Oleh : Dr. M.J. Latuconsina, SIP, MA
Pemerhati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensimaluku.id,-Ambon- Liang yang sering disebut juga Hunimua, merupakan salah satu pantai, yang terletak di pesisir utara Pulau Ambon. Pantai Liang merupakan bagian dari wilayah administrativ Negeri Liang Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah. Pantai Liang selalu menarik perhatian para pengunjung. Pasalnya memiliki keindahan yang menakjubkan, dimana pantainya terbalut hamparan pasir putih panjang sejauh satu kilometer, yang diselingi pula dengan pepohonon yang rindang, dan lautnya yang hijau jernih. Konon Pantai Liang merupakan pantai kedua terpanjang di tanah air, setelah Pantai Sanur di Bali.
Tidak mengherankan atas keindahan, yang dimiliki Pantai Liang berbuah penilain apresiatif, sebagai salah satu pantai terindah di tanah air pada tahun 1990, dari United Nations Development Programme (UNDP). Tentu suatu kebanggan, Pantai Liang mendapat penilain apresiatif sebagai salah satu pantai terindah di tanah air. Ini menunjukan keindahan Pantai Liang, tidak kalah menarik dengan keindahan pantai-pantai lainnya di tanah air, yang sudah menjadi destinasi pariwisata. Dibalik keindahan Pantai Liang, ternyata Pantai Liang menyimpan jejak historis yang panjang.
Dimana pada era pemerintahan Hindia Belanda (1800-1942), perairan Pantai Liang, pernah difungsikan sebagai landasan laut (runway sea) bagi pesawat jenis amfhibi tipe Dornier Wals, Dornier Do 24, dan Consolidated PBY Catalina milik Militaire Luchtvaart (Dinas Penerbangan Militer Hindia Belanda), dan Koninklijke Marine (Angkatan Laut Hindia Belanda). Ini tidak terlepas dari posisi Pantai Liang, yang aman bagi runway sea pesawat jenis amfhibi. Letak Pantai Liang terlindungi oleh dua tanjung yaitu, Tanjung Hunimua di sebelah timur, dan Tanjung Kayu Buah di sebelah barat. Sehingga ketika pesawat jenis amfhibi landing and fly akan aman dari hantaman ombak.
Pada era pendudukan Jepang (1942-1945), Pantai Liang pernah juga difungsikan sebagai lapangan terbang (airfield), dari angkatan laut tentara pendudukan Jepang (Armada Selatan Kedua), dimana biasanya didarati pesawat tempur jarak jauh tipe Mitsubishi A6M Zero, yang legendaris pada masa Perang Dunia II. Pantai Liang dijadikan airfield, dari angkatan laut tentara pendudukan Jepang, untuk menghadapi serangan udara dari tentara sekutu, maupun untuk menahan lajunya tentara sekutu, yang semakin dekat ke wilayah Hindia Belanda, dan sudah mulai menaklukan satu persatu wilayah, yang sebelumnya di kuasai, oleh tentara pendudukan Jepang saat Perang Pasifik.
Begitu juga pada era pemberontakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) (1957-1961), yang berpusat di Sulawesi kawasan Pantai Liang kembali difungsikan, sebagai airfield dari Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Dimana digunakan untuk operasi udara AURI, guna menyerang Sulawesi Utara, yang merupakan salah satu basis Permesta, maupun digunakan untuk menangkal serangan udara, dari Angkatan Udara Revolusioner (AUREF) Permesta, terhadap Ambon yang datangnya dari Mapanget Sulawesi Utara. Bahkan kisah heroik salah satu penerbang AURI, yang kemudian menembak jatuh salah satu pesawat AUREF Permesta bermula dari airfield Liang.
Penembakan itu, terjadi ketika pada 18 Mei 1958 pesawat pembom B-26 Invader AUREF Permesta, yang dikemudikan pilot sipil bayaran Central Intelligence Agency (CIA), bernama Allen Lawrence Pope dan juru radio Hary Rantung, menyerang konvoi lima kapal perang Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), yang tengah berlayar sekitar tujuh mil lepas pantai Tanjung Alang, lalu menjatuhkan bom dengan sasaran KRI Sawega, namun meleset hanya beberapa meter dari buritan kapal. Awak kapal yang siaga, setelah melihat tanda bahaya serangan udara, langsung menembak balas atas perintah Mayor Soedomo.
Semua senjata yang berada di atas gladak lima kapal ALRI, dan semua senjata personil ALRI yang berada di atas gladak lima kapal ALRI, diarahkan ke pesawat AUREF Permesta, yang tengah melakukan pemboman. Tidak luput pula penerbang AURI Kapten Ignatius Dewanto, yang mendengar manuver brutal pesawat AUREF Permesta, langsung menerbangkan pesawat P-51 Mustang dari airfield Liang, ke front pertempuran. Head on attack pun terjadi, yang berakhir dengan tertembaknya pesawat B-26 Invader AUREV Permesta, yang dikemudikan Allen Lawrence Pope, dan juru radio Hary Rantung oleh roket, yang dilesakkan Kapten Udara Ignatius Dewanto dari pesawat P-51 Mustang.
Rupanya jejak historis Pantai Liang, tidak berakhir seiring dengan meredupnya pemberontakan Permesta. Jejak historis itu tetap berlanjut, sampai dengan era pembebasan Irian Barat(1961-1963). Dimana pada era pembebasan Irian Barat, yang mempertemukan Indonesia dan Belanda, dalam konfrontasi perebutan Irian Barat, pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, kawasan Pantai Liang kembali difungsikan, sebagai airfield AURI. Saat itu, airfield Liang bersama airfield Laha, Namlea, Amahai, Bula, Letfuan, Selaru, Morotai, Jailolo, Doka Barat, Gorontalo, Kendari, dan Maumere digunakan AURI sebagai sarana, untuk mengangkut para inflintran ke Irian Barat.
Digunakannya airfield Liang dalam pembebasan Irian Barat, karena jarak antara airfield Liang dengan daerah-daerah di Irian Barat seperti ; Sorong, Fak-Fak, Merauke, dan Kaimana antara 250 sampai 334 nautical miles. Jarak airfield Liang, yang dekat dengan daerah-daerah di Irian Barat itu, menjadi airfeld ideal bagi landing and fly pesawat AURI jenis F-86 Sabre, B-25, B-26, MIG 15, Mig-17, MIG 19, Mig-21, DH-115 Vampire, P-51 Mustang, dan Gannet, yang biasanya diterbangkan, untuk melakukan penerbangan pengalihan ketika pesawat C-30 Hercules, C-47 Dakota, dan Antonov An-12B mengangkut para infiltran ke dropping zone, pada daerah-daerah di Irian Barat.
Jejak historis Pantai Liang, tentu membanggakan kita karena pernah dua kali digunakan, untuk menegakkan integritas keuntuhan wilayah Republik Indonesia, yang penuh dengan kisah-kisah heroik. Dibalik kebanggaan itu, ternyata Pantai Liang menyimpan problem sengketa agraria, yang tumpang tindih dan berkepanjangan. Problem sengekat agraria itu, membenturkan antara warga Negeri Liang dengan AURI, maupun antara warga Negeri Liang, dengan pemerintah Provinsi Maluku. Bahkan intensitas sengketa agraria Pantai Liang meningkat dari tahun ke tahun.
Sengketa agraria itu, dapat dilihat di tahun 2003. Bengkel milik Opier salah satu warga Negeri Liang, yang dibangun bersebelahan dengan lapangan terbang Liang, digusur AURI. Penggusuran yang dilakukan AURI, karena Opier membangun bengkelnya, di atas lahan yang diklaim AURI masih merupakan bagian dari lapangan terbang Liang. Bahkan klaim AURI atas lahan lapangan terbang Liang, pernah di protes warga Negeri Liang. Namun Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), Laksamana Agus Suhartono (2010-2013) menyarankan, agar penyelesaiannya sengketa tanah lapangan terbang Liang dilakukan di pengadilan.
Kasus serupa terjadi pada tahun 2011, dimana Modin Lessy warga Negeri Liang, yang mengklaim sebagai ahli waris lahan Pantai Liang, melakukan penyegelan terhadap Pantai Liang. Penyegelan itu, lantaran Modin Lessy kesal terhadap pemerintah Provinsi Maluku, yang mengelolah Pantai Liang, tapi tidak pernah memberikan kontribusi bagi pemilik lahan Pantai Liang. Padahal jual beli lahan Pantai Liang sudah dilakukan pada tahun 2007, antara pemilik lahan Pantai Liang dengan Pemerintah Provinsi Maluku. Dimana transaksi itu, dituangkan dalam akta jual beli, dengan dana pembebasan lahan Pantai Liang Rp 4 miliar. Namun pembebasan lahan itu tidak pernah di realisasi.
Konflik kepemilikan lahan Pantai Liang, tidak berhenti sampai disitu. Pada tahun 2015 Pamadjamali warga Negeri Liang, yang juga mengklaim sebagai pemilik lahan Pantai Liang, mengancam akan menjual lahan Pantai Liang ke pihak lain. Ancaman itu, lantaran Pamadjamali juga kesal terhadap pemerintah Provinsi Maluku, yang selama ini mengelola Pantai Liang, tapi tidak pernah memberikan kontribusi bagi pemilik lahan Pantai Liang, dan tidak pernah membayar ganti rugi lahan Pantai Liang. Padahal pemerintah Provinsi Maluku pada tahun 2007 pernah berjanji, untuk membeli lahan Pantai Liang dengan harga Rp. 4,5 miliar, tapi janji itu tidak pernah di penuhi.
Dari rentetan kasus sengketa lahan Pantai Liang, menandakan belum adanya penyelesaian komprehensif, antara warga Negeri Liang dengan AURI maupun antara warga Negeri Liang, dengan pemerintah Provinsi Maluku. Tentu kasus sengketa agraria ini, menjadi penghambat bagi pengembangan Pantai Liang sebagai objek pariwisata, yang memiliki prospek, untuk meningkatkan kesejahteraan warga Negeri Liang. Para investor enggan melirik potensi Pantai Liang, karena dihadang kendala sengketa agraria, yang akan membenturkan mereka dengan warga Negeri Liang, AURI maupun dengan pemerintah Provinsi Maluku.
Tentu ini suatu ironi, Pantai Liang yang memiliki potensi pariwisata, dan memiliki jejak hitoris dari zaman ke zaman, tapi tidak bisa berkembang sebagai objek pariwisata, yang menjanjikan untuk meningkatkan kesejahteraan warga Negeri Liang. Salah satu solusi untuk menuntaskannya, yakni melalui jalur hukum di pengadilan. Sehingga akan dapat memberikan kepastian hukum (rechtszekerheid), bagi lahan Pantai Liang, yang pada akhirnya akan berdampak efektif bagi pengembangan Pantai Liang sebagai objek pariwisata.(Ricklefs 2008, Santoso 2010, Detik 2011, Adrian 2014, Antara 2015). (*)
Discussion about this post