Oleh : Dr. M. J. Latuconsina, S. IP, MA
Pemerhati Sosial, Ekonomi &Politik
Referensi Maluku.id,-Bagi khalayak pasti akan menghubungkan kata Afrikaans dengan kata Afrika, yang tidak lain adalah benua Afrika, yang merupakan salah satu dari lima benua di dunia, dan juga merupakan benua terbesar kedua di dunia setelah benua Asia. Para warga masyarakatnya sebagian besar adalah berkulit hitam (negro), sehingga kerap berjuluk benua hitam.
Selain itu, benua Afrika memiliki jumlah penduduk kedua terbesar di dunia setelah benua Asia. Sebagai benua yang padat penduduknya kedua setelah benua Asia, benua Afrika memiliki luas wilayah mencapai 30.224.050 km² termasuk pulau-pulau yang berdekatan, dimana meliputi 20,3% dari seluruh total daratan bumi.
Dengan 800 juta penduduk didalamnya, benua ini merupakan tempat bagi sepertujuh populasi dunia. Populasi penduduknya mencapai 1.3 miliar orang per tahun 2018, benua ini menyumbang sekitar 16% dari populasi manusia dunia. Benua Afrika dikelilingi oleh Laut Mediterania di utara, Isthmus of Suez dan Laut Merah di timur laut, Samudra Hindia di tenggara dan Samudra Atlantik di sebelah barat.
Benua ini juga berisi 54 negara berdaulat yang sepenuhnya diakui, sementara sembilan wilayah dan dua negara dengan pengakuan terbatas atau tidak ada secara de facto independen. Beberapa negera di benua Afrika seperti : Sudan Selatan, Somalia, Kenya, dan Etiopia sering dilanda kekeringan panjang, yang berdampak pada kelaparan kronis yang dialami warga masyarakatnya.
Sekitar 15 juta anak di sana tengah berjuang untuk mendapatkan cukup makan. Kekeringan parah juga telah menyebabkan lebih dari 25 juta orang di Afrika menghadapi kerawanan pangan. Sejumlah 6,9 juta anak kekurangan gizi dan berisiko meninggal. Sementara 6 juta orang lainnya telah mengungsi untuk sekadar mencari wilayah yang terdapat air dan makanan.
Kendati faktanya demikian, benua Afrika bukanlah benua yang terkering di dunia, melainkan benua terkering di dunia adalah benua Australia. Pasalnya, sekitar 20 persen dari total daratan benua Australia adalah gurun. Belum lagi curah hujan rata-rata benua ini termasuk rendah. Sehingga, menjadikan benua Australia sebagai benua yang kering. Hal ini ditandai dengan seringnya terjadi kebakaran hutan di benua Australia karena cuaca panas yang kering, dan angin kencang yang berhembus.
***
Perspektif Afrikaans berhubungan erat dengan benua hitam ini. Afrikaans adalah suatu bahasa Jermanik Barat yang dituturkan di Afrika Selatan dan Namibia. Bahasa ini pada awalnya adalah dialek yang dituturkan oleh para pendatang Afrikaner dan budak yang dibawa ke daerah Cape Town oleh Kompeni Hindia Belanda/Verenigde Oost-Indische Compagnie [VOC) pada tahun 1652 dan 1705 lampau.
Sebagian besar pendatangnya. dahulu kala berasal dari Perserikatan Provinsi yang merupakan wilayah dari Kerajaan Belanda, tetapi ada juga pendatang dari Jerman, Prancis, Skotlandia, dan beberapa negara lainnya di berbagai belahan dunia. Para pekerja dan budak yang dibawa serta adalah orang-orang Melayu, orang-orang Khoi, dan Bushmen.
Adalah Johannes August Heese (1907-1990) salah seorang antropolog, yang populer melalui karyanya, “South African Genealogies”, yang di publis pada tahun 1986 lalu, mengemukakan bahwa sampai tahun 1807, 39,8% nenek moyang dari penutur bahasa Afrikaans berkulit putih adalah orang Belanda, 35% Jerman, 14,6% Prancis, dan 7,2 persen orang berkulit nonputih. Dialek tersebut dikenal sebagai Cape Dutch.
Kemudian, bahasa Afrikaans juga dikenal sebagai “bahasa Belanda Afrika”. Afrikaans dianggap sebagai Dialek Bahasa Belanda sampai dengan awal Abad 20 ketika bahasa tersebut mulai dikenal sebagai bahasa yang berbeda. Nama Afrikaans sebenarnya adalah istilah Bahasa Belanda untuk “Orang Afrika” atau “Bahasa Afrika”.
Senada dengan itu, Alfonsus Budi Susanto dalam karya yang berjudul : ” Strategic Leadership “, yang dipublish pada tahun 2019 lalu, khususnya dalam uraian bab : “Leadership and Culture”, sempat menyentil Afrikaans. Tapi narasinya yang menyentil Afrikaans itu berkaitan dengan perjuangan politik Nelson Rolihlahla Mandela (1918-2013), salah seorang figur revolusioner anti rezim kulit putih/Apartheid di Afrika Selatan, yang melawan rezim ini sejak tahun 1950 an lampau.
Menurutnya, terkadang seseorang pimpinan harus memahami budaya yang dimiliki “pesaing” atau “musuh”-nya. Hal ini bukan saja untuk mengalahkan mereka, melainkan juga agar menjadi modal untuk menaikan posisi tawar ; atau minimal, tidak diremehkan oleh lawan kita.
Dikatakannya, pada tahun 1960-an Nelson Mandela mulai mempelajari Afrikaans, bahasa yang digunakan kaum kulit putih di Afrika Selatan yang menerapkan politik Apartheid. Tujuannya agar ia lebih dapat memahami sudut pandang mereka. Ia sadar bahwa suatu hari ia akan berjuang melawan mereka dan juga bernegosiasi dengan mereka.
Konsultan bisnis yang populer ini pun mengatakan lebih lanjut bahwa, hal ini merupakan sebuah keputusan strategis dari sudut pandang. Pertama dengan berbicara menggunakan bahasa musuhnya, ia dapat memahami kelebihan dan kekurangan mereka untuk kemudian menyusun taktik yang tepat.
Disamping itu, ia bisa mengambil hati musuh-musuhnya. Hasilnya, semua orang, mulai dari orang biasa hingga Pieter Willem Botha (1916-2006), salah seorang Presiden Afrika Selatan era Apartheid, terkesan dengan kesediaan Mandela untuk berbicara bahasa Afrikaans berikut pengetahuannya tentang kulit putih di Afrika Selatan.
Pada konteks ini bahasa yang merupakan bagian integral dari kebudayaan suatu nation (bangsa), tidak bisa disepelekan perannya. Hal ini dikarenakan, bahasa bisa digunakan sebagai instrumen perjuangan strategis oleh para pejuang pada suatu nation, untuk melepaskan diri dari belenggu imperialis, yang puluhan hingga ratusan tahun lamanya menguasai secara sepihak suatu nation. (Wikipedia, Kompas, Actnews, 2022).
Discussion about this post