Oleh : Asghar Saleh
Referensi Maluku.id,-Tak akan banyak orang yang percaya sekalipun kalimat ini lahir dari mulut seorang Diego Armando Maradona. Tapi yang menyebut sepak bola dapat merubah jejak sebuah bangsa adalah Ernesto “Che” Guevara. Pejuang kelahiran Argentina ini adalah kandil yang membakar api revolusi di daratan Amerika bagian selatan dan tengah. Gagasan dan konsistensi Che bahkan menular ke mana-mana. Ia anti penindasan. Ia percaya kesetaraan hidup dan kesejahteraan adalah kunci untuk membebaskan. Saking populernya, di kota Rosario – kota yang sama tempat kelahiran megabintang Argentina saat ini, Lionel Messi – nama Che jauh lebih berarti. Catatan pernikahan Messi dengan Antonella Roccuzzo pada Juli 2017 misalnya, ternyata bukan dokumen penting bagi kantor catatan sipil di kota itu. Padahal banyak bintang sepakbola dan selebrity yang datang ke Rosario.
“Dokumen paling penting di kantor ini adalah akta kelahitan Che”. kata direktur di kantor itu. Nama Che memang abadi. Maradona yang dianggap Dewa oleh publik Argentina tak segan untuk bikin tato wajah Che di lengan kanannya. Socrates, bintang Brazil yang berkilau di Espana’82 berbicara secara terbuka jika dirinya mengidolai Che. Thierry Henry juga sama. Bintang asal Perancis itu mengenakan kaos bergambar Che ketika menghadiri acara pemain terbaik FIFA.
Revolusi seperti kata Che memang tengah berlangsung di Qatar 2022. Ada “perlawanan” di sela laga-laga panas yang tersaji sejak babak fase grup. Sejak awal negara super kaya ini konsisten menolak semua delusi Amerika dan Barat. Dalam kasus LGBT, klaim beberapa timnas yang hendak menggunakan ban kapten “one Love” – simbol kesetaraan dalam isyu LGBT – secara tegas ditolak oleh Qatar. Negara itu tetap bertahan pada nilai-nilai lokal yang berkelindan dengan keyakinan warganya. Sesuatu yang jadi pondasi utama sebuah bangsa.
Jhon Mearsheimer dalam buku “Great Delusion ; Liberal Dreams and International Realities”, menyebut keinginan kaum liberal Amerika dan Barat untuk memaksakan kehendak mereka dengan skema – meminjam istilah Mearsheimer “killing two birds with one stone” memang dapat perlawanan di mana-mana. Qatar punya pengalaman ketika “dikepung” Arab Saudi dan kroninya beberapa tahun lalu. Amerika dan Barat selama ini selalu menggunakan kekuatan ekonomi dan senjata untuk menyebarkan liberalisme. Jika tak setuju dengan ide kebebasan dan demokrasi maka akan ada operasi untuk menggulingkan rezim-rezim yang berkuasa, yang menjadikan nilai-nilai lokal sebagai benteng pertahanan.
Model pemaksaan ini yang ditentang. Qatar tak hanya melulu cerita tentang penolakan LGBT. Edisi Piala Dunia ke 22 ini secara terbuka juga jadi panggung untuk kampanye tentang ketidakadilan dan penindasan. Salah satu yang viral adalah dukungan terhadap kemerdekaan Palestina. Timnas Tunisia dan Maroko secara terbuka membentangkan bendera Palestina. Suporter kompak menyanyikan lagu-lagu penyemangat untuk warga di tepian Gaza. Jurnalis Israel ditolak ketika hendak melakukan wawancara. FIFA bungkam. Padahal sebelumnya, otoritas tertinggi sepakbola dunia ini selalu menolak “politik” dalam setiap pertandingan. Kita ingat, tahun 2016, klub Glasgow Celtic didenda gegara suporternya mengibarkan bendera Palestina. Tapi di Qatar, FIFA tersudut oleh perlawanan yang masif dan kolosal.
Saya sebut “perlawanan” karena aras suporter bersumber pada kesadaran universal bahwa sepakbola tak boleh dikelola secara otoriter. Suporter seperti ingin menunjukan wajah FIFA yang tak adil. Russia dilarang tampil di Piala Dunia karena menginvasi Ukraina tetapi Israel bebas bermain meski bertahun-tahun menghancurkan Palestina. Perlawanan itu diwakili tim-tim kecil asal Asia dan Afrika yang terus tumbuh dan belajar untuk mengalahkan hegemoni sepakbola yang selama ini berpusat pada Eropa dan Amerika Latin.
Jika harus jujur, asa untuk melawan itu kini ada di pundak tim nasional Maroko. Tim berjuluk Singa-Singa Atlas ini jadi bandul utama disrupsi sepakbola yang kini berlangsung di Qatar. Jika kita jeli, ada dukungan melimpah tak hanya di stadion-stadion megah saat maroko bermain tetapi juga di berbagai belahan dunia. Saya menonton Piala Dunia pertama kali tahun 1978. Saat itu, televisi merek National dengan bungkus mirip lemari kayu berbadan besar masih hitam putih sehingga kita mengira kostum Mario Kempes dkk berwarna senada. Antena untuk menangkap siaran dibuat dari pohon bambu yang menjulang tinggi menyentuh awan. Namun belum pernah saya melihat laga yang tak imbang dari dukungan suporter saat tim kecil melawan tim unggulan.
Di partai seru antara Maroko dan Spanyol, juga saat Maroko menghadapi Portugal, nyaris setiap pemain Spanyol dan Portugal memegang bola, siulan tanda mengejek bak dengungan yang menyakitkan telinga. Ada cemohan di sana. Ada ketidakinginan melihat Maroko dikepung dengan “tiki-taka” Spanyol atau sepakbola menyerang khas “samba” Portugal. Siulan itu berbalik jadi teriakan penuh dukungan saat Maroko menguasai bola. Gemuruhnya meledakkan stadion. Dan yang mendukung itu tertawa riang usai Maroko jadi pemenang. Ada kegembiraan yang berkecambah tanpa batas.
Maroko memang jadi simbol perlawanan. Mereka seperti mewakili passion, juga heroisme dan mimpi negara-negara kecil untuk jadi juara. Maroko jadi semacam “anti thesa” untuk bisnis sepakbola yang kian menggurita dengan gelimang duit yang berputar di Eropa. Mereka adalah jejak orang-orang pinggiran – kaum migran yang hendak meneguhkan kembali identitas kebesaran Maroko di masa lalu. Achraf Hakimi misalnya. Latar keluarganya tak mewah. Ibunya hanya pembantu rumah tangga. Ayahnya seorang pedagang kaki lima yang berjualan serabutan di pinggiran kota Madrid saat Hakimi lahir. Begitu juga cerita dari Yassine “Bono” Bounou yang lahir di Kanada, Romain Saiss dan Sofiane Boufal yang lahir di Perancis atau Hakim Ziyech, Noussair Mazraoui dan Sofyan Amrabat yang lahir dan besar di Belanda.
Di tengah himpitan hidup, mereka tumbuh bermodal cinta dari keluarga. Bocah-bocah imigran ini kemudian belajar di akademi sepakbola level atas di negara-negara kelahiran mereka. Mengapa sepakbola?. Karena sebagaimana kata Che “sepakbola adalah senjata revolusi”, Hakimi dkk meyakini lewat bermain bola, kehidupan keluarga mereka akan berubah jadi lebih baik. Kekuatan Maroko memang berbasis pada bocah-bocah imigran ini yang memiliki mentalitas petarung. Tak mudah menyerah. Kolaborasinya makin mengerikan karena mayoritas pemain Maroko bermain di liga Spanyol, Inggris, Perancis, Italia dan Inggris. Dari 26 pemain yang dipilih pelatih Walid Regragui, hanya ada empat pemain yang bermain di klub lokal Maroko. Salah satunya adalah Yahya Attiyat-Allah, full bek kiri yang bermain untuk Wydad AC dan memberikan assist bagi gol Youssef En-Nasyri saat mengalahkan Portugal.
Dari posisi “Sebelas pertama” selama Piala Dunia kali ini, semua pemain yang dipercaya pelatih adalah skuad internasional. Bono bermain untuk Sevilla bersama dengan penyerang utama En-Nasyri di Sevilla. Di lini pertahanan, duet bek tengah dihuni kapten Roman Saiss yang bermain di Besiktas Turki dan anak muda bernama Nayef Aquerd yang bermain untuk West Ham United. Di kanan kita tahu ada Hakimi yang bermain untuk PSG dan di kiri ada Mazraoui yang memperkuat Bayern Muenchen. Lini tengah Maroko selalu jadi milik trio Amrabat (Fiorentina), Selim Amallah (Standard Liege) dan Azzidine Ounahi (Angers Perancis), gelandang bertenaga kuda yang mencuri perhatian pelatih spanyol dan kini tengah diburu Barcelona.
Untuk urusan membuat gol ke gawang lawan, En-Nasyri – salah satu produk akademi sepakbola Maroko yang dirikan Raja Mohammed VI – biasanya akan ditemani dua sayap super cepat dengan skill ball kelas atas, Ziyech yang bermain di Chelsea dan Sofiane Boufal yang merumput di lique 1 bersama klub Angers. Di bangku cadangan, pemain “internasional” lain dengan kualitas nyaris sama setia menunggu. Ada Jawad El Yamiq (Real Valladolid), Achraf Dari (Brest), Abdelhamid Sabiri (Sampdoria) atau Walid Cheddira (Bari).
Dari aspek taktikal, banyak orang mengkritik gaya permainan Maroko yang serba defensif. Rodri, bek Spanyol menyebut Maroko “did nothing”. Hanya menunggu dan lakukan counter attack. Rodri lupa jika bertahan adalah pilihan taktik yang tak mudah dilakukan. Butuh organisasi bermain yang rapi dengan pressing yang susah diurai. Saya melihat Maroko pakem dengan 4-3-3 saat menyerang tetapi saat kehilangan bola, skemanya jadi 4-1-4-1. Mekanismenya seperti pendulum. Pemain terdekat dengan bola akan naik lakukan “jump to press” dan ada pemain yang turun untuk mengcover jika ada kebocoran. Agar taktik ini berjalan optimal, choach Walid memberikan kebebasan kepada Amrabat untuk bergerak. Karena itu, dalam setiap laga Maroko, Ia terlihat ada di setiap area permainan entah untuk untuk memutus serangan lawan atau jadi orang pertama yang lakukan “build up” serangan.
Jika tidak pernah bermain sepakbola maka pilihan taktik dengan “low block” ini dikira mudah dilakukan. Terlihat hanya menunggu. Tapi sejatinya taktik ini sangat sulit. Di tekan sepanjang 90 menit itu butuh fokus, konsentrasi tinggi, kolektifitas bergerak yang terhubung lewat chemistry antar pemain dan tak boleh membuat kesalahan sekecil apapun. “Shape” tak boleh berubah. Intensitas pressing terjaga. Butuh “effort” yang besar untuk terus bergerak mengejar bola dan menutup ruang yang kosong. Ini tak hanya menguras energi yang berujung kelelahan fisik tetapi juga mereduksi psikologis pemain. Hanya pemain dengan kekuatan mental luar biasa yang bisa melewati situasi ini. Dan pemain Maroko punya sesuatu yang melebihi sepakbola – yang membuat mereka saat ini menyihir dunia.
Maroko bisa karena dua prinsip. Pertama ; sikap menolak menyerah. Nyaris semua pemain memiliki latar belakang keluarga yang sederhana. Mereka berjuang untuk hidup sebelum jadi pemain bola professional. Latar belakang sejarah Maroko juga mengilhami pemain untuk memberikan yang terbaik bagi bangsanya. “Kami ingin Afrika menjadi yang teratas di dunia, tetapi kami juga harus kuat dan maju. Kami bukan favorit tetapi kami yakin” kata Walid.
Mewakili Afrika jadi semacam déjà vu. Maroko pada zaman dulu adalah sebuah kekuasaan yang membentang tak hanya di Afrika – wilayah kerajaan Al Mamlakah Al Maghribiyah meliputi Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya dan Senegal – tetapi juga mencapai Spanyol dan Portugal. Pada masa kejayaan Bani Umayyah di Andalusia, peradaban Islam melahirkan banyak pemikir hebat yang menginspirasi dunia seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Ibnu Batutta dan Al Farabi. Sayangnya intrik internal dan kepungan musuh membuat Umayyah runtuh dan melahirkan banyak negara kecil. Yusuf Ibnu Tasyin, pendiri dinasti Murabithun – cikal bakal kerajaan Maroko kini – yang menguasai wilayah Maghribi memilih bertahan dan melepas Andalusia dan juga sebagian Eropa yang dikuasai nyaris selama tujuh abad. Meski begitu, boleh dikata jika persentuhan Eropa dengan Maroko jadi semacam “lampu mercusuar” yang mengakhiri masa kegelapan Eropa.
Keputusan Raja ini memantik amarah Imam Al-Gazali yang menulis surat kepada sang Raja. “Pilihlah salah satu di antara dua, memanggul senjata untuk menyelamtkan saudara-saudaramu di Andalusia atau Engkau turun tahta untuk diserahkan kepada orang lain yang sanggup memenuhi kewajiban tersebut”. Sejarah mencatat, Andalusia pada akhirnya jatuh. Tapi Maroko tetap survive meski terus digempur Eropa sejak tahun 1415. Baru pada awal abad 19, Perancis sukses menjadikan Maroko sebagai wilayah protektoratnya. Karena itu, orang-orang Maroko selain berbahasa Arab dan bahasa suku lokal Berber, mereka juga fasih berbahasa Perancis dan Spanyol. Maroko merdeka pada 18 November 1958 dan raja pertamanya adalah Mohammed V.
Belajar dari masa lalu dimana perpecahan selalu menyulut kehancuran bangsanya, Raja Hassan II yang naik tahta menggantikan ayahnya Mohammed V mereformasi sistim pemerintahan. Tahun 1963, Ia bermaksud menggelar pemilihan umum pertama di Maroko namun perang dengan Spanyol membuat pemilu tertunda. Hasan II kemudian bernegosiasi dan mengakhiri perang di Sahara Barat dengan Spanyol. Baru pada tahun 1997, saat situasi dalam negeri stabil, Ia mengadakan pemilu dan membentuk parlemen bikameral. Kebijakan yang dijalankan oleh Hasan II untuk merangkul semua kekuatan sebagaimana ditulis oleh Paul Amar dan Vijay Prashad dalam buku “Dispatches From The Arab Spring – Understanding The New Middle East” adalah “double strategy” dengan menjaga keseimbangan kepentingan antara kelompok oposisi dengan penegakan konstitusi. Ia megambil politik jalan tengah yang mengadopsi perbedaan untuk mereduksi perpecahan antar kelompok kepentingan. Dengan kekuatan ini, kita tahu Maroko tak bergejolak saat “Arab Spring” meluluhlantakkan Tunisia, Mesir dan Syiria.
Satu catatan penting tentang Maroko dalam hubungannya dengan kita adalah fakta bahwa empat tahun sebelum lepas dari Perancis, dalam Konprensi Asia Afrika di Bandung, Presiden Soekarno secara terbuka menyatakan sikap Indonesia untuk mendukung kemerdekaan Maroko dan semua negara di Afrika. Dukungan politik yang termata penting di masa itu dibalas dengan sebuah nama jalan utama menuju gedung Parlemen di pusat kota rabbat dengan nama “Rue de Soekarno” atau jalan Soekarno. Orang-orang Maroko memang selalu memilihara ingatan kolektif mereka dengan tokoh-tokoh bangsa yang berjasa. Hampir semua orang-orang Maroko yang mayoritas beretnis Berber menghafal pidato Thariq bin Ziyad, hero penakluk bukit karang di Giblatar – yang belakangan diberi nama Jabal Al Thariq – satu satunya pintu utama untuk menginvasi Eropa lewat darat saat itu.
Penghargaan dan sikap tak melupakan jasa orang lain menurut saya adalah prinsip kedua yang membuat tim nasional ini terus menebar ancaman selama di Qatar. Kita melihat berulang kali bagaimana sikap Hakimi, Boufal, Walid, Ounahi dan banyak pemain lain selalu bersimpuh mencium tangan atau kening Ibu mereka setiap usai bertanding. Doa dan syukur tak pernah berhenti bersenandung di ruang ganti atau di tepi lapangan hijau. Keluarga jadi kekuatan utama Maroko. Federasi sepakbola Maroko sejak awal memboyong seluruh keluarga pemain ke Qatar dan menginapkan mereka di hotel yang sama dengan pemain. Sesuatu yang tak dilakukan tim nasional negara lain. Interaksi pemain dengan Ibu mereka dan kegembiraan yang dibagikan untuk semua orang membuat dunia jatuh cinta.
Dukungan non tekhnis seperti ini membuat pemain makin termotivasi untuk memberikan yang terbaik. Demi Ibu mereka, untuk keluarga mereka dan juga mewujudkan entitas “Hima Maroko” atau Maroko selamanya. Dalam bukunya “Beyond Postcolonial Theory”, penulis Filipina E San Juan Jr menyebut ; Sepakbola bukan lagi sekedar olahraga biasa, Ia jadi bagian dari ekspresi identitas dan kebangkitan sebuah bangsa di forum dunia. (*)
Discussion about this post