanpa mempunyai dasar pengetahuan Intelektual luas tentang asal-usul suatu kata berseta definisi dan pengertian literatur baku ketatabahasaan yang benar, sebagaimana salah satu hal yang menjadi rujukan dan pedoman – seperti yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau definisi lain dari pengertian para pakar yang ahli soal ketatabahasaan Indonesia yang benar.
Sehingga boleh dibilang jangan asal omong tetapi sebenarnya tidak tahu persis tentang apa yang diomongin tentang pokok pengertian dan asal-usul kata tersebut tetapi hanya “Asal bunyi” dan percaya diri dengan melontarkan kalimat di wall grup, dimana rata-rata orang di dalam grup itu mempunyai tingkat intelegensia yang mumpuni.
Jika kurang literasi bahasa, kan bisa saja berpedoman dari literatur kebahasaan baku sesuai pengertian tafsiran umum yang diberlakukan, sehingga tak terkesan memberikan penilaian subjektif berdasarkan kedangkalan intelektual tentang penafsiran paradigma diksi “Oknum” melalui ‘Kaca mata kuda’ yang ada pada cara berpikir dalam kungkungan otak sempit tentang ketatabahasaan pengertian.
Mengambil sumber penjelasan dari pakar tata bahasa, Ivan Lain. Dia mengatakan, kata “Oknum” berasal dari bahasa Arab “Uqnūm” yang artinya merujuk pada individu atau orang.
Pakar ini menjelaskan, diksi “Oknum” yang ditulis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki tiga pengertian.
Pertama, kata “Oknum” dipergunakan dalam agama Kristen Katolik menjurus ke Pribadi (Tritunggal Mahakudus atau Tiga Keesaan Tuhan). Kedua, yaitu menjurus kepada seorang atau seseorang. Dan yang ketiga, yaitu, kata “Oknum” yang menjurus kepada orang dalam artian berkonotasi yang kurang baik, karena merujuk pada pembawaan karakter, perilaku atau sifat seseorang pribadi. Dimana, pengertian yang ketiga mengarah pada seseorang yang berada di lingkup organisasi, baik di lingkup swasta maupun organisasi institusi negara – sipil atau militer akan tetapi melakukan suatu perbuatan tercela yang melanggar nilai dan norma-norma kesusilaan atau nilai kode etik organisasi atau institusi bersangkutan.
Hal senada diungkapkan salah satu penulis, Mohsen Klasik dalam tulisan esainya – yang juga penulis ambil jalan pikirannya.
Sosok ini menyinggung penggunaan diksi “Oknum,” harus dipakai seobjektif mungkin, sebab diksi ini memiliki beberapa pengertian tak homogen namun juga ada perbedaan spesifik diantara penggunaan diksi dimaksud – sebagaimana telah diulas di atas.
Dikatakan lagi, jika merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, diksi “Oknum” juga memiliki tiga makna atau pengertian.
Pertama, penyebut diri Tuhan dalam agama Kristen Katolik; merujuk pada “Pribadi: Kesatuan antara Bapak, Anak, dan Roh Kudus sebagai Tiga Keesaan Tuhan (Tritunggal Maha Kudus).
Kedua, diksi ini merujuk pada orang seorang; perseorangan (Dalam hal positif), dan – yang Ketiga, diksi “Oknum” merujuk pada orang atau anasir dalam artian merujuk pada konotasi kurang baik tentang sifat atau perilaku yang bertentangan dengan aturan atau nilai- nilai dan atau melanggar norma kode etik profesi — seperti bertindak sewenang- wenang (Abuse of power) yang sebenarnya sudah diketahui fakta perbuatan dan keterbuktian hukum berkaitan dengan penyimpangan aturan hukum itu sendiri, terutama kepada seseorang atau pihak tertentu yang punya otoritas di institusi pemerintah sipil ataupun militer.
Dikatakan, dalam pengertian dari tiga diksi ini, hanya satu saja berorientasi negatif, sementara dua pengertian lain dalam diksi “Oknum” berkonotasi positif.
Lalu, mengapa unsur yang kurang baik selalu disematkan kepada diksi “Oknum” ? Masa dua dari tiga bisa dikalahkan dari satu pandangan pengertian tersebut (?) Itu namanya kurang ‘fair’ dalam penggunaan diksi dimaksud, atau bisa saja diduga orang yang dimaksud kurang mempunyai literasi pengertian tentang diksi dimaksud. (?)
Jadi, jangan melihat dari satu sisi diksi tersebut demi mengaburkan makna keseluruhan pengertian (Pars pro toto atau sebagian untuk semua) yang seakan-akan justifikasi publik untuk mem-framing pemikiran diksi tersebut secara sempit dengan cara pandang tidak objektif untuk disematkan kepada pribadi tertentu tanpa mengetahui latar belakang, asal usul dan definisi dari diksi “Oknum” menurut para pakar linguistik.
Makanya, persepsi ‘Kacamata kuda’ yang dipergunakan menilai secara negatif tentang penggunaan diksi “Oknum” kepada seseorang pribadi dinilai cukup kerdil pengetahuan dalam kungkungan otak sempit secara intelektual.
Memang diakui, dan bahkan sudah menjadi rahasia umum beberapa waktu lalu, bahwa diksi “Oknum” sempat mendapat cap jelek sebab kata ini viral di ranah publik gara-gara perilaku sosok pribadi tertentu yang melekat pada dirinya suatu status dan jabatan yang disandang dalam lembaga yang dia naungi, namun ini lebih menyorot kepada pribadi petinggi atau pun anggota aparat dalam suatu institusi negara yang dalam perbuatannya tersorot dengan jelas di mata publik telah terbukti mencederai nilai rasa keadilan sosial masyarakat di mata hukum, sebab diduga ada pimpinan di lembaga bersangkutan terkesan mau menghindar atau membuat mekanisme defensif diri atau juga mau menjaga nama baik institusinya agar tak tercemar buruk di ranah publik, sebagimana ‘setitik nila merusak susu sebelanga’ dimana menjadi tempat pribadi aparat bersangkutan mengabdikan diri.
Sehingga penggunaan diksi “Oknum” terkesan tidak diperlebar tetapi hanya menjurus kepada seseorang atau pribadi per pribadi yang disebut -sebut melakukan perbuatan kesalahan dimaksud. Padahal sebenarnya keterbuktian tindakan secara defacto dan dejure sudah jelas kelihatan ada keterbuktian penyimpangan yang tak bisa terbantahkan, apalagi ditunjang dengan fakta, data dan dukungan sumber atau sejumlah saksi akurat.
Untuk itu, penggunaan diksi “Oknum” yang ketiga ini, terkadang sudah menjustifikasi secara sepihak atau ‘meracuni pikiran’ orang yang berwawasan sempit bahwa penggunaan diksi ” Oknum” dalam pemberitaan di media main stream dan medsos hanya menjurus kepada hal-hal yang melulu berbau negatif. Padahal dalam penulisan pemberitaan media massa atau pun di medsos terkadang pihak korban (Bukan pelaku) yang menjadi objek akibat kejahatan orang lain yang dipublikasikan sebagai “Oknum” juga mendapat cap merah, padahal jika mau dibilang, logika orang yang memberikan penilaian tersebut sangat subjektif dan diduga punya tendensi sepihak atau bisa juga minim pengertian kosa kata lantaran hanya memandang sesuatu persoalan dari sudut sempit menggunakan ‘kaca mata kuda’ yang mengandung unsur hipotesa. Mengingat yang bersangkutan sudah lebih duluan menjustifikasi suatu kebenaran subjektif menurut pemikirannya yang belum bisa dibuktikan kebenarannya atau keterbuktian-nya secara hukum melalui proses putusan hakim di meja hijau. Sebagaimana seperti contoh kongkrit pemberitaan kasus : “Oknum wartawan di Tiakur, MBD (Kabupaten Maluku Barat Daya) dikeroyok sejumlah pelaku………”
Padahal penilaian terhadap diksi ini – secara defacto yang menjadi korban kekerasan adalah oknum jurnalis (Untuk sementara tidak menggeneralisir sebab kasus bersangkutan baru bergulir di tangan pihak penydik), namun diksi yang ditampilkan ke pihak korban (Bukan pelaku/pelapor) sudah lebih dulu dicap negatif yang bersangkutan, cs yang dinilai belum belum tentu mengetahui persis diksi “Oknum” yang sebenarnya.
Lagi pula, si korban merupakan pelapor, dan bukan terlapor dalam konteks persoalan yang masih ditangani pihak berwenang itu.
Terlepas dari sebab- akibat persoalan yang memunculkan kasus pengeroyokan itu, namun yang pasti, fakta, data dan sumber telah membuktikan terjadi tindakan kekerasan fisik secara bersama terhadap diri korban dalam kasus kekerasan bersama sebagaimana diancam dengan pasal 170 KUHPidana dan beberapa pasal lainnya. Dan menyangkut dengan persoalan lainnya (Yang dalam hal ini korban bukan menjalankan tugas jurnalistik atau menyangkut persoalan lain di luar kasus pengeroyokan), itu nanti menjadi kasus tersendiri yang perlu dibutuhkan dukungan sejumlah fakta, data dan sumber (Dalam konteks kasus berbeda) atau saksi lainnya, dan nanti itu bisa menjadi bahan rujukan untuk menjadi pembuktian untuk menyeret terlapor bila telah terbukti memenuhi unsur-unsur tersebut.
Jadi jangan dulu asal bicara mendahului putusan hukum dan spekulasi liar bila belum mengantongi perihal dimaksud.
Nah, kalau sudah seperti begitu, bilamana orang yang duluan menjustifikasi jelek seseorang sebagaimana dalam pandangan otak sempit dari ‘kacamata kuda’ dengan dasar hipotesa tersebut, maka ancamannya, bisa saja yang bersangkutan dituntut balik secara hukum soal reputasi atau pemulihan nama baik bila pribadi yang diklaim sebagai “Oknum” itu (Berkonotasi jelek saja) merasa dirugikan lantaran tidak sebagaimana terbukti seperti yang ada di otak dan dilontarkan dari bibir pembicaraan subjektif orang tertentu yang berpikiran negatif atau jelek tentang diksi “Oknum.”
Padahal diungkapkan Mohsen Klasik bahwa diksi “Oknum” yang sering dibicarakan masyarakat luas lebih menjurus kepada perilaku pribadi aparat negara yang dinilai bertingkah tak objektif sesuai prosedur dan melanggar hukum atau kode etik standar yang diberlakukan di institusi dimana aparat bersangkutan mengabdikan diri, padahal keterbuktian aparat bersangkutan sudah jelas diputuskan beraalah sesuai fakta putusan hukum di puncak persidangan.
Apalagi jika aparat bersangkutan perbuatan pribadinya sempat viral di publik. Dan kemudian diinformasikan dalam press release resmi dari instansi bersangkutan bahwa ada oknum aparat itu telah melakukan tindakan tak semestinya, kemudian dengan gampang minta maaf. Padahal perbuatan pribadi bersangkutan jelas – jelas melanggar kode etik atau melawan aturan yang sudah diatur dalam aturan perundang-undangan yang berlaku di republik ini, sebagaimana fakta dan data yang sudah terlihat luas di publik beberapa waktu lalu yang bahkan viral dan menjadi buah bibir di seantero negeri ini terkait oknum aparat nakal yang.melalukan penyimpangan hukum. Sehingga penggunaan diksi “Oknum” sendiri nyaris dipandang dari satu sisi dan bahkan diklaim mendapat ‘cap merah’ yang buntutnya melekat dalam sebagian otak orang. Dan diksi ini seakan pengertiannya dibuat bermakna sempit sebagai kebenaran umum dari satu sudut pandang tertentu saja.
Dan akibatnya, bilamana diksi ini muncul, maka selalu dinilai punya konotasi jelek. Padahal ini merupakan sesuatu yang paradoksal. Sehingga kata ini seharusnya dilihat sesuai konteks menyeluruh dalam suatu peristiwa, dan tidak boleh memberikan penilaian subjektif akibat minim pengertian kosa kata itu.
Ada benarnya juga dan patut diakui bahwa sebagian masyarakat sering kesal akibat ulah aparat nakal yang melanggar hukum padahal keterbuktian pelaku atau si tersalah sudah sesuai fakta apa yang dilakukan soal penyimpangan hukum ataupun kode etik institusi. Dan hal ini sudah melalui proses tahapan terlapor, tersangka, terdakwa, hingga dinyatakan sebagai terpidana namun kata “Oknum” diduga masih sering disematkan kepada pelaku atau si tersalah, seolah -olah terkesan hanya memperhalus makna kata di telinga publik. Padahal ini diduga hanya demi melindungi nama baik korps atau institusi dimana si tersalah mengabdikan diri. Akibatnya tertanam di kepala sebagian masyarakat bahwa kata “Oknum” hanya melulu mempunyai konotasi jelek, sebaliknya hal ini kontradiksi bila dilakukan masyarakat (Yang menyimpang atau melakukan perbuatan melawan hukum) pasti sudah langsung disebutkan namanya di media publik tanpa harus berkata oknum, walaupun hanya status dan kasus yang diduga dilakukannya masih baru bersifat terlapor, belum dinyatakan sebagai tersangka atau terdakwa ataupun terpidana oleh pihak penegak hukum.
Perihal inilah yang buntutnya membuat masyarakat ‘menggertak gigi’ terhadap diksi “Oknum.”
Padahal kita semua juga mesti sepakat melihat pokok dalam konteks persoalan yang terjadi sehingga dapat diketahui secara objektif.
Di lain pihak, kita sekarang juga mesti salut dan bangga dengan pemimpin tertinggi institusi pelindung dan penjaga NKRI ini, karena terlihat kini aturan semakin dipertegas sehingga aparat yang dilaporkan menyimpang atau melakukan pelanggaran hukum serta kode etik institusi pasti tak diberi ampun bagi si tersalah hingga diberikan sanksi ringan sampai dipecat ataupun diberikan sanksi berat sesuai perbuatan yang diperbuat, mengingat tidak ada masyarakat atau aparat ataupun pejabat satu pun yang kebal terhadap hukum di republik ini, sebagaimana yang kita saksikan dalam berbagai pemberitaan di ranah publik, salah satu contoh konkrit kasus viral yang masih segar dalam ingatan kita tentang kasus ” Ferdi Sambo” yang menjadi petinggi di salah satu institusi negara.
Kembali lagi kepada pandangan Mohsen Klasik – yang dilansir penulis dalam esainya yang menurut dia, jika menyaksikan fakta, ada arti sifat yang mulia dalam diksi “Oknum”, sehingga nanti jika ada aparat yang melakukan suatu tindakan menyimpang dari profesi atau pun tindakan kejahatan yang sudah ada keterbuktian secara hukum positif maka jangan lagi disebut sebagai “Oknum” sehingga diksi ini tidak menjustifikasi suatu pengertian ke arah negatif dan hanya menjadi pemborosan kata dalam pemberitaan.
Untuk itu, semestinya kita mengembalikan citra pengertian diksi “Oknum” yang sebenarnya di tengah masyarakat supaya bisa dipahami arti kata ibni yang sesungguhnya.
Persoalannya tiga dari dua arti diksi “Oknum” merujuk kepada dua pengertian positif, bukan satu pengertian negatif seperti anasir subjektif yang ada di kepala sebagian orang, salah satunya – sebagaimana dimaksud oknum ketua organisasi itu beserta beberapa kroni atau sebagian orang yang belum mengerti persis perihal pengertian kata tersebut.
Sebagaimana yang dikutip penulis dalam esai Mohsen Klasik, jika ada aparat yang melakukan tindakan pidana. Kita bisa merujuk kepada ketentuan aturan hukum pidana yang ada, yaitu melalui Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Kata pertama yang dapat dijadikan pengganti jika ada aparat melakukan tindakan kejahatan dan sudah ditangani pihak berwajib, kata “Terlapor” bisa disematkan sebelum nama pelaku. Terlapor di sini memiliki arti orang yang sedang dilaporkan atas dugaan melakukan suatu tindakan pidana, tetapi di sini tentang tindak pidana tersebut belum dinyatakan keterbuktian-nya.
Selain kata “Terlapor” bisa juga dinaikan status menggunakan kata “Tersangka.” Ini bila penyidik sudah mempunyai sejumlahl cukup bukti permulaan yang kuat.
Jika dilihat dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP, arti kata “Tersangka” adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Sebaliknya, status “Tersangka” lebih tinggi dari status “Terlapor.” Karena status “Tersangka” sudah cukup memiliki sejumlah bukti awal untuk orang yang melakukan tindak pidana kejahatan. Sehingga jika ditemukan tulisan “Oknum” di publik, padahal realita yang bersangkutan sudah dinyatakan sebagai status tersangka maka tidak perlu lagi disematkan kata “Oknum.”
Lain hal lagi, jika si tersalah atau pelaku sudah dinaikan statusnya menjadi ‘Terdakwa” dan dituntut di meja hijau persidangan. Maka otomatis tak perlu pakai “Oknum.”
Apalagi jika status puncak sebagai “Terpidana” disematkan kepada si tersalah karena telah diadili dan divonis hukum oleh hakim sesuai perbuatannya, itu memang jelas tak boleh lagi memakai kata “Oknum !!”
Dasarnya yaitu, Pasal 1 angka 15 KUHAP.
Jadi kata terdakwa itu berarti si tersalah sudah menjalani masa persidangan.
Dan bila sudah menjalani masa persidangan mau ditulis “Terdakwa Oknum Aparat ….” Ini kan jelas aneh (!?)
Jadi cukup si tersalah atau pelaku kejahatan ditulis terdakwa, kemudian bila dalam proses sidang terbukti tindakan kejahatan bersangkutan, dan majelis hakim sudah memutuskan perkaranya, maka kata “Terpidana” layak disandang kepada sosok aparat itu atas kesalahannya.
Arti kata ‘terpidana’ sendiri adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Jika sudah final statusnya terpidana, dan ketika diberitakan di media masih saja menggunakan kata “Oknum” , berarti kita sebagai publik bisa nilai sendiri seperti apa orang yang masih pertahankan diksi tersebut !??
Ini lain hal dengan pengertian penulisan diksi “Oknum” dalam pemberitaan suatu media publik yang memberitakan “Oknum wartawan……” Dalam pemberitaan itu, “Oknum” jurnalis itu bukan sebagai terlapor atau pelaku dalam fakta kasus yang dilaporkan ke pihak aparat penegak hukum, namun segelintir orang sudah lebih sulu “mencap merah” diksi “Oknum” yang ditulis sebagai pelapor yang nyaris kehilangan nyawa dikeroyok sejumlah pelaku. Ini cara pemikiran seperti apa !?
Sehingga memang sudah keterlaluan bila menjustifikasi pengertian diksi “Oknum” bukan pada tempatnya.
Sehingga diminta jangan suka membius otak orang secara sepihak dari totalitas pengertian baku untuk mengikuti cara pikir sempit dan dangkal agar kita semua bisa dicerahkan soal penggunaan ketatabahasaan yang benar ! (****)
Discussion about this post