Referensimaluku.id,-Ambon-Bermain bertahan dengan delapan pemain plus seorang kiper di pertandingan menentukan bukan perkara gampang. Orang ramai sering menilai opsi bertahan lebih mudah. Tinggal menunggu di daerah sendiri, bikin pagar betis, merebut lalu membuang bola sejauh mungkin dari daerah pertahanan sendiri dan begitu seterusnya. Padahal tekanan yang dihadapi setiap pemain sangat tinggi. Butuh konsentrasi, fisik yang tak kedodoran, kerja sama dan chemistry. Kudu sabar serta tidak emosional. Apalagi jika serangan lawan datang bergelombang dari semua lini. Belum lagi teror dari suporter tuan rumah. 90 menit waktu normal plus setengah jam tambahan waktu benar-benar seperti “neraka” untuk tim tamu.
“Saya berulang kali meneriaki teman-teman untuk tetap fokus dan mengeluarkan semua kemampuan. Kita bermain dengan garis pertahanan tinggi. Lawan tak boleh mendekati kotak penalti. Ini pertandingan tersulit dalam karir sepakbola saya tetapi juga yang paling indah” kenang Iqbal Alhadar – orang terakhir di benteng pertahanan Persiter yang gaya mainnya mengingatkan saya pada sosok Franco Baresi – sweeper legendaris AC Milan dan Tim Nasional Italia.
Postur Iqbal terbilang pendek. Bukan sosok ideal di lini pertahanan. Tapi kecepatannya memotong serangan lawan tiap kali bola menerobos pertahanan Persiter tergolong super. Ia juga punya “reading the game” yang mumpuni. Tak heran jika Iqbal awet selama 15 tahun bersama Laskar Kie Raha. Lelaki sederhana ini bahkan tercatat sebagai “El Capitano” terlama. Sepuluh tahun Ia memimpin Persiter di lapangan hijau. Salah satunya adalah partai semifinal Divisi II PSSI di Stadion Padjajaran Bogor medio Mei tahun 1995.
Persiter kala itu berjuang untuk promosi ke Divisi I. Dalam laga babak pertama, Persiter lebih dulu tertinggal dari tuan rumah PSB Bogor yang diperkuat tiga anak Ternate – Kadirun Hi. Adaran, Roni Togubu dan Mohammad Arisandi. Memasuki babak kedua, Persiter terus digempur PSB. Apalagi pelatih Yusack Sutanto memasukan penyerang Tim Nasional, Bambang Nurdiansyah yang empat tahun sebelumnya sukses membawa Indonesia meraih medali emas Sea Games 1991 di Filipina. PSB yang bernafsu bikin “the killing goal” terus menekan. Tuan rumah saat itu menggunakan semua cara. Tekanan psikis juga dilakukan.
Belum separuh waktu babak kedua berjalan, prahara bagi Persiter terjadi saat dua defender tangguh diusir wasit. Fahri Albaar, bek sayap kiri yang punya kecepatan duluan diberi kartu merah. Sepuluh menit kemudian, Anwar “Epa” Panda menerima hukuman yang sama. Sembilan pemain melawan sebelas pemain lawan. Di bangku cadangan tak ada pemain bertahan yang tersisa. Tiga pemain – Naim Krois, Ramli Sahrun dan Malik Zamrun – tak bisa bermain karena cedera. Tak punya banyak opsi, pelatih kepala Hadadi Salasa merotasi posisi dua gelandang.
Bahruddin ”Bora” Faruk yang bermain sebagai gelandang serang diminta turun ke posisi bek sayap kiri mengganti tempat Fahri. Lukman Muhammad ditarik ke belakang menempati posisi yang ditinggalkan Anwar Panda. Lukman berduet dengan Iqbal di jantung pertahanan. Sisi kanan tetap dikawal Rianton Mahmud yang sepanjang laga sukses “membunuh” kecepatan dan akselerasi Khadirun. Di lini tengah Persiter, Safruddin “Elan” Rasyid dan Rahmat “Pochi” Rivai – dua pelajar yang baru usai memperkuat tim Popnas Maluku – jadi tumpuan tim. Keduanya baru bermain di babak semifinal dan laga ini debut resmi mereka di tim senior Persiter.
Safruddin dan Rahmat Rivai dibawa ke Bogor oleh Imran Chalil yang mendapat arahan dari Ketua Umum Persiter, Thaib Armaiyn setelah mendapati kabar jika Persiter krisis pemain. Safruddin (16 tahun) bermain sebagai jangkar. Sendirian menjaga lini tengah. Rahmat (17 tahun) diminta jadi penghubung. Saat bertahan, Ia jadi kompatriot Safruddin di lapangan tengah. Saat lakukan serangan balik cepat, tugas Rahmat adalah “false nine” di belakang duet Ikram Selang dan Samsuddin Kodja.
Asyik menyerang dan mengurung pertahanan Persiter membuat PSB lengah. Jelang akhir babak kedua, sebuah serangan balik cepat dilakukan anak-anak Ternate. Bola sodoran Safruddin Rasyid diteruskan Rahmat Rivai membelah pertahanan PSB. Ikram Selang yang mendapat umpan itu langsung “menari” mengecoh bek lawan. Gerakannya mirip aksi Lionel Messi ketika menjatuhkan Jerome Boateng dalam leg pertama semifinal Liga Champions tahun 2015 antara Muenchen vs Barcelona. Lepas dari hadangan lawan, Ikram kembali menipu kiper PSB dan memasukan bola ke gawang yang sudah kosong. Skor imbang 1 – 1. Sesaat setelah bola bergulir dari titik tengah, wasit meniup peluit panjang. Babak kedua selesai. Akan ada perpanjangan waktu untuk mencari pemenang.
Persiter tak melakukan pergantian pemain. Hadadi meminta semua pemain yang ada membantu pertahanan. Tak ada gol tambahan yang tercipta hingga peluit akhir dibunyikan wasit. Adu penalti dilakukan untuk menentukan tim yang lolos ke partai final. Persiter jadi penendang pertama. Eksekusi Rianton, Pochi, Lukman dan Elan sukses menjebol gawang PSB. Di kubu lawan, tiga penendang penalti juga sukses. Penendang ke empat PSB adalah Bambang Nurdiansyah. Berdiri tak jauh dari bola, tendangan Banur yang mengarah ke pojok kiri gawang Persiter. Hengki Oba, anak muda berusia 18 tahun yang jadi kiper utama terbang menepis bola. Si kulit bundar menyentuh tangan kanannya lalu membentur tiang gawang dan memantul keluar. PSB gagal. Banur menatap tak percaya.
Saatnya penendang ke lima harus beraksi. Ikram Selang – penyerang licin asal Bajo Kayoa yang jadi top skor Persiter sepanjang kompetisi dengan tujuh gol – melangkah dengan percaya diri. Ia meletakan bola di titik penalti. Berdiam sebentar sebelum berlari menendang bola. Kiper PSB lagi-lagi tertipu. Gooollll. Dan histeria langsung pecah. Semua pemain dan pelatih menangis. Ratusan pendukung Persiter tumpah ruah ke lapangan. Sejarah tercipta di Bogor. Sebelas tahun berjuang di divisi II dengan banyak pengorbanan, Persiter akhirnya promosi ke Divisi I kompetisi sepakbola nasional.
Bora menceritakan momen itu dengan netra penuh kebanggaan. “Itu momen terbesar selama saya bermain bola. Semua menangis. Kami tak pernah menyangka akan ke final”. Cerita yang sama saya dapati saat bertemu dengan Ikram, Samsudin, Pochi, Elan, Naim, Hengki, Lutfi Ayyub, Malik dan sang kapten Iqbal Alhadar. Kekompakan tim jadi kunci utama sukses. Semua pemain saling percaya. Tak hanya saat latihan, kebersamaan itu dibiasakan dengan saling mengunjungi. “Seminggu sekali kami bergiliran bikin acara kumpul-kumpul. Kadang di rumah pelatih atau asisten pelatih. Kami seperti sebuah keluarga” kata Malik yang bersama Iqbal adalah dua punggawa tersisa dari skuad Soeratin 1984 saat Persiter menjadi finalis.
Jalan Persiter promosi ke Divisi I tahun itu bermula dari kompetisi divisi II PSSI zona Maluku di Ambon akhir tahun 1994. Di partai final, Persiter berhadapan dengan tuan rumah PSA Ambon. Persiter kalah lewat gol semata wayang dari Doni Nanlohy. PSA jadi wakil Maluku. Belum sempat meninggalkan mess atlit di bilangan Karang Panjang, kabar baik datang dari Jakarta. PSA diputuskan tidak degradasi musim sebelumnya dari Divisi I sehingga Persiter jadi wakil Maluku untuk berebut tiket putaran nasional. Lawannya adalah Ps. Biak – juara zona Papua.
Kabar gembira ini dirayakan dengan cara yang unik. Tim akan dipulangkan dengan pesawat. Sesuatu yang terbilang mewah saat itu. Pelatih Hadadi Salasa meminta pemain bersiap besok pagi. Mereka diminta berjalan kaki dari Karang Panjang menuju kawasan Mardika dengan berpakaian lengkap. Setibanya di Mardika, semua pemain dan pelatih ditraktir makan pagi. Banyak yang ragu. Usai makan, Hadadi menyampaikan jika besoknya baru mereka akan terbang. Tapi pemain tak habis pikir. Dari mana uang membayar makanan tadi karena sepengetahuan mereka, tim berjuang di Ambon dengan modal nekat. Tanpa fasilitas. Hadadi membuat pengakuan jika dirinya menang porkas sebesar 600 ribu. Uang itu dipakai membayar traktiran.
Tiba di Ternate, pemain diminta tetap berlatih sebagai persiapan melawan Biak. Kesulitan transportasi membuat kedua tim bersepakat bermain “home and away” di tempat netral. Kota Jayapura jadi pilihan bersama. Seleksi kembali dilakukan. Di tengah persiapan, Hadadi membuat keputusan kontraversial. Ia mencoret beberapa pemain kunci karena alasan indisipliner. Penjaga gawang kawakan Wahidin Husain out. Hengki Oba jadi kiper utama. Penjaga gawang belia berusia 17 tahun, Muhlis Sahrun direkrut sebagai pengganti. Yang paling heboh adalah pencoretan Abubakar A. Latif. Defender muda ini adalah pemain utama. Keputusan ini ditentang sebagian pemain. Ternate terutama kawasan Salero bergolak. Nyaris saban malam, rumah Hadadi di Salero dilempari orang tak dikenal.
Keputusan Hadadi tak berubah. Ia juga mendepak Darmus Masidingo, Hidayat Hi. Tenang, Effendi Salasa, Us Laope, Nasir. S dan Jamaludin Alting. Rustam Puha, penyerang senior bertype stylish yang bermain ketika di Ambon diminta jadi asisten pelatih mendampingi Soleman Sin. Sebagai pemain pengganti, pelatih bertangan dingin yang suka melucu ini memanggil Muhlis bersama saudaranya Ramli Sahrun, Fahri Albaar, Samsudin Kodja, Iksan Mirinda, M. Nur St. Panduko, Sofyan Hamadi dan Anwar Panda. Pemanggilan Anwar jadi tanda tanya. Sosok ini nyaris tak dikenal. Hadadi menjumpainya saat sedang mengangkut pasir di “barangka” Tubo.
Kelak keputusan ini membuktikan kejeniusan seorang Hadadi Salasa dalam menemukan talenta berlian dari Dufa-Dufa. Anwar Panda jadi pilar yang tak tergantikan sepanjang kompetisi. Fisiknya tangguh. Tampilannya garang. Ia selalu menang duel udara dan penyerang lawan dibuatnya mati kutu. Usai laga di Bogor, Manuel Vega atas rekomendasi Sutan Harhara mengajaknya ke Persma Manado. Bertahun-tahun, “Epa” jadi tumpuan Persma dan kesayangan publik Manado sebelum pulang ke Ternate. (*)(Bersambung)
Penulis: Asghar Saleh
Discussion about this post