Oleh : Dr. M. J. Latuconsina, S.IP, MA
Ketua Bawaslu Kota Ambon
Referensi Maluku.id,-Ambon- Bukan sekedar the leadership expression, tapi lebih dari itu adalah waktu dimana pimpinan (leader) itu dapat merealisasikan tugas, wewenang, dan kewajibannya sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi khususnya dalam bidang yudikatif (quasi yudisial), yang merupakan salah satu cabang kekuasaan diluar cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Konstitusi sendiri merupakan norma sistem politik, dan hukum bentukan pada pemerintahan negara, yang dikodifikasi sebagai dokumen tertulis. Konstitusi tidak mengatur hal-hal yang terperinci, melainkan hanya menjabarkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi peraturan-peraturan lainnya.
Konstitusi juga menjelaskan terkait apa yang bisa dilakukan tiap cabang kekuasaan. Begitu pula menjelaskan bagaimana tiap cabang kekuasaan mampu mengontrol cabang-cabang kekuasaan lainnya. Dalam konteks itu, maka quasi yudisial dimaksudkan adalah Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). (Wikipedia, Merdeka, 2022).
Secara yuridis Bawaslu sebagai lembaga negara independen yang memiliki fungsi pada cabang kekuasaan yudikatif sejatinya mendapat jaminan secara yuridis dalam Undang-Undang Dasar 1945 yakni dalam Pasal 24 (3), yang memberikan legalitas pada lembaga-lembaga negara baru yang bersifat penunjang untuk dapat memiliki sebagian wewenang dari cabang kekuasaan yudikatif. (Bawaslu RI, 2021).
Begitu pula Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman mengakui lembaga quasi-yudisial sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Secara spesifik penjabaran tugas, wewenang dan kewajiban Bawaslu diatur dalam Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemilu) Nomor 7 Tahun 2017. Bawaslu sebagai penyelenggara Pemilu, tidak hanya bertindak sebagai pengawas Pemilu saja. Namun juga bertindak sebagai penegak hukum Pemilu. (Risnain, 2014).
Hal ini sebagaiman diatur dalam Pasal 102 ayat (2) huruf (d) dan Pasal 103 huruf (c) Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, dimana Bawaslu kabupaten/kota memiliki tugas memeriksa, mengkaji dan memutus pelanggaran administrasi Pemilu. Secara teknis diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Perbawaslu) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilu.
***
Pada Sabtu 29/10/2021 lalu selaku Ketua Bawaslu Kota Ambon bertempat di Manise Hotel, Jalan W.R. Soepratman, Tanah Tinggi telah melantik 15 anggota Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kecamatan (Panwascam) se Kota Ambon, yang berasal dari Kecamatan Sirimau, Nusaniwe, Letimur Selatan, Baguala, dan Kecamatan Teluk Ambon. Masing-masing Panwascam tersebut diisi oleh tiga anggota.
Tentu terdapat kebahagiaan para anggota panwascam tatkala mereka dilantik. Begitu pula handai toulan para anggota panwascam turut berbahagia atas dilantiknya mereka sebagai anggota Panwacam se Kota Ambon. Namun diluar kebahagiaan itu terdapat tanggunjawab yang besar yakni, mengawal pesta demokrasi nasional dan lokal, yang akan berlangsung pada tahun 2024 mendatang, yang dimulai dengan Pileg, Pilpres, Pilkada Provinsi Maluku, dan Pilkada Kota Ambon.
Sebagian dari pentahapan Pemilu dimaksud sudah berlangsung sejak 14 Juni 2022 lalu. Akan tetapi dalam agenda demokrasi nasional dan lokal itu pentahapannya akan saling beririsan di tahun 2023 dan 2024 nanti. Hal ini tentu tidak hanya membutuhkan pengalaman dari tiap anggota Panwascam saja, namun mereka harus memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang kepemiluan. Sehingga bisa membantu mereka mensukseskan agenda demokrasi nasional dan lokal tersebut.
Olehnya itu pada diri setiap anggota Panwas Kecamatan dalam kinerja pengawasan Pemilu harus mengedepankan asaz Pemilu yakni : mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. Hal ini akan menjamin terlaksananya Pemilu di Kota Ambon pada tahun 2024 mendatang yang langsung, umum bebas dan rahasia (Luber) serta jujur dan adil (Jurdil).
Mengutip pendapat Pierre Joseph Proudhon sosiolog dan ekonom dari Perancis (1809-1865) bahwa, “demokrasi adalah tirani paling berani dari semua; karena tidak bergantung pada otoritas agama, atau pada bangsawan ras, atau pada hak prerogatif bakat, itu didasarkan pada nomor, dan topeng atas nama rakyat. Jika monarki adalah palu yang menghancurkan rakyat, demokrasi adalah kapak yang membaginya.”
Pendapat ini merupakan sinisme dari sosiolog dan ekonom berkebangsaan Perancis tersebut, sebagai suatu kritikan tentang demokrasi, dimana salah satu instrument vitalnya adalah Pemilu. Olehnya itu dalam kinerja anggota Panwascam selaku penyelenggara Pemilu di tingkat kecamatan perlu berpikir terbalik dengan ungkapan sosiolog dan ekonom Perancis tersebut, dengan senantiasa mengacu pada peraturan tentang Pemilu dan peraturan terkait, yang berlaku di republik ini. (*)
Discussion about this post