Referensimaluku.id.Ambon- Mareheonno merupakan salah satu ‘rumahtua’ di Pulau Kisar, Kecamatan Pulau-pulau Terselatan, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, yang banyak menyimpan cerita tentang keberadaan adat-istiadat, hukum adat (“keneri kanai”) maupun pembentukkan Kerajaan Kisar (“Kingdom of Jotowawa Rai Daisuli”).
Secara turun-temurun Raja-raja Kisar sebelum dikukuhkan secara adat di “Kotraram” atau Rumah Raja di Wonreli harus meminta dan atau memperoleh pengukuhan adat dari sesepuh (turunan asli/sah) “matarumah Mareheonno”. Pengukuhan Raja I Wonreli Pakar pada 1686 dilakukan orang kaya Yawuru, MAUMERE dari “matarumah Mareheonno”.
Begitupun pada saat pengukuhan Raja III Wonreli dilakukan PONI yang juga berasal dari matarumah keluarga Letelay ini. Artinya, jika fenomena sosial budaya masyarakat Kisar ini dikaitkan dengan “Teori Pemisahan Kekuasaan Negara” Trias Politica milik Pemikir Politik Prancis era pencerahan Charles-Louis de Secondat Baron de La Brede et de Montesquieu (1689-1755), maka rumahtua Mareheonno merupakan lembaga tertinggi negara (kalau dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia rumahtua Mareheonno disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR), sementara Raja di Kisar merupakan lembaga eksekutif yang baru sah (diberikan mandat adat) menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai lembaga tinggi negara setelah dikukuhkan ketua MPR atau turunan asli matarumah Mareheonno.
Tradisi ini masih tetap dijaga dan dihormati etnis Kisar sampai saat ini. Itupula yang menyebabkan di Kisar masyarakat adatnya tidak pernah ribut atau saling mengklaim matarumah parentah hanya untuk kepentingan politik bupati atau tujuan mengelola Dana Desa atau Alokasi Dana Desa. Mengapa begitu? Sebab, adalah tabu atau “haram” bagi orang Kisar yang kerap diajarkan leluhur maupun setiap orangtuanya untuk tidak boleh berbohong (“poholahar”), tidak boleh tipu-tapa (“wudiwawa”) dan tidak boleh menusuk dari belakang. (RM-03).
Discussion about this post