Referensimaluku.id,-Operasi militer di Papua dengan kekuatan besar dinilai tidak efektif, apalagi korban jiwa terus berjatuhan, pendekatan kesejahteraan selama ini sudah dilakukan, namun efeknya memang belum terlalu terlihat, sehingga polanya harus lebih humanis.
Tentu dengan mengurangi jumlah pasukan militer yang ada di Papua, langkah ini dilakukan untuk memberikan rasa aman bagi masyarakat Papua. Pemerintah pusat dan Papua perlu meningkatkan rasa saling percaya (trust building) satu sama lain dengan membangun kemitraan tidak hanya sebatas birokrasi tetapi juga melalui pendekatan kemanusiaan melalui tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh agama maupun dengan jalan memberikan dan meningkatkan jumlah penerima beasiswa dengan skema Kerjasama.
Tentu dengan peningkatakan jumlah beasiswa ini pemerintah juga harus memastikan bahwa mereka juga dapat kembali dan mengabdi untuk daerahnya sendiri, sehingga penerimaan PNS, TNI dan POLRI serratus persen harus diberikan untuk putra-putri Papua. Mereka ini yang nanti diharapkan menjadi tangan-tangan pemerintah untuk mendoktrin dan menyebarkan benih-benih kecintaan kepada Indonesia.
Jika skema ini tidak dilakukan maka pemerintah pusat belum mempercayai keberadaan orang Papua di Indonesia, hal ini ditunjukkan terus bertambahnya jumlah pasukan militer di provinsi paling timur Indonesia tersebut. Ketidakpercayaan ini berakibat proses pembangunan yang dilakukan di Papua tidak bisa berjalan optimal karena belum adanya sinergi antara pusat dan Papua.
Proyek-proyek infrastruktur yang ada sekarang ini juga, sebetulnya melayani siapa ? Sebab justru terdapat 39 perusahaan yang mendapatkan keuntungan secara langsung dari pembukaan proyek Trans Papua, dan kita tahu perusahan-perusahan ini miliki siapa dan afilisinya dengan siapa. Sementara akar masalah yang ketiga adalah kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik, serta tidak belajarnya rezim sekarang dengan kegagalan pendekatan kekerasan yang dilakukan oleh rezim sebelumnya,
Jangan sampai rakyat berpikir bahwa pembahan militer ini hanya indikasi kepentingan ekonomi dalam serangkaian operasi militer, jangan-jangan konsesi tambang yang ada di Papua teridentifikasi terhubung baik secara langsung maupun tidak langsung dengan para jenderal sehingga keamanan berlapis terus dilakukan untuk mengamankan kepentingan mereka. Seab rasio penduduk dan personel keamanan per kapita adalah 97:1. Artinya, ada satu polisi atau tentara untuk setiap sembilan puluh tujuh orang Papua. Rasio ini menunjukkan bahwa konsentrasi pasukan keamanan di Papua jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya dengan rasio 296:1, artinya 1 personel keamanan untuk setiap 296 warga negara.
Relasi antara konsesi perusahaan dengan penempatan dan penerjunan militer di Papua selama ini memantik eskalasi konflik bersenjata, memperparah teror bagi masyarakat sipil, dan menambah deretan kekerasan negara di Papua. Apalagi dengan melabeli kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai teroris. Sehingga pelabelan tersebut menjadi pintu masuk legalisasi operasi militer dan penambahan pasukan. Jika hal ini tidak dihentikan maka jangan salahkan jika akan Tumbuhnya paham “nasionalisme Papua” yang semakian menyerukan Gerakan Papua Merdeka.
Berbagai pengalaman menunjukkan pendekatan keamanan tidak menjawab permasalahan sistemik di Papua yang mengalami kesenjangan akses kebutuhan primer, kerusakan sumber daya alam, dan masalah kebebasan sipil, sehingga panglima TNI yang baru harus memakai pendekatan yang lebih humanis dan mengurangi militer disana. Pemberian beasiswa penuh dengan skema kerjamasama pagi putra-puri Papua juga menjadi jalan terbaik untuk membangun Papua yang lebih damai.(*)
Discussion about this post