Oleh : Dr. M.J. Latuconsina, SIP, MA
Pemerhati Sosial, Ekonomi &Politik
Referensimaluku.id,-Ambon- Green revolution(revolusi hijau) merupakan jargon tidak resmi, yang digunakan untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam penggunaan teknologi budidaya pertanian, yang dimulai pada tahun 1950-an hingga tahun 1980-an di sejumlah negara berkembang, terutama di Asia. Revolusi hijau berimplikasi positif terhadap keberhasilan bidang pertanian, dimana mampu mengurangi kelaparan dunia. Figur yang menggagas sekaligus mempopulerkan revolusi hijau yakni, Norman Ernest Borlaug (1914-2009), pria berdarah Norwegia ini adalah penerima prize Nobel perdamaian tahun 1970 dalam bidang science.
Berkat gagasan revolusi hijau yang diperkenalkan oleh Norman Ernest Borlaug itu, menuai hasil yang rill dalam implementasinya pada sejumlah negara berkembang di kawasan Asia. Dimana tercapainya swasembada (kecukupan penyediaan) sejumlah bahan pangan, yang sebelumnya selalu mengalami kekurangan persediaan pangan di beberapa negara berkembang. Sejumlah negara berkembang di Asia yang sukses merealisasikan gagasan dari ahli patologi tanaman itu yakni, India, Bangladesh, Tiongkok, Vietnam, dan Thailand.
Tidak luput pula Indonesia, turut merealisasikan revolusi hijau di era pemerintahan Presiden Soeharto. Dimana saat itu dikenal dengan gerakan Bimas (bimbingan masyarakat), yang merupakan program nasional, untuk meningkatkan produksi pangan khususnya swasembada beras. Gerakan ini berintikan tiga komponen pokok yakni ; penggunaan teknologi, penerapan kebijakan harga sarana, dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur. Tujuan dari gerakan Bimas dilatarbelakangi mitos bahwa, beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari aspek ekonomi, politik dan aspek sosial.
Meskipun revolusi hijau pada era pemerintahan Orde Baru dilaksanakan secara sistematis dan terencana, ternyata tidak mampu menghantarkan Indonesia sukses berswasembada pangan secara tetap. Pasalnya swasembada pangan di era pemerintahan Orde Baru, hanya mampu bertahan dalam jangka lima tahun, dari tahun 1984 sampai tahun 1989, dengan memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Padahal sebelumnya atas keberhasilan swasembada pangan itu, Food and Agriculture Organization (FAO) melalui Direktur Jenderalnya Dr. Edoard Souma pada 22 Juli 1986 di Roma Italia menganugerahkan medali From Rice To Self Sufficiency kepada Presiden Soeharto.
Kegagalan revolusi hijau di Indonesia melalui swasembada pangan, lebih disebabkan oleh terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial di pedesaan. Dimana hanya menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih dari setengah hektar, dan petani kaya di pedesaan, serta hanya menguntungkan penyelenggara negara di tingkat pedesaan. Hal ini tidak terlepas dari keadaan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah timpang tindih, sebagai akibat dari gagalnya land reform, yang dilaksanakan pada era pemerintahan Presiden Soekarno sejak tahun 1960 sampai dengan tahun 1965.
Jika ditilik secara saksama program revolusi hijau, melalui swasembada pangan di era pemerintahan Presiden Soeharto, antara tahun 1984 sampai dengan tahun 1989, sebenarnya Indonesia hanya sukses berswasembada pangan komoditas beras. Sementara komoditas lainnya seperti gula, jagung, dan kedelai yang menjadi kebutuhan pokok rakyat Indonesia tidak mengalami swasembada. Hal ini menunjukan ketimpangan swembada pangan, yang hanya difokuskan pada swasembada komoditas, beras sementara komoditas lainnya seperti gula, jagung, dan kedelai tidak mengalami swasembada.
Pasca jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto di Tahun 1989, sekaligus menandai lahirnya pemerintahan Presiden B.J. Habibie, revolusi hijau yang dilaksanakan pada era pemerintahan Presiden Soeharto mangkrak, dan tidak secara estafet dilanjutkan lagi. Setelah tahun 1999 import beras ke Indonesia, yang berasal dari negara-negara tetangga maupun negara-negara sahabat di kawasan Asia semakin tinggi, sekaligus mengukuhkan Indonesia sebagai salah satu negara pengimpor beras tertinggi di dunia. Pasalnya sekitar 50 persen beras yang di perdagangkan di tingkat dunia di import ke Indonesia.
Sama halnya dengan komoditas gula dengan jumlah impor mencapai 4,2-4,5 juta ton per tahun, jagung dengan jumlah impor mencapai 3,6 juta ton per tahun, dan kedelai dengan jumlah impor mencapai 2,9 juta ton per tahun. Buruknya lagi impor semua komoditas ini, justru menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara importir terbesar di dunia. Suatu kondisi yang sungguh memprihatinkan di tengah luasnya lahan pertanian di Indonesia, namun tidak mampu dikelolah melalui revolusi hijau agar Indonesia mampu berswasembada pangan.
Dibandingkan dengan negara tetangga kita Vietnam, dimana dalam 30 tahun Vietnam beralih dari pengimpor beras, menjadi pengekspor beras kedua terbesar di dunia setelah India. Padahal di tahun 1975 Vietnam masih disibukkan dengan perang saudara, maupun perang dengan negara tetangganya Kamboja. Tapi rupanya berkat keseriusan reformasi kelembagaan, dan ekonomi Vietnam sejak tahun 80-an, membuat negara Paman Ho ini sukses berswasembada pangan. Bahkan impresifnya lagi Vietnam kini menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat kedua di dunia, dengan Gross Domestic Product (GDP) sebesar 8.44 persen.
Di Indonesia sejak Presiden Joko Widodo di lantik sebagai Presiden Republik Indonesia ke-7 pada 20 Oktober 2014, terbersit optimisme dari pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang serius melirik sektor pertanian. Diliriknya sektor pertanian oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo, sebagai komitmennya untuk melakukan revolusi hijau, yang bersandar pada program pemerintahannya, yang populer dengan sebutan nawa cita. Dimana dalam nawa cita, termaktub salah satu point penting yakni, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
Untuk tujuan revolusi hijau melalui swasembada pangan, khususnya komoditas beras, gula, jagung, dan kedelai ditergetkan harus sukses berwasembada pangan dalam jangka waktu tiga tahun, dengan menjadikan 11 daerah di tanah air yang memiliki potensi pertanian, untuk mensopport swasembada pangan. Guna mendukung revolusi hijau melalui swasembada pangan dilakukan dengan pembenahan berbagai infrastruktur pendukung pertanian, pendidikan pertanian, sampai dengan solusi akses modal bagi para petani di tanah air.
Keseriusan pemerintahan Presiden Joko Widodo melakukan revolusi hijau ditindaklanjuti dengan blusukan yang dilakukannya di Sulawesi, Nusa Tenggara, Jawa, Sumatera, dan Kalimantan untuk melihat pembenahan infrastruktur pendukung pertanian seperti bendungan dan irigasi. Hal ini ditindaklanjuti pula dengan target pembangunan 49 bendungan, untuk memaksimalkan penyediaan irigasi lahan pertanian, dengan pendanaan diperkirakan menghabiskan Rp 29,4 triliun, yang bersumber dari pengalihan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi.
Komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo, untuk sukses melakukan revolusi hijau melalui swasembada pangan dalam jangka waktu tiga tahun, ditunjukan pula melalui sikap tegasnya dengan mengultimatum Menteri Pertanian (Mentan) Andi Arman Sulaiman saat itu. Dimana Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa, jika target berwasembada pangan dalam waktu tiga tahun tidak dapat terpenuhi, melalui kinerja Mentan yang optimal, maka dia akan menggantikan Mentan.
Bahkan tidak tanggung-tanggung guna mensupprot revolusi hijau melalui swasembada pangan, pemerintahan
Presiden Joko Widodo pun memanfaatkan tenaga Bintara Pembina Desa (Babinsa), salah satu struktur organisasi terkecil dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (AD), yang berada di desa, untuk dilibatkan sebagai tenaga penyuluh pertanian pada desa-desa. Tentu suatu tujuan baik, yang tengah dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan melibatkan Babinsa. Tapi kemudian hal ini menimbulkan pro dan kontra.
Pasalnya dilibatkannya Babinsa seakan menafikan lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), diploma pertanian, dan sarjana pertanian, yang memiliki keahlian teknis dalam melakukan penyuluhan kepada para petani. Begitu juga terdapat struktur dari dinas atau badan pertanian dari kabupaten/kota di desa, yang bisa digerakkan untuk melakukan menyuluhan kepada para petani. Ini merupakan sesuatu yang menggelitik kita, sebab Babinsa fungsinya dalam bidang defense tapi anehnya, digunakan untuk kepentingan swasembada pangan.
Terlepas dari pro dan kontra itu, tentu tujuan pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan melibatkan Babinsa, perlu dilihat dari sisi positifnya untuk mengakumulasi berbagai sumber daya, guna menunjang revolusi hijau melalui swasembada pangan. Kita juga tidak ingin mendengar keluhan dari Presiden Joko Widodo, tatkala ditanya Presiden Vietnam Truong Tan Sang, saat berlangsungnya Asean Summit di Nay Pyi Taw Myanmar 12 November 2014 lalu ; “Pak Presiden, kapan beli beras kita lagi ?”.
Pertanyaan Presiden Vietnam itu menjadi trigger, untuk rakyat Indonesia selalu mensupport pemerintahan Presiden Joko Widodo, Mentan, dan jajaran kabinetnya yang memiliki kepentingan langsung dengan swasembada pangan, dengan target pencapaian tiga tahun. Sehingga bisa mendorong kemandirian Indonesia dalam bidang pangan, tanpa adanya ketergantungan melalui impor dari negara-negara tetangga, maupun negara-negara sahabat. Semoga swasembada pangan yang dikejar pemerintahan Presiden Joko Widodo bukan untuk agenda politik semata, namun sebagai suatu tujuan mulia demi mensejahterakan rakyat Indonesia.(Detik, Kompas, Merdeka, Tempo, Wikipedia, 2014). (*)
Discussion about this post