Oleh : Dr. M. J. Latuconsina, S.IP, MA
Pemerhati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensi Maluku.id,- Sebenarnya bukan baru pertama kali saya membaca buku, yang mengulas Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) ke-5, Jenderal Hoegeng Imam Santoso. Namun merupakan biografi ketiga yang saya baca, tentang sosok polisi jujur dan sederhana, kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah pada 14 Oktober 1921 lampau, dimana ia dipandang sebagai figur polisi teladan sepanjang massa.
Buku pertama tentang Jenderal Hoegeng, yang saya baca berjudul : “Hoegeng: Oase Menyejukkan Di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa”, di tulis oleh Aris Santoso, Dkk, terbitan Bentang 2009 lalu. Biografi lawas Kapolri ke-5 ini saya hunting di toko buku Sosial Agency, Jalan Adi Sucipto, Yogyakarta saat penghujung studi magister (S2) Ilmu Politik di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada akhir tahun 2009 lalu.
Buku ini merupakan sebuah biografi yang bagus, dimana mengisahkan sosok Sekretaris Kabinet Indonesia ke-2 ini. Salah satu kisah menarik saat ia di tugaskan sebagai reserse kriminal (Reskrim) di Kepolisian Daerah Sumatera Utara di tahun 1956 lampau. Daerah ini terkenal dengan penyelundupan.
Ia disambut secara unik, rumah pribadi dan mobil telah disediakan oleh beberapa cukong perjudian setempat. Hoegeng menolak pemberian itu, dan memilih tinggal di hotel sebelum mendapat rumah dinas. Mereka masih ngotot dimana rumah dinasnya juga telah dipenuhi perabotan lengkap dari para tukang suap itu.
Kesal lantas ia mengultimatum agar perabot itu diambil oleh para pemberinya. Lantaran tidak mengindahkan peringatan Hoegeng, ia pun mengeluarkan perabotan itu dan ditaruh di pinggir jalan. Gemparlah Kota Medan karena ada seorang polisi, yang tidak mempan disogok.
Dari biografi lawas ini, baru saya mengenal profil jenderal polisi yang selama hidupnya memang benar-benar jujur, dan tidak berkompromi dengan tindakan-tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Suatu jati diri yang penuh integritas, yang terhitung langkah sedari dulu hingga saat ini.
Sempat saya pajang buku ini di rak buku di rumah saya. Bahkan selamat dari banjir besar dua kali di Kota Ambon pada tahun 2012 dan 2018, yang turut melanda kediaman saya. Namun nasibnya tak bertahan lama, lantaran hancur dimakan rayap, dimana berlubang disana-sini. Ada rasa kecewa, tapi masih memiliki harapan untuk menghuntingnya lagi.
***
Buku kedua tentang Jenderal Hoegeng, yang saya baca berjudul : “Hoegeng Polisi dan Menteri Teladan”, ditulis oleh Suhartono, terbitan Kompas 2013. Biografi Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi Indonesia ke-4 ini, saya mintakan dihunting oleh Wahada Mony, yang kini posisinya sebagai Direktur Maluku Network di tahun 2013 lalu pada salah satu toko buku Gramedia di Jakarta.
Uraian tentang Jenderal Hoegeng pada buku kedua ini tidak berbeda jauh dengan buku pertama yang saya baca. Hanya saja ada kisah-kisah baru dari polisi jujur dan sederhana ini, yang baru diungkapkan berdasarkan penuturan mantan sekretarisnya Soedharto Martopoespito, yang biasa disapa Dharto. Dimana ia mengetahui perilaku Kapolri ke-5 ini. Sehingga membedakannya dari biografi pertama.
Dikisahkan dalam biografi ini, sebagaimana dituturkan oleh mantan sekretarisnya Dharto. Meskipun menjabat Kapolri, Jenderal Hoegeng tidak mau menempati rumah dinas di Jl Pattimura, Kebayoran, Jakarta Selatan. Ia lebih memilih tinggal di rumah sewa di Jl Madura, Menteng, Jakarta Pusat yang dia bayar dari gajinya.
Hoegeng sempat bercerita kepada sekretarisnya tersebut bahwa, ia tidak mau nanti jika sudah pensiun, tidak punya rumah tinggal. Jadi ia lebih memilih tetap tinggal di rumah sewaan di Jl Madura. Sementara saat menjadi Menteri Iuran Negara, ia mengatakan kondisi negara sedang morat-marit. Jika ia menempati rumah dinas, hanya akan menambah biaya negara.
Sikap ini dilatarbelakangi jabatannya, dimana selaku Menteri Iuran Negara tugasnya mengumpulkan semua pendapatan negara dari pajak, bea dan cukai, dan penyewaan tanah. Hoegeng tidak ingin keluarganya memboroskan keuangan negara, dengan ikut-ikut menteri lainnya menempati rumah dinas. Pasalnya, jika tinggal di rumah dinas, keluarganya malah turut mengeluarkan banyak anggaran negara.
***
Terakhir buku ketiga tentang Jenderal Hoegeng, yang saya baca berjudul : “Dunia Hoegeng : 100 Tahun Keteladanan”, ditulis oleh Farouk Arnaz, penerbit Madani Kreatif Yogyakarta 2021. Biografi ketiga ini saya hunting di Gramedia Mall Panakkukang, Makassar pada Maret 2022 lalu, pada penghujung studi Program Doktor (S3) Administrasi Publik di Universitas Negeri Makassar (UNM). Sama seperti dua biografi sebelumnya, ada kisah baru dari jenderal polisi terladan ini.
Salah satu dari kisah itu, saat sudah purna tugas sebagai Kapolri, Hoegeng tidak menggunakan mobil mewah layaknya mantan Kapolri lainnya. Melainkan ia menggunakan mobil Isuzu Panther tipe Hi Grade warna biru keluaran tahun 95-96. Mobil ini sudah penuh dengan karat dan catnya pun tak lagi mengkilap. Ia selalu menolak mobil jemputan dari Mabes Polri dalam acara-acara khusus.
Kalau pun akhirnya menjemput, mobil jemputan itu hanya akang mengiringi Panther tua milik Hoegeng. Ia juga tidak suka serine dan pengawalan khusus dalam aktifitasnya. Jika sudah sampai tempat tujuan dan parkir di area VVIP, maka Panther Hoegeng dipastikan akan menjadi yang paling mencolok. Bukan karena kilap dan mewahnya, melainkan karena saking bersahajanya.
Saking sederhananya, “samping-sampingnya kan mobil mewah, nah yang paling jelek itu mobil bapak.” Hal ini sebagaimana yang dituturkan oleh Sakir sopir pribadi Jenderal Hoegeng, tatkala mengendarai Panther milik jenderal asal Pekalongan, Jawa Tengah tersebut pada acara-acara resmi.
Jujur, sederhana dan tak kompromi dengan KKN yang ditunjukan Jenderal Hoegeng dalam melaksanakan tugas kenegaraan, hingga saat ini sulit ditemukan. Tak salah lagi, jika K.H. Abdurrahman Wahid Presiden RI ke-4, yang populer dengan sapaan Gus Dur mengungkapkan bahwa, “hanya ada tiga polisi yang jujur. “Pertama, patung polisi. Kedua, polisi tidur. Ketiga, polisi Hoegeng (mantan Kapolri).”
Discussion about this post