Oleh : Dr. M.J. Latuconsina,S.IP,MA
Pemerhati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensimaluku.id,-Ambon-“Kemajuan teknologi seperti kapak di tangan seorang penjahat patologis.” (Albert Einstein)
***
Revolusi teknologi komunikasi yang begitu impresif, semakin membuat warga masyarakat juga tergantung pada penggunaan teknologi komunikasi itu. Di era 90-an hanya warga masyarakat level atas dengan status ekonomi yang mapan saja bisa menggunakan hand phone (HP). Sementara warga masyarakat kelas menengah menggunakan HP tidak terlampau banyak. Apalagi warga masyarakat kelas bawah tentu tidak menggunakan HP, lantaran tidak memiliki kemampuan untuk membelikan HP.
Terkadang dulu di era 90-an kita menyaksikan kawan-kawan kita, yang memegang HP dihadapan kita, bukannya kita terpukau lantaran ia menggunakan HP suatu barang lux saat itu. Tapi malah sebaliknya kita menertawainya, karena HP yang ia bawa tidak berfungsi untuk bisa mengontak handai taulannya. Melainkan hanya sekedar gaya saja dihadapan kita bahwa ia menggunakan HP. Hal ini dikarenakan tarif fulsa bagi pengguna ponsel saat itu begitu mahal. Sehingga HP hanya cocok bagi orang-orang berduit saja.
Begitu juga mereka yang memiliki telepon rumah dan peger hanya untuk warga masyarakat kelas menengah dan kelas atas saja. Sementara warga kelas atas hingga menengah bisa juga menggunakan telepon umum yang menggunakan kartu, sedangkan warga level kelas bawah hanya bisa mengunakan telepon umum, yang menggunakan koin, atau agar bisa menghubungi keluarga mereka antar daerah, mereka menggunakan warung telekomunikasi (Wartel), yang trend di era itu sampai dengan tahun 2002.
Sejak tahun 2003 HP dengan berbagai merek Nokia (Finlandia), Siemens (Jerman), Philips (Belanda), Sony Ericsson (Jepang-Swedia) mulai membanjiri pasar tanah air. Hingga 2016 HP Blacberry (Canada) yang fenomenal dengan layanan backberrynya bisa chating antar para pengguna. Begitu pula, Sony (Jepang), iPhone (AS), Samsung (Korsel), namun penggunanya masih pada level kelas menengah keatas. Sampai kemudian HP Cina mulai membanjiri pasar tanah air, dengan strategi “politik dumping” seperti ; Oppo, Vivo, Xiami dan Huawei barulah kelas kelas menengah ke bawah bisa mengakses HP dengan harga yang murah.
Kita masih ingat pergerakan para aktifis era 90-an dalam komunikasinya hanya menggunakan telepon umum. Selebihnya untuk mempengaruhi opini publik tentang idealisme perjuangan mereka dalam merontohkan rezim yang kurupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), mereka lebih banyak menggunakan surat kabar, tabloid, majalah, dan radio baik itu milik umum dan komunitas internal mereka. Kadang mereka menggunakan surat menyurat dan masih menggunakan kurir. Bahkan ada kalanya dengan cara klandestin menggunakan kurir, agar tak diketahui aparat kemananan.
Berbeda dengan saat ini, revolusi teknologi komunikasi yang sudah begitu maju, cukup seorang aktifis menggunakan HP saja, dia sudah bisa melalukukan komunikasi dengan temannya, baik itu melalui ponsel, email, watshapp, telegram, facebook, line, dan berbagai jenis media sosial (medsos) lainnya, hanya dalam hitungan detik sudah bisa terhubungi dengan cepat, efektif, dan efesien. Sehingga mobilisasi elemen pergerakan mereka, akan lebih mudah dalam menyampaikan aspirasi-aspirasi politik mereka ke lembaga-lembaga negara, yang berkompoten menerimanya.
***
Terlepas dari itu, kemajuan tekonologi komunikasi yang begitu canggih, khususnya pada HP memudahkan warga masyarakat berkomunikasi dimana mereka berada, sepanjang terdapat sinyal dari perusahaan penyedia layanan telekomunikasi ponsel (provider). Begitu pula secara person seseorang bisa mencari keberadaan temannya melalui nomor HP yang digunakan sahabatnya itu. Misalnya saja melalui google maps, dimana bisa digunakan untuk semua provider seperti Telkomsel, XL, 3, Axis, dan IM3 secara detail tanpa diketahui. Secara teknis bisa seseorang secara otodidak menguasainya, jika secara serius mempelajarinya. Sehingga dengan mudah mengetahui posisi keberadaanya temannya.
Bahkan aparat keamanan pun bisa dengan mudah mengakses keberadaan “orang yang di culik” atau para pelaku kriminal melalui nomor HP yang mereka gunakan, baik itu melalui perangkat teknologi yang mereka miliki, maupun melalui kerjasama mereka dengan perusahaan penyedia layanan telekomunikasi ponsel. Jika “orang yang di culik” tatkala di bawa kabur oleh para penculik yang profesional, maka yang dilakukan pertama kali adalah membuang HP korban, dan kedua dengan mobilitas tinggi para penculik bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain, dalam waktu yang terlalu lama agar tak tercium keberadaannya oleh aparat keamanan.
Namun kategori penculik “amatiran”, jika kemudian dalam aksinya membiarkan begitu saja HP “orang yang diculik”, tanpa dibuang jauh-jauh dari lokasi penyekapan korban. Begitu juga para penculik itu stagnan pada suatu lokasi, tanpa bergerak dari satu tempat ke tempat dalam waktu yang terlalu lama. Tentu ini alamat buruk bagi mereka, dimana membiarkan aparat keamanan mencium keberadaan mereka. Sehingga mereka kemudian digerebek dan diamankan untuk selanjutnya mempertangungjawabkan perbuatan melanggar hukum mereka di hadapan aparat penegak hukum. (*)
Discussion about this post