Referensimaluku.id,Ambon-Jika di seluruh Indonesia hanya ada satu Dusun yang paling sulit dimekarkan menjadi desa administratif, maka jawabannya mungkin lebih melekat pada Dusun Yawuru, Desa Wonreli, Kecamatan Pulau-pulau Terselatan, Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), Maluku.
Memekarkan Yawuru menjadi Desa administratif mungkin identik dengan keinginan warga dusun tersebut keluar dari pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Upaya memekarkan Dusun Yawuru menjadi desa administratif sulitnya bukan main karena selalu dipersulit para penanggung jawab pemerintahan di Desa induk Wonreli, Kecamatan Pulau-pulau Terselatan hingga Pemerintah Kabupaten MBD. Sejak Kabupaten MBD dipimpin Bupati Barnabas Nataniel Orno (2010-2016 dan 2016-2021) yang kini Wakil Gubernur Maluku (2019-2024) upaya warga Dusun Yawuru meneriakan pemekaran desa administratif selalu terganjal dan diduga diganjal Sauloro Chaus Petrusz dan Fraksi PDIPerjuangan di DPRD Kabupaten MBD.
Setelah Benyamin Thomas Noach (BTN) melanjutkan kepemimpinan Orno (2017-2021 dan 2019-2024) justru pemekaran Yawuru pun masih menjadi jamu bualan politik karena patut diduga BTN merupakan bagian dari para penentang pemekaran Yawuru menjadi desa administratif.
Realita ini sangat menyakitkan dan memedihkan hati masyarakat Yawuru sejak NKRI berdiri pada 1945 silam. Bayangkan sudah sejak dekade 1950an warga Dusun Yawuru berjuang agar dusun mereka berubah status menjadi desa administratif, tapi upaya tulus untuk keluar dari belenggu keterbelakangan pembangunan selalu dijegal atau dihalang-halangi oknum-oknum tertentu di Wonreli yang layak disebut para penipu (poho lahar), “penyamun” , gengster “ahunomi penklai” dan para “pelacur tradisi” Kisar yang kerap menghargai sopan santun dan kejujuran.
Pada tahun 1996 bersama 11 dusun-dusun lain sebenarnya Yawuru sudah berubah status menjadi desa administratif melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur Maluku kala itu tapi SK a quo sengaja disembunyikan dan dibuang oknum-oknum di Kantor Camat Pulau-pulau Terselatan, Kabupaten Maluku Tenggara (waktu itu MBD masih di bawah yurisdiksi Kabupaten Maluku Tenggara).
Dapat dijelaskan jika terdapat sejumlah alasan-alasan mendasar mengapa Dusun Yawuru masih terasa sulit dimekarkan menjadi desa administratif. Yakni, alasan Pertama, bahwa jumlah penduduk Wonreli diperkirakan lebih kurang 5000 ribu jiwa di mana 2/3 atau 3000 jiwa lebih penduduk terdapat di Dusun Yawuru, sedangkan sisanya menetap di Dusun-dusun di bawah Wonreli, seperti Mesiapi, Woorono, Noworu, Romleher Utara dan Romleher Selatan. Dengan jumlah jiwa terbesar dari semua desa-desa di Kisar dan bahkan di MBD, praktis kucuran Dana Desa/Alokasi Dana Desa (DD/ADD) bagi Desa Wonreli relatif besar.
Nah, tentu jika Yawuru dimekarkan menjadi desa administratif,maka diduga kuat peluang para penipu (“tukang pancuri”) dan para “penyamun” untuk “makang pancuri” (korupsi) DD/ADD semakin kecil dan bahkan lebih sulit.
Alasan kedua, saat ini di Wonreli hidup beberapa kelompok orang-orang yang tidak diketahui pasti asal-usulnya entah turunannya lahir di jalan-jalan atau beranak pinak di bawah pohon kusambi dan pohon koli atau anak-anak yang lahir tanpa ayah dan tanpa ibu tapi tetap mengakui diri sebagai bangsawan (“marna”), padahal lebih tepat terhadap para keturunan tidak jelas ini layak mengelompokkan mereka dalam sebutan sarkastis “marna ahunomi penklai” atau secara harfiah diartikan “bangsawan anjing kencing di jalan-jalan”. Oknum-oknum tak jelas asal-usul kedatangan dan kepahlawanan inilah yang takut dusun-dusun di bawah Desa Wonreli, salah satunya Yawuru, mekar dan berdiri sendiri menjadi desa administratif.
Mereka takut kehilangan “status sosial abal-abal” di mata masyarakat Kisar pada umumnya. Alasan ketiga, saat ini di Wonreli tengah berkeliaran para perusak tradisi yang berjuang hanya untuk menguatkan status sosial di tengah masyarakat Kisar.
Oknum-oknum ini selalu menebar berita bohong (hoax) dan melakukan pembusukan di tengah masyarakat Yawuru. Jika di Yawuru mereka bersilat lidah dan berkamuflase mengangkat tali persaudaraan losno (gandong/sederajat) dengan marga-marga di Yawuru, seperti Samloy, Letelay, Dahoklory, Darkay, Tenlima, Permaha, Lainata, Laimeheriwa, Saununu dan marga-marga lainnya, tapi ketika pulang ke Wonreli mereka menggelar pesta pora dengan semboyan telah mengelabui budak-budak di Yawuru.
Apakah seperti itu? Tentu tidak, sebab warga Dusun Yawuru bukan budak bagi para penipu, “penyamun”, kelompok “ahunomi penklai” dan “perusak tradisi Kisar” di Wonreli. Mau bukti? Bukan lagi rahasia umum jika setiap pengangkatan Raja dengan keris di Wonreli harus mendapat pengukuhan dari turunan Letelay (Mareheonno) dan Samloy. Ibaratnya sesuai teori pemisahan kekuasaan versi filsuf dan pemikir Prancis, Charles- Louis de Secondat Baron de La Brede et de Montesquieu (1689-1755), maka “Rumahtua Mareheonno” adalah Lembaga Tertinggi Negara atau Majelis Permusyawaratan (MPR) sedangkan Raja Wonreli di “Kotoraram” adalah lembaga tinggi negara atau setara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Jadi, jangan memutarbalikkan kedudukan dan fakta sejarah ini. Sebab hanya para perusak sejarah dan tradisi serta turunan kaum “brengsek” dan “biadab” yang mau dengan sengaja memutarbalikkan sejarah untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. “Rumahtua Mareheonno” (Letelay) menjadi bukti sejarah tradisi yang tak terbantahkan sejak dulu kala hingga saat ini. Semua pemuka adat dan masyarakat di Kisar mengetahui dan mengakui hal ini.
Bahwa ketika pemerintahan Kolonial Belanda masuk Kisar sekitar tahun 1664 SM melalui armada Jan de Klein yang mendarat di Pantai Kiasar dan selanjutnya mendirikan dua benteng pertahanan yakni Delfshaven di Desa Kotalama yang didirikan pada 16 Juli 1665 SM dan Vollenhaven di Pantai Nama yang didirikan pada 15 Mei 1777 SM, marga Letelay (Mareheonno) dan Samloy hanya memberikan “hak kesulungan memerintah” (bukan hak menguasai secara rakus/galojo) ke marga Bakker dengan cara merubah janur kuning kelapa menjadi ular. Saat itu dengan dimediasi dan disaksikan pejabat pemerintah Belanda, marga Letelay dan Samloy lebih simpati ke marga Bakker untuk duduk sementara di rumah Raja (“Kotoraram”) ketimbang memilih dua saudara Bakker yakni Poeroe dan Norimarna.
Alhasil, karena tak punya kedudukan di Wonreli, Belanda lantas mengutus Norimarna ke Pulau Leti dan Poeroe ke Pulau Moa untuk sama-sama menjadi Raja di sana. Setelah Raja ke-11 Kisar bermarga Bakker, orang Yawuru menolak keras penunjukkan (almarhum) Jhon Bakker sebagai Raja ke-12 Wonreli. Diduga menjual tanah-tanah petuanan milik warga Yawuru, Jhon Bakker tak berumur panjang dan mangkat di tengah tugasnya. Seharusnya setelah kursi Raja Wonreli kosong hak itu langsung mutlak jatuh (tanpa harus diberikan) ke marga Letelay (Mareheonno) atau Samloy.
Namun, kedua marga pendiri Dusun Yawuru dan Wonreli ini masih belum berniat mengambil kembali hak kesulungannya yang pernah diserahkan sementara ke marga Bakker (bukan matarumah Bakker sebab tak ada matarumah Bakker). Setelah turunan marga Bakker nyaris mulai punah, tampil orang-orang yang dulu leluhurnya disuruh “mencuci kaki” Raja (Eiwuri) baru dipersilahkan duduk di baileo Kotoraram datang bak pahlawan kesiangan di siang bolong. Berkenaan “janji palsu” para pendukung rezim Benjamin Thomas Noach dan Ari Lekwadari Kilikily untuk memekarkan Yawuru menjadi Desa Administratif, turunan Eiwuri, para penipu, “penyamun”, gerbong turunan “ahunomi penklai” dan para perusak tradisi di Wonreli mencoba meniup sejumlah isu murahan dan ambisius, yakni orang Yawuru tak punya petuanan dan jika ingin mekar maka orang Yawuru harus angkat orang-orang yang mengklaim diri sebagai turunan “Eiwuri” sebagai Raja. Kalian waras? Tidak tahu malu. Brengsek! Memang benar kata pepatah: “selicik apapun atau sebagus apapun seekor ular mengganti kulitnya, ular tetaplah ular”. Artinya, penipu tetap penipu, penyamun tetap penyamun dan perusak tradisi tetap perusak tradisi sekalipun mereka datang membawa selimut di musim dingin. Pemuka adat Yawuru Roy Samloy angkat bicara soal kelicikan dan kebusukan hati oknum-oknum “marna ahunomi penklai”, para penipu (“poho lahar”), “penyamun” dan perusak tradisi Kisar dalam menjegal dan mengagalkan warga Yawuru memekarkan wilayahnya menjadi desa administratif untuk mengurusi rumah tangganya sendiri (tapi tidak memutuskan ikatan adat dan “honoli”). “Terkait dengan isi pernyataan bahwa Yawuru harus mekar tapi tidak mempunyai wilayah karena semua hak-hak ulayat orang Yawuru dikuasai oleh Wonreli adalah pembodohan, pembohongan, penipuan dan pemutarbalikkan sejarah berdirinya Wonreli dan Yawuru,” tegas Roy Samloy kepada referensimaluku.id via WhatsApp, Sabtu (10/6/2023).
Menurut Samloy, Negeri yawuru diambil dan dirampas Letelay dan Samloy melalui penumpahan darah (saing bara) dengan ditandai pembunuhan terhadap dua kapitan hebat Nomaha yakni ‘Rokai’ dan ‘Wonkai’ oleh Letelay dan Samloy. “Demikian pula soal Negeri Yawuru sedang dihuni oleh orang Nomaha adalah berita bohong yang sengaja dihembuskan oknum-oknum penipu dan para pembohong dari Wonreli. Buktinya adalah Negeri Yawuru sebelum Letelay dan Samloy datang dari Pulau Luang dan Pulau Beresabi dan mendarat di Pantai Posi itu disebut Negeri Lailupun dan saat itu Yawuru masih dikatakan milik orang Nomaha dan (Yawuru saat dulu) bukan punya Wonreli”. “Nah ketika Letelay dan Samloy menang perang di Yawuru, maka Letelay dan Samloy secara mutlak kuasai wilayah tersebut (“Lailupun”) barulah diganti namanya dengan “Leke Pokai Ruhun Samlay”.
Selanjutnya ketika perkawinan antara Hihilely (asli) dengan saudara perempuan dari Letelay dan Samloy barulah Yawuru diganti dengan Leke Sanulu Karahan Idaweli”. “Negeri Yawuru sendiri dibentuk bukan dengan tangan orang lain, tapi benar-benar orang Yawuru (Letelay dan Samloy) punya kehebatan yang sungguh luar biasa untuk merebut wilayah itu dengan pertumpahan darah dan peperangan.
Jadi kalau saat ini ada oknum-oknum penipu dan pembohong di Wonreli yang klaim bahwa Yawuru tidak punya wilayah maka saya secara pribadi maupun marga menolak mentah-mentah pernyataan murahan tersebut”. “Yang benar adalah orang Yawuru terutama Letelay dan Samloy sendiri yang membentuk negerinya sendiri. Kalau mau kasih mekar silahkan mekarkan dan jangan pakai pernyataan yang membodohi rakyat dalam hal ini orang Yawuru”. “Jangan mengklaim bahwa orang Yawuru tidak punya wilayah, sebab (pernyataan) itu keliru dan saya tegaskan jangan sekali-kali memutarbalikan sejarah. Hanya para penipu, pembohong dan perusak tradisi yang suka melemparkan pernyataan murahan seperti itu”.
“Kemudian soal hubungan sosial budaya antara “Romhalono” dengan Letelay dan Samloy itu bukan hanya mereka saling kenal di “Leke Yoto” (Negeri Tua Kisar) , tapi Letelay dan Samloy justru yang membantu ‘Hihilely Halono’ dalam peperangan mulai dari matahari naik sampai matahari terbenam. Itu sejarahnya.
Makanya di Leke Yoto sebelum kedatangan Letelay dan Samloy yang dijemput utusan marga Salakay dan marga Salouw dari Kiouwmanumere, rapat belum dapat digelar di situ. Jangan merekayasa sejarah atau memutarbalikkan sejarah nanti kualat,” kunci Samloy. Boleh jadi jika Yawuru dan dusun-dusun lain di Kisar pada khususnya dan di Kabupaten MBD pada umumnya gagal dimekarkan menjadi desa-desa administratif baru, maka Rezim Benjamin Thomas Noach dan Agustinus Lekwardai Kilikily atau “BTN-Ari” tak lebih dari sekadar pemerintahan penuh pencitraan diri dan pemberi harapan palsu bagi puluhan ribu masyarakat yang dipimpinnya dari Lirang sampai Masela dan dari Damer sampai Meaitimiarang.
Sebab, apa guna 1 juta predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam efisiensi pengelolaan keuangan negara kalau akhirnya sampai hari ini masyarakat MBD tidak mampu beranjak dari jurang kemiskinan, masih panjang rentang kendali pemerintahan (“spare of control”) yang menutup akses pelayanan publik, serta pelayanan publik Kabupaten MBD yang tetap terendah di antara 10 kota/kabupaten di Maluku. Buang saja predikat WTP ke laut sekitar Maupora sebab semua itu tak ada artinya jika angka kemiskinan masyarakat MBD masih terendah di antara 10 kota/kabupaten di Maluku. Masyarakat MBD sudah muak dengan gaya kepemimpinan yang lebih mengejar pencitraan diri ketimbang berupaya semaksimal mungkin untuk meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum “Salus populi suprema lex esto” atau “Kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi”. Akhir kata, jika Yawuru gagal lagi dimekarkan menjadi sebuah desa administratif, maka rezim MBD saat ini “takut” dan “pengecut” atau sebaliknya pemerintahan ini pada prinsipnya lebih mendukung kokohnya oligarki di Wonreli yang saat ini dikuasai para penipu (“poho lahar”), gengster “marna ahunomi penklai”, “penyamun”, bandit sosial-politik dan perusak fradisi dan honoli. (TIM-RM)
Discussion about this post