Dr. M. J. Latuconsina, S.IP, MA
Pemerhati Sosial, Ekonomi&Politik
Referensimaluku.id,-Ambon-Terbilang sedikit figur yang dulunya adalah demonstran, lantas dikemudian hari mereka secara serius terjun dalam pentas politik, dengan aktif dalam partai politik, dan tampil sebagai kontestan pada pemilihan umum (Pemilu), kemudian memenangkan perhelatan demokrasi akbar di negaranya. Salah satu figur yang dimaksud adalah Moon Jae-in, yang kini menjabat Presiden Korea Selatan. Dahulunya saat masih di bangku kuliah ia adalah seorang demonstran, yang tampil bersama kawan-kawannya dihadapan publik, untuk memprotes rezim otoritarian Presiden Jenderal Park Chung-hee (1963-1979).
Jae-in lahir di Geoje, Korea Selatan pada 24 Januari 1953, ia adalah putra sulung dari ayah Moon Yong-hyung dan ibu Kang Han-ok dari lima bersaudara. Ayahnya adalah seorang pengungsi dari Provinsi Hamgyeong Selatan yang melarikan diri dari kota asalnya Hamhung pada saat Retret Hamhung. Ayahnya bermukim di Geoje sebagai buruh untuk Kamp Geoje POW. Keluarganya kemudian bermukim di Busan dan Moon masuk Sekolah Tinggi Kyungnam, yang dianggap sebagai salah satu sekolah prestisius di luar Seoul.
Tatkala memasuki usia remaja, Jae-in memilih kuliah pada Universitas Kyung Hee (KHU), salah satu universitas swasta top di negeri ginseng itu, yang didirikan oleh Dr. Young Seek Choue di tahun 1949 lampau. Saat kuliah ia mengambil bidang hukum. Ia seperti kebanyakan mahasiswa pada zamannya, tak hanya menempuh studi demi mencapai gelar kesarjanaan, melainkan menganggap mereka adalah kekuatan politik temporer, disamping militer, partai politik, kaum buru dan elemen strategis lainnya, yang tampil di garda terdepan untuk memprotes rezim otoritarian di negeranya atas praktek pemerintahan, yang jauh dari prinsip-prinsip demokrasi.
Tampilnya Jae-in bersama rekan-rekan mahasiswanya untuk berunjuk rasa, seiring dengan semakin represifnya rezim Jenderal Park. Hal ini terjadi tatkala memasuki tahun 1972, sikap otoriternya makin tak terkendali. Dia membuat aturan baru yang bernama Yushin Constitution. Meski arti Yushin adalah revitalisasi reformasi, tapi konstitusi baru ini hanya menjadi alat politik Park memperluas kekuasaannya. Di dalam konstitusi yang baru, Park kemudian memutuskan Majelis Nasional tetap bisa ada, tapi presiden berhak memilih sepertiga dari anggota Majelis Nasional.
Dengan menguasai Majelis Nasional dan militer, tak ada yang bisa menghentikan Park. Media pun juga diarahkan membuat berita sesuai arahan Park. Mereka yang tak menurut akan ditangkap atau medianya dibreidel. Para akademisi dan politikus lain yang bersikap oposisi turut dijebloskan ke penjara, kondisi inilah yang dialami Jae-in. Ia ditangkap dan dikeluarkan dari universitasnya, ketika ia mengadakan unjuk rasa pelajar menentang Konstitusi Yushin. Kemudian, ia dipaksa masuk ke militer dan direkrut pada Pasukan Khusus, dimana ia ikut dalam sebuah misi militer pada saat insiden pembunuhan kapak.
Namun tak selamnya kabut gelap selalu menjadi penghalang bagi kiprahnya, ia kemudian dapat menuntaskan kuliahnya dan meraih sarjana hukum, selanjutnya ia meniti karier sebagai lawyer (pengacara). Sedikit demi sedikit ia mulai merambah kekuasaan di negeri ginseng itu. Tatkala era kepemimpinan Presiden Roh Moo-hyun (2003-2008) Jae-in dipercayakan menjadi ketua staf presiden. Kariernya mulai menonjol dan menanjak tatkala ia menjadi pemimpin oposisi dari partai Aliansi Politik Baru untuk Demokrasi. Klimaksnya Pada 10 Mei 2017, saat dihelatnya Pemilihan Presiden (Pilpres) di semenanjung Korea bagian selatan itu ia pun tampil sebagai kontestan calon presiden (capres).
Ia meraup 41,1 persen suara unggul dari dua capres lainnya, kandidat konservatif Hong Joon-Pyo yang meraup 24,3 persen suara dan kandidat centrist Ahn Cheol-Soo yang meraup 21,4 persen suara. Jae-in yang dahulunya adalah seorang demonstran saat masih bestatus mahasiswa, akhirnya benar-benar terpilih sebagai Presiden Korea Selatan, dan menggantikan presiden sebelumnya Park Geun-hye (2013-2017) putri dari Jenderal Park, yang dahulunya ia protes kepemimpinanya tatkala memimpin Korea Selatan dengan cara-cara yang otoritarian dan jauh dari prinsip-prisip demokrasi tersebut.(Tirto, 2019, Wikipedia, 2021). (*)
Discussion about this post