Oleh : Dr. M.J. Latuconsina,S.IP,MA
Dosen Fisip Unpatti
Referensimaluku.id,-Anas Urbaningrum (AU) yang populer dengan sapaan Cak Anas, yang kini menjadi Ketua Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), menolak dengan tegas partai politik menjadi milik keluarga. Pasalnya partai politik merupakan organisasi terbuka, yang tidak dikenal menjadi milik keluarga, melainkan menjadi tempat bernaung berbagai lapisan warga masyarakat di dalam organisasi yang beerita-cita menggapai dan mempertahankan kekuasaan tersebut.
.
”masih ada yang menganggap partai politik sebagai milik keluarga, dan sebagai properti keluarga. Partai politik merupakan organisasi terbuka, yang tidak dikenal menjadi milik keluarga dan menjadi properti keluarga. Partai politik harus menjadi tempat bernaung berbagai lapisan warga masyarakat.” Demikian paparan Anas Urbaningrum pada kuliah umumnya dihadapan civitas akademi Fisip Unpatti dalam rangka dies natalis Fisip Unpatti k-64 pada Senin, 18/09/2023, yang berlangsung di auditorium Fisip Unpatti.
Dikatakannya partai politik yang menjadi milik keluarga, menjadi properti keluarga atau partai politik yang menjadi perkakas keluarga, hanya akan menempatkan partai politik model seperti ini menghambat demokrasi. Sebab mempraktekkan budaya feodalisme, yang berlawanan dengan demokrasi. Oleh karena itu partai politik harus menjadi turbin demokrasi, dimana mampu meggerakkan jalannya demokrasi.
”Partai politik harus dikelolah secara modern, dimana memiliki ikatan yang kuat dengan rakyat. Sehingga tidak ada sekat antara partai politik dengan rakyat. Untuk menjamin terlaksananya partai politik yang dikelola secara modern, maka perlu adanya undang-undang partai politik yang lebih akomodatif,” tegas mantan Ketua PB HMI ini.
Menurutnya partai politik harus hadir sepajang waktu kepada rakyat, bukan sebaliknya partai politik hadir kepada rakyat hanya pada saat momenum-momentum politik musiman, seperti : Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Langsung. Fenomena ini justru akan menjauhkan partai politik dari rakyat.
Lebih jauh kata mantan Ketua Presidium Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) ini bahwa, para mahasiswa di harus dengan berani dengan terlibat langsung untuk mengkritisi partai politik. Pasalnya partai politik pasca reformasi mengalami stunting politik alias tidak lengkap dalam menjalankan fungsi-fungsinya kepada rakyat.
”Sesuatu yang abnormal tapi dianggap biasa oleh rakyat saat ini. Jika para mahasiswa tidak mengkritisi kondisi partai yang demikian, maka para mahasiswa sebagai komunitas muda intelektual sedang melakukan pembiaran keadaan, dimana berjalan tanpa adanya koreksi terhadap kondisi partai politik, yang mengalami stunting politik tersebut.”jelasnya. (*)
Discussion about this post