Oleh : Dr. M.J. Latuconsina, SIP, MA
Pemerhati Sosial, Ekonomi &Politok
Referensi Maluku.id,-Ambon – Kultur menandaskan peradaban rakyat pada suatu negara bangsa (lage der nation), kultur juga merupakan kreasi pemikiran manusiawi para generasi-generasi terdahulu dari suatu negara bangsa, yang diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya. Berlandaskan kultur yang baik, yang selalu mengikuti dinamika dari perkembangan zaman, akan mendorong pencapaian kemajuan suatu negara bangsa. Hal ini dikarenakan spirit kultur menjadi dasar bagi rakyat pada suatu negara bangsa, untuk selanjutnya bersinergi guna bekerja keras mencapai kemajauan pada negara bangsanya.
Secara spesifik kultur dalam perspektif bahasa Indonesia memiliki makna kata kebudayaan, kata ini diadopsi dari bahasa Inggris dengan kata sebenarnya culture, yang juga memiliki arti kata yang sama yakni kebudayaan. Dalam bahasa yang muda kita ucapkan sehari-hari untuk kata kultur yakni kebudayaan. Kebudayaan sendiri memiliki asal-usul kata yang berasal dari bahasa Sanskerta yaitu, buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal), yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Meminjam pendapat Andreas Eppink (2015) yang populer melalui karya akademiknya “Versteckte Ziele : a Psychlogical Analyse Muslimischer Kulturen” mengemukakan bahwa, kultur/kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Paparan defenisi kultur ini, menggambarkan kebudayaan pada suatu negara bangsa juga memiliki ciri khas tersendiri, yang membedakannya dengan ciri khas kebudayaan dari negara bangsa yang lainnya.
Salah satu contoh kultur pada negara bangsa di kawasan Asia Timur yakni China, Jepang, dan Korea Selatan bersumber pada ajaran Konfusianisme. Konfusianisme bukanlah satu agama, tetapi merupakan ajaran falsafah untuk meningkatkan moral dan menjaga etika manusia, yang diperkenalkan oleh Kong Fu Tze yang lahir di China pada tahun tahun 551 Sebelum Masehi. Ajaran ini bertumpa pada tiga hal ; mementingkan akhlak yang mulia dengan menjaga hubungan antara manusia di langit dengan manusia di bumi dengan baik, penganutnya diajar supaya tetap mengingat nenek moyang seolah-olah roh mereka hadir di dunia ini, dan merupakan susunan falsafah serta etika yang mengajarkan bagaimana manusia bertingkah laku.
Kultur pada negara bangsa di kawasan Asia Timur yakni China, Jepang, dan Korea Selatan yang bersumber pada ajaran Konfusianisme, menjadi spirit bagi bagi ketiga negara bangsa ini, untuk bersinergi guna bekerja keras mencapai kemajauan pada negara bangsanya. Tidak mengherankan berkat pemahaman dan kemampuan mengimplementasikan kultur Konfusianisme, dari masyarakat sampai dengan elite pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, memacu ketiga negara itu maju secara sosial-ekonomi dan ilmu pengetahuan serta teknologi. Sehingga menempatkan ketiga negara bangsa di kawasan Asia Timur ini dalam jajaran negara-negara maju di tingkat global.
Pada level elite pemerintahan di ketiga negara bangsa ini, mereka juga benar-benar mengimplementasikannya secara rill dalam kepemimpinannya. Sehingga dalam pengambilan keputusan yang strategis bagi negara bangsanya juga dilakukan dengan tepat, efektif, dan efesien, yang senantiasa mengacu pada ajaran Konfusianisme. Tentu para elite politik pada ketiga negara bangsa ini, tidak bakal mengambil keputusan yang strategis dengan waktu yang lama. Sebab mereka menyadari bahwa pengambilan keputusan strategis yang lama, akan berimplikasi negativ pada hal-hal strategis lainnya.
Rata-rata para elite politik di tiga negara bangsa ini juga memiliki akuntabilitas yang berani, dan nekat dengan menempuh jalan kematian. Salah satu contohnya yakni, Roh Moo-Hyun Presiden Korea Selatan ke-9 periode 2003-2008, dia memilih mengakhiri hidupnya dengan terjun dari tebing setinggi 45 meter, tidak jauh dari kediamanannya di desa Bongha pada 23 Mei 2009 lalu. Tindakan Roh Moo-Hyun mengakhiri hidupnya, berkaitan dengan tuduhan penerimaan suap kepadanya sebesar 6 juta dolar, yang didapatkannya dari Park Yeon-Cha, seorang pengusaha yang dekat dengan Roh Moo-Hyun.
Hal serupa dilakukan Toshikatsu Matsuoka Menteri Pertanian, Kehutanan, dan Kelautan Jepang pada era pemerintahan Perdana Menteri Shinzō Abe, yang memilih mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri di tahun 2007 lalu. Toshikatsu Matsuoka ditemukan dalam keadaan tergantung, pada kusen pintu rumah dinasnya dengan tali melilit lehernya. Tindakan Toshikatsu Matsuoka mengakhiri hidupnya, lantaran dia menerima sejumlah dana dari pengusaha, untuk upayanya mendapatkan jabatan sebagai menteri. Sebagai imbalan, Toshikatsu Matsuoka memberikan berbagai proyek pembangunan sarana umum.
Begitu juga Lou Xuequan seorang pejabat negara di wilayah timur China pada era pemerintahan Presiden Xi Jinping, memilih mengakhiri hidupnya di tahun 2014 lalu lantaran malu dipecat, karena melakukan kasus korupsi. Lou Xuequan dipecat setelah badan anti korupsi provinsi menemukan fakta bahwa, dia menerima undangan makan malam mewah saat mengunjungi sebuah kawasan industri. Dari kasus bunuh diri itu, menandakan kultur telah menjadi patron yang mulia bagi para elite pemerintahan, pada tiga negara bangsa di kawasan Asia Timur itu, dimana korupsi dianggap sebagai sesuatu perbuatan yang sangat memalukan bagi mereka di mata rakyatnya.
Bagaimana dengan kultur Indonesia ? Tentu kultur Indonesia saat ini belum mewujudkan suatu kultur yang benar-benar Indonesia. Apalagi seperti yang dikemukakan oleh Clifford Geertz (1960) yang populer melalui karya akademiknya “Die Religion des Java” bahwa, di Indonesia terdapat kurang lebih 300 suku bangsa. Dari jumlah suku bangsa yang terdapat di Indonesia itu, menunjukan kultur Indonesia juga majemuk. Bahkan dalam perkembangannya kultur suku bangsa di Indonesia yang plural itu belum melebur menjadi suatu kultur yang khas Indonesia atau cita rasa Nusantara.
Begitu juga hingga saat ini tidak ada suatu nomenklatur formal pun, yang bisa digunakan sebagai patokan penyebutan khas bagi produk kultur Indonesia. Apakah Pancasila yang lahir dari gagasan die gründerväter Indonesia di tahun 1945 bisa dijadikan sebagai nomenklatur kultur Indonesia, tentu tidak bisa. Pasalnya Pancasila merupakan dasar negara Indonesia. Atau juga apakah Marhaenisme yang lahir dari gagasan Ir. Sukarno di tahun 1926 bisa dijadikan sebagai nomenklatur kultur Indonesia, tentu juga tidak bisa. Sebab Marhaenisme merupakan ideologi yang menentang penindasan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa, yang dijadikan Ir. Sukarno sebagai instrument ideologis untuk melawan hegemoni imprealisme Belanda.
Namun sebenarnya kultur suku bangsa di Indonesia yang plural itu bisa di adopsi sebagai kultur Indonesia. Misalnya suku bangsa Bugis Makassar memiliki kultur malu dan harga diri yang dikenal siri’ na pace, yang diartikan sebagai malu dan harga diri, juga bisa disetarakan dengan tanggung jawab, sanggup memikul rasa pahit, pantang lari atau mengundurkan diri, dan berani mengambil risiko. Begitu pula suku bangsa Madura memiliki kultur malu dan harga diri, dimana ditempatkan pada posisi yang sangat tinggi dalam kehidupan mereka, yang dikenal angok poteh tolang, atembang poteh mata, yang memiliki makna lebih baik putih tulang dari pada putih mata atau lebih baik mati dari pada menanggung malu.
Diluar kultur malu dari kedua suku bangsa itu, sebenarnya masih banyak kultur serupa yang terdapat pada sejumlah suku bangsa di Indonesia, yang bisa diadopsi untuk dijadikan kultur Indonesia. Sehingga bisa juga digunakan sebagai referenz ethik dalam interaksi sosial di tengah-tengah rakyat, dengan memiliki rasa malu untuk melakukan perbuatan korupsi. Jika sudah memiliki rasa malu untuk melakukan tindakan korupsi, tentu akan dapat meminimalisir perbuatan korupsi. Pasalnya jika melakukan perbuatan korupsi, akan mendapat sanksi sosial dengan terisolasi dalam pergaulan di lingkungan sosial.
Meskipun suku bangsa di Indonesia memiliki kultur malu, rupanya belum bisa dijadikan sebagai referenz ethik dalam interaksi sosial. Hal ini bisa dilihat tatkala mereka yang melakukan perbuatan korupsi, tidak memiliki rasa malu dimana ada yang tetap menempati jabatan publik, dengan alasan belum di vonis dengan kekuatan hukum tetap (inkracht rechtskräftig) dari institusi penegak hukum. Apalagi mereka yang korupsi mau melakukan tindakan bunuh diri, sampai dengan bersedia dihukum mati layaknya di Cina, Jepang, dan Korea Selatan, tentu hal ini adalah sesuatu yang dianggap naif oleh mereka.
Konsekuensi negativ dari defisit kultur malu di Indonesia ini, turut berimplikasi negativ pada maraknya perbuatan korupsi pada berbagai sektor di Indonesia. Fenomena ini seakan menunjukan kepada kita bahwa, dalam perkara uang semua orang di Indonesia mempunyai ‘agama’ yang sama. Hal ini identik dengan pendapat yang dikemukakan oleh Voltaire (1694) salah seorang filsuf berkebangsaan Perancis, yang tetap menghasilkan karya sastranya yang berjudul “Oedipe” meskipun dibelenggu di penjara Bastille Perancis oleh Raja Louis XIV (1643-1715) bahwa, dalam perkara uang semua orang mempunyai ‘agama’ yang sama. Uang telah menempati bagian penting sebuah drama yang dimainkan oleh para politisi.
Maraknya perbuatan korupsi pada berbagai bidang di Indonesia, diperkuat dengan rilis dari Transparency International, yang menyebutkan indeks persepsi korupsi Indonesia di tahun 2014 lalu berada pada peringkat 107 atau naik hanya 7 peringkat dari tahun sebelumnya. Suatu posisi yang sangat memprihatinkan sekaligus sangat memalukan bagi Indonesia di level global. Kondisi ini berbeda dengan negara jiran kita Singapura, dimana menurut rilis dari Transparency International indeks persepsi korupsi Singapura di tahun 2014 justru nihil. Rilis ini sekaligus mengukuhkan Singapura pada peringat 7 dari 10 besar negara yang memiliki kategori bersih dari korupsi di level internasional.(*).
Discussion about this post