Oleh : Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA
Pemerhati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensimaluku.id,- Ambon – Senjata, kekuasaan, penindasan (weapons, power, oppression) sesuatu yang tidak asing dimata para rezim otoritarian, yang mempraktekannya atas nama otoritas jabatan yang di emban. Para rezim otoritarian di Amerika Selatan, yang mengedepankan senjata, kekuasaan, penindasan dapat dilihat pada era rezim Presiden Argentina Jenderal Jorge Rafael Videla Redondo (1976-1981). Begitu pula pada era rezim Presiden Chili Jenderal Augusto José Ramón Pinochet Ugarte (1973-1990), juga mengedepankan instrumen yang sama. Sementara di Asia Tenggara rezim otoritarian, yang mengedepankan instrumen serupa ditemukan pada era rezim Perdana Menteri Kamboja Pol Pot (1976-1979).
Tidak salah jika sastrawan kelahiran Solo, Willibrordus Surendra Broto Rendra (1935-2009), yang populer dengan sapaan W.S. Rendra, dalam penggalan puisinya berjudul : ‘Pamlet Cinta’, yang ditulis tahun 1978 menyebutkan,..“keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan..” Kalimat penuh makna, tentang kritik Si Burung Merak melalui puisi itu ditujukan kepada salah satu aktor, yang berkuasa saat itu, dimana senjata, kekuasaan, penindasan adalah warna kelam sikap otoritarian yang ditunjukan kepada rakyat. Rupanya senjata, kekuasaan, penindasan tidak hanya pernah menimpa republik ini, tapi juga pernah mewarnai Argentina, Chili, dan Kamboja saat rezim Videla, Pinochet, dan Pol Pot berkuasa.
Rezim Videla
Jenderal Videla bangkit saat ketidakstabilan ekonomi, dan politik di Argentina sejak awal 1970-an hingga pertengahan 1970-an. Pasca meninggalnya Presiden Juan Domingo Perón (1973-1974) di tahun 1974, dia kemudian digantikan istrinya María Estela Martínez Cartas de Perón (1974-1976), merupakan bekas penari kelab malam, yang tidak berpengalaman dalam politik. Dalam usahanya mendapat sokongan tentara, Maria kemudian melantik Videla sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Argentina. Tindakan itu memakan diri sendiri (eat yourself), karena Videla pada 24 Maret 1976 melakukan kudeta untuk menjatuhkan pemerintahan Maria, dan pada 29 Maret 1976 dia resmi mengemban jabatan Presiden Argentina.
Tatkala Videla berkuasa di Argentina, dia membubarkan Kongres dan memberi kuasa perancangan undang-undang kepada suatu komisi militer yang terdiri dari 9 orang. Dia pun membatasi peranan mahkamah, partai-partai politik, dan serikat pekerja dan memenuhi jabatan-jabatan penting pemerintahan dengan tokoh militer. Dalam masa seminggu, ia menahan beratus-ratus rakyat yang berhaluan kiri, dan ini berlanjut semasa pemerintahannya. Para tahanan ini telah diberi panggilan “desaparecidos”, yang diperkirakan antara 10.000 – 30.000 rakyat Argentina hilang secara misterius semasa pemerintahannya.
Rezim Videla terkenal dengan upaya “kehilangan” individu, penculikan bayi, dan penyiksaan yang melampaui batas. Walaupun ia mengaku bahawa “Perang Kotor” ini dilakukannya terhadap kelompok subversif radikal Marxis Montoneros, dan gerilyawan Ejercito Revolucionario del Pueblo (ERP). Namun banyak pihak yang percaya dia juga mengintai musuh-musuh pribadinya, seperti aktivis hak asasi manusia, anggota partai pembangkang, dan siapapun juga yang menentangnya. Semasa pemerintahannya, lebih dari setengah juta dibuang dan ribuan lainnya telah ditahan dan disiksa di beberapa kamp tahanan.
Pada 23 Agustus 1973 Jenderal Pinochet dipromosikan menjadi Panglima Tertinggi Angkatan Darat oleh Presiden Salvador Guillermo Allende Gossens (1970-1973), setelah sebelumnya dia menjadi Kepala Staf Umum sejak awal tahun 1972. Sebulan kemudian tepatnya pada 11 September 1973 Jenderal Pinochet, yang didukung Amerika Serikat menggulingkan Presiden Allende (1970-1973) melalui suatu kudeta, yang didahului kerusuhan sosial dan politik yang telah terjadi berlarut-larut di Chili. Padahal Allende merupakan presiden berlatar belakang Marxis itu, yang terpilih secara demokratis dalam pemilu di tahun 1970.
Selanjutnya, pada bulan Desember 1974, junta militer yang berkuasa mengangkat Pinochet sebagai Pemimpin Tertinggi di Chili melalui dekret bersama, meskipun tanpa dukungan dari salah satu penggerak kudeta, yakni Jenderal Angkatan Udara Gustavo Leigh Guzman (1973-1978). Setelah naik ke tampuk kekuasaan selama 17 tahun, Pinochet menyiksa kaum kiri, sosialis, dan kritikus politik, yang mengakibatkan eksekusi terhadap sekitar 1200 hingga 3200 orang, menahan setidaknya 80.000 orang dan menyiksa puluhan ribu orang lainnya.
Baik Jenderal Videla di Argentina, dan Jenderal Pinochet di Chile merambah kekuasaan, untuk meraih jabatan Presiden di negara mereka, bukan melalui suatu jalan demokratik melalui suatu Pemilu yang demokratis. Melainkan mereka merambah kekuasaan, untuk meraih jabatan Presiden di negara mereka melalui suatu kudeta, yang mengandalkan kekuatan laras senjata, untuk menggulingkan pemerintahan sipil yang tengah berkuasa. Apa yang mereka lakukan mengingatkan kita pada ungkapan Mao Zedong (1954-1959) Pendiri Republik Rakyat Tiongkok (RRT), bahwa “..kekuasaan politik tumbuh dari laras senjata..”
Rezim Pol Pot
Pol Pot (1976-1979), yang lahir dengan nama Saloth Sar adalah Perdana Menteri Republik Demokratik Kamboja, ia dikenal juga sebagai seorang revolusioner Kamboja, yang memimpin Khmer Merah dari tahun 1963 sampai tahun 1997. Dari tahun 1963 sampai 1981, ia menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Kamboja. Secara resmi ia menjadi pemimpin Kamboja pada tanggal 17 April 1975 ketika pasukannya menaklukan Phnom Penh Ibu Kota Kerajaan Kaboja, yang dipimpin oleh Raja Norodom Sihanouk (1941-2004).
Polpot memimpin sebuah kediktatoran totaliter, dimana pemerintahnya membuat penduduk kota pindah ke pedesaan untuk bekerja di pertanian secara kolektif dan proyek kerja paksa. Efek gabungan dari eksekusi, kondisi kerja yang berat, kekurangan gizi dan perawatan medis rendah menyebabkan kematian sekitar 25 persen dari populasi penduduk Kamboja. Dalam totalnya, diperkirakan 1 sampai 3 juta orang meninggal karena kebijakannya, yang hanya bertahan sampai empat tahun.
Pada tahun 1979, setelah Perang Kamboja-Vietnam, Pol Pot pindah ke hutan-hutan barat daya Kamboja, dan pemerintah Khmer Merah runtuh. Dari tahun 1979 hingga tahun1997, ia dan sisa-sisa Khmer Merah tua dioperasikan di dekat perbatasan Kamboja dan Thailand, di mana mereka menempel ke kekuasaan, dengan pengakuan nominal Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), sebagai pemerintah yang sah dari Kamboja. Pol Pot meninggal pada tahun 1998, dengan status tahanan rumah oleh Ta Mok (1926-2006) dari faksi Khmer Merah.
Terlepas dari itu, tentu senjata, kekuasaan, penindasan adalah sesuatu yang pararel adanya. Seperti yang sudah digambarkan melalui tiga rezim otoritarian itu, betapa senjata, kekuasaan, penindasan menjadi sesuatu yang determinan terhadap penindasan kepada rakyat oleh para rezim otoritarian. Sehingga adanya benarnya ungkapan sastrawan berkebangsaan Lebanon Kahlil Gibran (1883-1931), yang populer melalui karya sastranya ‘Sang Nabi’ pada tahun 1923 mengatakan..“kekuasan penyebab penaklukan dan penindasan..” Tentu, sesuatu yang ironis. (Wikipedia, Jagokata, 2019). {#)
Discussion about this post