REFERENSIMALUKU.ID,-Isyu penanggulangan bencana dan adaptasi perubahan iklim adalah salah satu kebutuhan paling mendasar dalam dinamika kemasyarakatan di Maluku dan Maluku Utara. Gugusan kepulauan yang membentang “dari ujung Halmahera sampe Tenggara Jauh” ini menyimpan banyak sekali potensi bencana. Kawasan ini jadi titik pertemuan tiga lempeng besar dunia yang sangat aktif yakni lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik dan lempeng Eurasia. Ada juga banyak subduksi yang kerap memunculkan gempa bumi baik di laut maupun daratan.
Selain itu, gugusan kepulauan yang kaya dengan rempah ini punya beberapa gunung api aktif, sesar yang memanjang dari pulau ke pulau serta diapit oleh dua megatrust – Laut Banda bagian Utara dan Filipina – yang memiliki potensi gempa sangat besar dan berpotensi tsunami. Survey terbaru yang dipublikasi akhir tahun lalu menyebut, laut Banda punya lima gunung api bawah laut. Potensi bencana yang mengancam akan bertambah jika kita menghitung ancaman banjir, longsor hingga abrasi dan gelombang laut ekstrim.
Jika membaca Katalog Tsunami Indonesia tahun 418 – 2018, kita akan mendapati fakta bahwa sejatinya sejak dulu, saat ini dan nanti, kita hidup di atas patahan yang rapuh. Mayoritas bencana tsunami yang dipicu gempa besar mulai tahun 1600an hingga awal milenium baru berpusat di Maluku dan Maluku Utara. Sepanjang tahun 1600, terjadi 11 gempa besar disertai tsunami dan seluruhnya terjadi di kawasan ini dengan episentrum utama adalah laut Banda.
Dalam catatan Wichman, Sieberg dan Heck : tanggal 17 Februari 1674, lindu berkekuatan 6,8 SR mengguncang Maluku disertai terjangan tsunami nyaris setinggi 100 meter. Ini tsunami tertinggi yang tercatat pernah terjadi di Indonesia. 2243 warga meninggal. Rumphius – ilmuwan Jerman yang sedang meneliti keragaman fauna dan flora Maluku adalah salah satu korban yang selamat. Ia menuliskan kisah ini dengan kegetiran yang luar biasa menyesakan. Tanah seperti gelombang laut, naik turun, bangunan runtuh, lonceng lonceng gereja berdentang sendirian. Belum lagi pulih dari keterkejutan, air laut datang melenyapkan muka tanah. Rumphius kehilangan isteri dan anak dalam tragedi ini.
Seabad kemudian, terjadi 12 kali gempa besar disertai tsunami dan delapan diantaranya lagi-lagi berpusat di laut Banda. Mala itu terus berlangsung dengan puluhan gempa serta tsunami sepanjang tahun 1800an. Di awal abad 20, tercatat beberapa gempa dan tsunami yang menyebabkan ratusan orang meninggal terjadi di Sanana, Seram, Obi dan Taliabu.
Lalu mengapa peradaban di Maluku dan Maluku Utara tidak serta merta punah dihantam begitu banyak bencana?. Kita ternyata dianugerahi Tuhan kemampuan untuk beradaptasi. Saya selalu menyebut bahwa sejarah peradaban manusia adalah perjalanan adaptasi. Dalam bukunya : Sapiens – Yuval Harari menyimpulkan jika adaptasi adalah senjata terbaik manusia saat menghadapi perang, kelaparan, wabah dan juga bencana. Kita selalu belajar dari masa lalu untuk menghindari jebakan bencana yang kadang berkelindan dengan kepongahan hidup. Juga kerakusan yang tak berbatas untuk menguasai dan merusak secara bersamaan.
Adaptasi disini juga berarti kemampuan untuk memahami perilaku alam. Tak sekedar menghindar tapi menjadi “sahabat” alam. Kita berbagi peran. Saya ingat tulisan Robert Frost, sastrawan Amerika yang banyak sekali menulis puisi-puisi yang mengguncang dunia : “seperti sekeping es di tungku panas, puisi harus mengendarai kemelelehan dirinya sendiri”. Puisi dan kita adalah dua wadah yang sama. Saat ini kita sedang mengendarai bumi yang meleleh sembari menyadari jika kitalah yang membuatnya demikian. Dulu, kita berebut untuk menguasai sebanyak mungkin, entah besok-lusa, kita akan berlomba untuk mengurangi.
Segalanya cepat atau lambat akan menjadi yang lain. Karena itu, kita butuh kemampuan untuk bertahan. Kemampuan itu harus menggabungkan dimensi keimanan dan pengetahuan yang berbasis pada kemajuan sains dan tekhnologi. Keimanan tak hanya dipahami sebagai hubungan yang transenden antara manusia dengan Tuhannya, tetapi juga merangkum dimensi sosial kemasyarakatan – yang bisa jadi juga akan melintasi sekat teologis.
Pada lanskap ini, saya mengapresiasi dinamika dan cara pandang Gereja Protestan Maluku yang memberi ruang yang sangat adaptif bagi isyu penanggulangan bencana dan adaptasi perubahan iklim. Dalam Pola Induk Pelayanan dan Rencana Induk Pengembangan Pelayanan (PIP – RIPP) Gereja – semacam GBHN di masa Orde Baru – yang terus disesuaikan dengan kemajuan peradaban setiap lima tahun, isyu terkait ini telah jadi prioritas. Ada departemen khusus yang mendrive pengelolaan lingkungan hidup dan penanggulangan bencana.
Mengapa ini jadi prioritas?. Dalam Himpunan Keputusan Sidang Ke 43 MPL Sinode GPM tahun 2022, GPM memiliki 766 Gereja yang tersebar di berbagai daerah – di kota maupun desa – yang ada di Maluku dan Maluku Utara. Ada 143.264 kepala.keluarga atau 594.355 anggota jemaat yang dilayani 1272 pendeta. Ini jumlah yang sangat besar. Dan mereka entah anggota jemaat dan para pendeta jadi bagian yang harus dilindungi. Sebab itu, dua tahun terakhir, GPM berinisiasi membentuk “Gereja Tangguh”. Model gereja yang adaptif dan aman dari ancaman bencana.
Mereka kerap membuat pelatihan berbasis unit pelayanan. Kampanye dan advokasi juga gencar dilaksanakan. Saya beberapa kali terlibat dalam kegiatan ini. Di undang berbagi pengetahuan dan pengalaman. Selain itu, sejak lima tahun lalu, saya bersama Rorano Maluku Utara – NGO lokal yang berfokus pada isyu kesehatan, pendidikan dan penanggulangan bencana – telah melakukan berbagai pelatihan dalam kegiatan kemitraan yang kami beri nama Istana – Inisiasi Masyarakat Tangguh Bencana.
Program ini bertumpu pada edukasi kebencanaan, sejarah kebencanaan di level lokal, respons yang disiapkan, asesmen, pertolongan pertama hingga pelatihan yang bersifat partisipatif seperti membuat tim bencana, peta bencana, jalur evakuasi hingga simulasi. Ada beberapa relawan bencana dengan skill terlatih yang saling terkoneksi. Mereka adalah anak anak muda gereja yang membentuk tim.relawan. Tim ini ada di Mayau, Tifure, Ternate dan Pulau Obi.
Di Gereja Ayam Ternate,- tempat ratusan jemaat Imanuel dengan berbagai latar sosial ekonomi sering berkumpul dan beribadah, sebuah disrupsi yang menunggangi kemajuan tekhnologi informasi tengah dinikmati. Setiap jelang ibadah, ketika kaki-kaki jemaat memasuki altar dan duduk berbaris menunggu ibadah dimulai, di layar utama dan beberapa monitor televisi, akan muncul video tutorial terkait apa, kapan dan bagaimana sikap kita jika terjadi gempa bumi berskala besar.
Video tutorial gereja aman bencana gempa bumi ini menggabungkan kerja tim relawan dan kemajuan IT. Ia sangat membantu tak sekedar sebagai pengingat tetapi juga jadi semacam “penunjuk jalan”. Video tutorial yang kami buat bersama ini mungkin adalah video pertama yang ada di Gereja-Gereja dalam naungan Sinode GPM. Ia jadi semacam inspirasi. Juga pendorong agar yang seperti ini dibuat dan dijadikan bagian dari kehidupan bergereja. Ada asa Gereja tak hanya jadi tempat yang ramah dan aman tetapi Ia bisa menghadirkan makna “Rumah Tuhan” dalam keseharian yang fana.
Dalam Mazmur 46 : 1-3 disebutkan dengan kasih dan iman : Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti. Sebab itu kita tidak akan takut sekalipun bumi berubah, sekalipun gunung-gunung guncang di dalam laut, sekalipun ribut dan berbuih airnya, sekalipun gunung-gunung goyang oleh geloranya.
Tuhan dalam posisi yang universal adalah “tempat berlindung” yang tak berjarak. Ia ada di mana-mana. (*)
Penulis: Asghar Saleh
Discussion about this post