Oleh : Dr. M.J. Latuconsina, SIP, MA
Pemerhati Sosial, Ekonomi&Politik
Referensimaluku.id,- -Ambon– Sagu (Metroxylon sagu) merupakan sejenis tanaman palma (Arecaceae), yang merupakan salah satu tanaman tertua, yang digunakan masyarakat di Asia Tenggara, dan Pasifik Barat sebagai sumber pangan. Pemanfaatan sagu diperkirakan setara dengan pemanfaatan kurma (Phoenix dactylifera) di era Mesopotamia, pada awal tahun 400 sebelum masehi. Dari catatan-catatan dalam tulisan Cina, sagu sudah dikenal sejak tahun 1200 masehi. Begitu pula Marco Polo (1254-1354) seorang pedagang dan penjelajah asal Italia, saat melawat ke Kepulauan Nusantara telah menemukan sagu di Sumatera pada tahun 1298 masehi.
Di Maluku masyarakat menyebut sagu dalam bahasa tanah dengan sebutan yang beragam, yakni ; lapia, ripia, lipia, lepia, lapaia, hula dan huda. Dari tepung yang dihasilkan sagu, bisa di olah menjadi sagu lempeng dan papeda. Dua jenis olahan tepung sagu itu, merupakan makanan khas masyarakat Maluku, sekaligus juga dijadikan sebagai makanan pokok masyarakat Maluku. Sejak dulu sagu di Maluku tumbuh alami, tanpa dibudidayakan oleh warga masyarakat. Sehingga sagu di Maluku masih dianggap sebagai salah satu komoditi kehutanan non kayu.
Sagu sebagai sumber pangan masyarakat Maluku, identik dengan alam yang memanjakan masyarakat Maluku. Hal ini nampak dari adigium populer yang menyebutkan bahwa, alam meninabobokan masyarakat Maluku, lantaran pohon sagu yang tumbuh melimpah ruah secara alami di hutan, sebagai sumber makanan pokok, tanpa dibudidayakan warga masyarakat. Ini didukung pula dengan adanya ikan, yang berkembang biak secara alami di laut, yang juga sebagai sumber makanan pokok, yang melimpah ruah tanpa dibudidayakan warga masyarakat. Aspek ini, konon menjadi salah satu penghambat gerak kemajuan masyarakat Maluku, dikarenakan alam terlampau memanjakan masyarakat Maluku.
Sagu merupakan jenis flora, yang tumbuh di rawa-rawa air tawar, aliran sungai, tanah bencah lainnya, dan pada lingkungan hutan-hutan dataran rendah sampai pada ketinggian sekitar 700 meter dari pemukaan laut (MDPL). Pada wilayah-wilayah yang sesuai, sagu dapat membentuk kebun yang luas. Sagu dapat berkembang biak dengan anakan, dan dengan biji. Anakan sagu mulai membentuk batang pada umur 3 tahun, dan berkembang menjadi pohon sagu, yang tingginya lebih dari 6 sampai 15 meter. Sagu siap ditebang untuk diambil tepungnya tatkala telah berumur sekitar 8 tahun.
Sagu kaya dengan karbohidrat (pati), namun sangat miskin gizi lainnya. Ini terjadi akibat kandungan tinggi pati di dalam teras batang maupun proses pemanenannya. Seratus gram sagu kering setara dengan 355 kalori. Di dalamnya rata-rata terkandung 94 gram karbohidrat, 0,2 gram protein, 0,5 gram serat, 10 mg kalsium, 1,2 mg besi, lemak, karoten, tiamin, dan asam askorbat dalam jumlah sangat kecil. Karena sagu sangat miskin gizi lainnya, maka biasanya masyarakat di Maluku, yang mengkonsumsi sagu lempeng dan pepeda, akan menyediakan panganan sayur yang tinggi gizinya, dan ikan laut yang tinggi proteinnya.
Luas areal sagu di Maluku diperkirakan sekitar 30.000 hektar, yang rata-rata tumbuh dan tersebar Pulau Buru, Seram, Ambon, Pulau-Pulau Lease, Aru, dan Pulau Damer. Di Maluku terdapat empat jenis sagu yakni ; Metroxylon rumphii Martius (lapia tuni), Metroxylon sagus Rottbol (lapia molat) terdiri dari molat berduri dan tidak berduri, Metroxylon sylvester Martius (lapia ihur), Metroxylon longispinum Martius (lapia makanaru) terdiri dari makanaru berduri merah dan berduri putih. Dari empat jenis sagu ini, konon jenis Metroxylon sagus Rottbol (lapia molat), dan Metroxylon rumphii Martius (lapia tuni) merupakan jenis sagu unggulan.
Bintoro, H. Mochamad (2003) dalam artikelnya yang berjudul ‘Potensi Pemanfaatan Sagu untuk Industri dan Pangan’ menyebutkan, pemanfaatan pati sagu telah berkembang lebih luas, yaitu untuk pembuatan gula cair, penyedap makanan (monosodium glutamate), mie, caramel, sagu mutiara, kue cracker, keperluan rumah tangga, industri perekat dan industri lainnya. Dengan perkembangan teknologi pati sagu dapat dijadikan bahan baku pembuatan plastik (biodegradable plastic), dan sebagai bahan pengisi (ekstender) perekat kayu lapis. Pati sagu juga mempunyai potensi, dan prospek yang baik sebagai substrat fermentasi aseton-butanol-etanol.
Di luar potensi sagu, fakta menunjukan sebagian besar masyarakat Maluku, tidak lagi menjadikan sagu sebagai makanan pokok, namun yang dijadikan makanan pokok masyarkat Maluku saat ini adalah beras. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan politik pangan di era pemerintahan Presiden Suharto (1965-1998), melalui revolusi hijau (green revolution), yang melakukan swasembada pangan, dengan memprioritaskan beras ketimbang sagu. Sehingga kebutuhan konsumsi pangan masyarakat Maluku ketika itu dipenuhi dengan beras. Akibatnya pada dekade 1990-an masyarakat Maluku mulai berlahan-lahan mengkonsumsi beras, dan menjadikan sagu hanya makanan penutup setelah menyantap nasi.
Bahkan sagu lempeng dan papeda yang merupakan makanan olahan yang berasal dari sagu, tidak dijajakan seramai nasi di rumah makan, dan restoran yang ada di Maluku. Hanya sebagian kecil rumah makan dan restoran di Maluku, yang menjajakan sagu dan papeda. Ini menunjukan sagu dan papeda tidak lagi menjadi tuan di rumahnya sendiri. Apalagi hadirnya Solaria, Mister Baso, Cuppa Coffee, J.CO Donuts&Coffee, yang merupakan trend kaum urban, akan semakin meminggirkan sagu lempeng dan papeda. Atas realitas itu, maka perlu adanya kreativitas konversi sagu sebagai bahan pangan diluar sagu lempeng dan papeda.
Dalam kebijakan politik pangan pemerintah di Maluku pada era Reformasi, masih tetap sama dengan kebijakan politik pangan pemerintah di Maluku pada era Orde Baru. Dimana beras masih menjadi prioritas kebijakan politik pangan, tanpa adanya upaya serius pemerintah, untuk melakukan diversifikasi pangan. Hal ini nampak dari kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Pulau Buru pada 18 Maret 2006, dan kunjungan Presiden Joko Widodo di Pulau Buru pada 7 Mei 2015 lalu, untuk melakukan panen raya padi. Tak pelak statemen sinis pun dicurahkan masyarakat Maluku di media sosial (medsos), yang menanyakan kapan presiden datang untuk melakukan panen raya sagu.
Tentu ini merupakan statmen sinis, yang mengelitik kita sebagai masyarakat Maluku, yang menginginkan adanya perhatian pemerintah terhadap sagu. Namun bisa saja Presiden pada waktu yang akan datang, berkunjung ke Maluku, untuk melakukan panen raya sagu, sebagaimana tuntutan masyarakat Maluku di medsos itu. Hal itu terjadi apabila sagu benar-benar dikembalikan menjadi makanan pokok masyarakat Maluku, dan dibudidayakan berhekatar-hektar di Maluku. Kondisi ini, tentu akan mengundang perhatian pemerintah, karena dilakukan terkait dengan pemenuhan dan diversifikasi pangan nasional.
Pada titik ini, kita akan membandingkan pemanfaatan sagu di Maluku, dan di Riau. Dimana di Maluku tidak ada budidaya sagu, sedangkan di Riau ada budidaya sagu. Bahkan Riau merupakan kawasan pengembangan ketahanan pangan nasional, karena merupakan salah satu daerah penghasil sagu terbesar di tanah air. Ini bisa dilihat pada Kabupaten Kepulauan Meranti, yang memiliki area tanaman sagu mencapai 44,657 hektar, yaitu 2,98 persen luas tanaman sagu nasional. Dimana perkebunan sagu di kabupaten ini, telah menjadi sumber penghasilan utama bagi hampir 20 persen masyarakatnya.
Produksi lahan tanaman sagu per tahun di Kepulauan Meranti mencapai 9,89 ton per hektar. Pada tahun 2006 pabrik pengolahan sagu (kilang sagu) pernah menghasilkan 440.000 ton tepung sagu. Produksi ini didukung dengan 50 kilang sagu, yang mengunakan teknologi semi mekanis, dan memanfaatkan sinar matahari untuk pengeringan, yang mampu mensupport produksi sagu sebesar itu. Terdapat dua kilang sagu, yang telah beroperasi dan memproses sagu secara modern, dengan kapasitas desain 6.000 dan 10.000 ton tepung sagu kering per tahun.
Begitu juga limbah dari pengolahan tual sagu berupa kulit batang sagu, dikembangkan jadi bio energi sebagai pengganti minyak tanah atau dibuat pellet sebagai bahan pencapur bahan bakar batubara, untuk keperluan ekspor ke Eropa. Atas kondisi rill ini, tentu sulit membandingkan pemanfaatan sagu di Maluku dengan di Riau. Di Riau sagu bukan hanya dijadikan makanan pokok seperti di Maluku, namun sagu sudah dibudidayakan dalam skala besar, dan menjadi industri skala besar. Sehingga memiliki kontribusi bagi pendapatan Riau.
Jika Maluku bisa seperti Riau, tentu kita tidak perlu mengeluh di sosmed meminta datangnya Presiden ke Maluku, untuk melakukan panen raya sagu. Namun Presiden akan memberikan perhatian serius bagi Maluku, karena memiliki berhektar-hektar lahan sagu, yang dijadikan kawasan pengembangan ketahanan pangan nasional sekaligus sebagai industri sagu terbesar di tanah air. Tapi kenyataannya masyarakat Maluku, hanya pandai mengeluh di sosmed, tanpa melihat fakta rill bahwa daya dukung sagu sebagai sumber makanan, dan industri melalui budidaya sagu di Maluku tidak ada sama sekali, yang ada hanya merupakan tanaman sagu, yang tumbuh alami di hutan-hutan di Maluku.(Thenu 2008, Alfons 2011, Sairin 2012, Novarianto 2015, Wikipedia 2015). (*)
Discussion about this post