Oleh : Asghar Saleh
Pemerhati Olahraga
Referensimaluku.id,-Tak sampai sehari setelah FIFA resmi membatalkan drawing Piala Dunia U-20 yang sedianya dilakukan di Bali 31 Maret 2023 besok, Asosiasi Sepakbola Argentina langsung menawarkan diri jadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Argentina dengan banyak talenta pesepakbola gagal jadi peserta ajang ini karena kalah bersaing di zona Amerika Latin.
Tak berselang lama, Qatar juga tawarkan diri. Sama seperti Argentina, negara kaya raya yang baru sukses menyelenggarakan Piala Dunia ini juga bukan peserta. Artinya, jika Argentina atau Qatar diberi kepercayaan menjadi tuan rumah mengganti Indonesia maka secara otomatis mereka akan jadi peserta turnamen kelompok junior ini.
Saya ingin memulai tulisan ini dengan sikap FIFA yang membatalkan undian pembagian grup untuk 24 negara peserta. Membatalkan yang bersumber pada diksi “batal” menurut KBBI berarti tidak berlaku atau tidak sah. Jika jadi kata kerja maka maknanya bertambah dengan pengertian tunda atau urung. Sampai saat ini kita tak tahu apakah sikap FIFA itu berarti tidak berlaku atau semata hanya menunda.
Jika “batal” berarti tidak berlaku maka sangat mungkin peluang Indonesia untuk jadi tuan rumah Piala Dunia U-20 telah raib. Drawing grup Piala Dunia adalah bagian dari turnamen itu sendiri. Indonesia dinilai melanggar komitmen awal dalam kesepakatan dengan FIFA saat mengikuti bidding. Salah satu poin krusial untuk jadi tuan rumah ajang sekelas Piala Dunia adalah jaminan keamanan untuk semua peserta tanpa kecuali.
Ketika memastikan jadi tuan rumah, Indonesia tak punya bayangan Israel – negara yang tak punya hubungan diplomatik dengan kita – akan jadi peserta Piala Dunia ini. Bagaimana mungkin Israel bisa menyingkirkan Jerman, Spanyol, Belanda, Belgia dan sejumlah negara Eropa dengan latar kompetisi sepakbola kelompok umur yang lebih baik?. Sepakbola bukan matematika. Israel dengan banyak talenta muda mampu memberi bukti. Mereka adalah finalis Piala Eropa U-19 tahun lalu. Jadi agak aneh jika otoritas sepakbola sekelas PSSI mengaku bingung dengan maraknya penolakan terhadap Timnas Israel saat ini.
Jika punya opsi lain untuk jadi solusi, mengapa keikutsertaan Israel di Piala Dunia kali ini baru direspons setelah FIFA membatalkan drawing?. Mengapa tidak dilakukan sejak tahun lalu?.
Sikap FIFA besar kemungkinan diambil setelah surat Gubernur Bali I Wayan Koster kepada Menpora Zainuddin Amali beredar luas. Dalam surat itu, Koster secara tegas menolak kedatangan Timnas Israel di Bali. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga bersikap sama. Alasan umum dan sejalan dengan sikap publik adalah Israel yang tak punya hubungan diplomatik dan kerap menyerang Palestina. Orang ramai mengaitkan dengan sikap Presiden Soekarno yang melarang timnas Indonesia bertanding melawan Israel tahun 50an. Bahwa konstitusi kita menentang penjajahan. Bahwa kita mendukung kemerdekaan Palestina.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah Palestina masih dijajah Israel?. Negeri ini sudah merdeka. Kemerdekaan mereka sudah diakui dunia. Palestina bahkan sudah jadi anggota PBB meski keanggotaan penuh mereka diveto oleh Amerika. Bagaimana sikap kita terhadap Amerika?. Dukungan terhadap Palestina menurut saya lebih pada perlawanan melihat ketidakadilan dalam wajah dunia yang kian “cafarune”. Kita marah saat Israel menyerang dan membunuh anak-anak Palestina. Kemarahan yang sama saat Rusia menyerang Ukraina, saat Cina menggusur Uighur, saat perang Balkan melenyapkan jutaan nyawa tak berdosa. Tapi apakah perang-perang itu melenyapkan identitas Palestina sebagai sebuah bangsa yang merdeka.
Kita sekali lagi mestinya tetap marah saat pengadilan tragedi Kanjuruhan yang merenggut 135 nyawa tak berdosa – mereka yang ke stadion untuk bergembira – telah membebaskan para tersangka. Para hakim secara sadar dengan pemahaman hukum yang “maha tahu” malah menyalahkan angin yang mengubah sebaran gas air mata ke arah penonton. Jika anda tak pernah marah dengan tragedi ini tetapi berteriak paling murka menolak Israel – jangan jangan anda juga bagian dari “angin” yang menderu itu.
Penolakan terhadap Israel juga akibat sikap bermuka dua dari otoritas sepakbola dunia ini. FIFA bersikap tidak adil ketika memberi sangsi ke Russia dan berdiam melihat agresi Israel. FIFA selalu berkampanye jika sepakbola itu universal dan tak boleh dicampuradukan dengan politik. Sebuah sikap yang hipokrit. Sepakbola dan politik adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dipisah. Sikap penolakan terhadap Israel yang marak saat ini menurut saya lebih pada politisasi sepakbola yang seksi di tahun politik. Semua orang butuh panggung untuk bersikap.
Orang-orang yang menolak itu mungkin tak tahu atau pura-pura lupa jika tahun 2015, ada seorang pebulutangkis Israel yang mentas di Istora Senayan. Kedatangan Milsha Zilberman kala itu sempat ditolak tapi meredup setelah WBF – otoritas bulutangkis dunia – mengancam tidak akan mengakui kejuaraan dunia itu jika atlet Israel tidak bisa bermain di Jakarta. Tahun lalu, dua atlet Israel, Yuval Shemla dan Noa Shiran bertanding di Jakarta dalam kejuaraan dunia panjat tebing. Yang terbaru, pertengahan Februari 2023, Mikhail Yakovlev, Rotem Tene dan Vladislav Loginov ikut berlomba dalam kejuaraan balap sepeda di Jakarta. Lucunya, tak ada penolakan.
Jadi mengapa sekarang menolak timnas Israel? Tak masalah sebenarnya jika nasionalisme kita yang bersandar pada konstitusi menolak Israel yang juga berarti menolak otoritas FIFA. Tapi kudu dipahami jika FIFA juga punya kuasa dalam jejaring sepakbola dunia. Seluruh pertandingan sepakbola di dunia tunduk pada regulasi yang mereka bikin. Artinya jika kita melawan maka kita bukan bagian dari FIFA.
Masih ada waktu – meski ini harapan yang tak berujung – untuk mencari solusi. Jika kita diganti sebagai tuan rumah karena “ketidakpatuhan”. Maka sangsi FIFA akan berlaku. Sepakbola Indonesia akan dikucilkan. Timnas Indonesia akan dilarang ikut semua kompetisi FIFA. PSSI dibekukan. STY pulang kampung. Jordi Amat, Elkan Baggott, Sandy Walsh, Shayne Pattynama, Rafael Struick, Ivan Jenner pasti menyesal. Kita juga sangat mungkin tak lagi dipercaya jadi tuan rumah event multinasional semisal Olimpiade atau kejuaraan dunia lainnya.
Tak ada kompetisi liga. Ratusan ribu pemain, pelatih dan orang-orang yang selama ini bekerja di sepakbola akan kehilangan pekerjaan. Efek dominonya juga kemana-mana. Mulai dari transportasi, akomodasi, bisnis jersey hingga penjual minuman dan makanan ringan di stadion-stadion akan kehilangan pendapatan. Adakah konstitusi yang kita agung-agungkan itu akan memberi mereka makan?.
Sore nanti Pro 3 RRI pusat mengundang saya sebagai pemerhati sepakbola Maluku Utara berdiskusi terkait masalah ini. Ini undangan yang kesekian kalinya. Topiknya rada berat. Menurut saya pemerintah tak boleh diam. Jalur diplomasi dan semua tawaran solutif harus secepatnya dikomunikasikan dengan FIFA. PSSI juga sudah saatnya berhenti melontarkan narasi “bingung”.
Mari diskusikan dengan pikiran cerdas.. (*)
Discussion about this post