Oleh : Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA
Pemerhati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensimaluku.id,-Ambon- Secara resmi tercatat hanya tujuh figur Presiden Republik Indonesia (RI) yang kina kenal ; Ir. Soekarno (1945-1967), Jenderal Besar H. M. Soeharto (1967-1998), Prof. Dr.ing. Ir. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, FREng (1998-1999), K.H. Abdurrahman Wahid (1999-2001), Megawati Soekarno Putri (2001-2004), Jenderal Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) dan Ir. H. Joko Widodo (2014-2024). Namun dalam perjalanan republik ini kita melupakan dua presiden lainnya yakni, Mr. Syafruddin Prawiranegara dan Mr. Assaat.
Hal ini mengingatkan kita pada John Reed (1887-1920), seorang penulis, jurnalis dan aktivis sosialis berkebangsaan Amerika Serikat, yang turut mencatat secara rinci tentang segala sesuatu yang terjadi pada peristiwa Revolusi Bolshevik di Rusia di tahun 1917, dalam karya monumentalnya yang berjudul ; “10 Hari Yang Mengguncang Dunia” (“Ten Days That Shook the World”). John Reed menyimpulkan bahwa, “bangsa yang sedang berjuang tidak sempat membuat catatan.”
Rupanya kondisi ini dialami bangsa kita, tatkala melupakan para pejuang, yang gigih dengan jiwa dan raganya mempertahankan republik ini dari incaran imprealis Belanda, yang ingin kembali bercokol di tanah air. Meskipun kedua figur ini hanya merupakan Penjabat Presiden atau Acting Presiden, namun pernah menorehkan sejarah demi eksistensi negara ini dari rongrongan imprealis Belanda, yang hendak kembali lagi di tanah air, dengan menjalankan roda pemerintahan RI.
Mr. Sjafruddin Prawiranegara
Salah satu diantaranya Presiden RI yang terlupakan itu, adalah Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Dia lahir di Serang, Banten pada 28 Februari 1911 dan meninggal di Jakarta pada 15 Februari 1989 dalam umur 77 tahun. Dia adalah seorang pejuang kemerdekaan, Menteri, Gubernur Bank Indonesia, Wakil Perdana Menteri dan Presiden. Dalam catatan sejarah, Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah orang yang ditugaskan Presiden dan Wakil Presiden Soekarno-Mohammad Hatta untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), ketika keduanya ditangkap pada Agresi Militer II, kemudian diasingkan Belanda ke Pulau Bangka dalam kurun waktu 1948-1949.
Mengantisipasi pengasingan mereka, sebelumnya Soekarno-Hatta telah mengetik dua buah kawat, dimana isi kawat pertama memberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Sjaffrudin Prawiranegara, untuk membentuk pemerintah darurat di Sumatera. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi terjadi kekosongan kekuasaan (power vacuum). Atas usaha gigih dari PDRI yang dipimpin Presiden Mr. Sjaffrudin Prawiranegara itu, memaksa Belanda untuk berunding dengan Indonesia melalui Perjanjian Roem-Roijen, yang dilaksanakan pada 14 April-07 Mei 1949.
Perundingan tersebut, yang kemudian mengakhiri konflik fisik antara Indonesia-Belanda, yang diikuti pula dengan kembalinya Soekarno-Hatta dan kawan-kawan dari pengasingan Bangka ke Yogyakarta pada 06 Juli 1949. Pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI, yang dipimpin Presiden Mr. Sjafruddin Prawiranegara secara resmi terjadi pada14 Juli 1949 di Jakarta.
Mr. Assaat
Sedangkan salah satu diantara Presiden RI yang terlupakan berikutnya adalah itu, Mr. Assaat. Nama lengkapnya adalah Assaat gelar Datuk Mudo lahir di Dusun Pincuran Landai, Kubang Putiah, Banuhampu, Agam, Sumatera Barat pada 18 September 1904, dan meninggal di Jakarta pada 16 Juni 1976 dalam usia 71 tahun. Dia adalah seorang politisi dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Dia merupakan pemangku jabatan Presiden Negara Republik Indonesia tatkala republik ini masih terhimpun dalam Republik Indonesia Serikat (RIS) bersama Negara Indonesia Timur (NIT), Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dan Negara Sumatera Selatan.
Jabatan itu diemban Mr. Assaat pasca perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949, Mr. Assaat diamanatkan menjadi Acting (Pelaksana Tugas) Presiden Negara Republik Indonesia di Yogyakarta hingga 15 Agustus 1950. Seiring dengan bubarnya RIS, jabatannya sebagai Penjabat Presiden Negara Republik Indonesia pada Agustus 1950 berakhir, demikian juga jabatannya selaku ketua Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Badan Pekerjanya.
Sebab pada 17 Agustus 1950, negara-negara bagian RIS itu secara resmi melebur diri dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bagi orang-orang yang mengenal Mr. Asaat, dia adalah pribadi yang sederhana. Ketika menjadi Penjabat Presiden, ia tidak mau dipanggil Paduka Yang Mulia layaknya Presiden Soekrano, tapi lebih memilih panggilan Saudara Acting Presiden yang menjadi agak canggung pada waktu itu. Mr. Assaat bukan ahli pidato, ia tidak suka banyak bicara, tetapi segala pekerjaan dapat diselesaikannya dengan baik.
Mengakhiri catatan historik ini meminjam ungkapan kontemplatif, Laurens van der Post (1906-1996), salah seorang penulis asal Afrika Selatan, yang hits melalui karyanya, “The Heart of the Hunter” di tahun 1961 lampau bahwa, “salah satu aspek kehidupan yang paling mengharukan adalah berapa lama ingatan terdalam tinggal bersama kita.” Ungkapan penasehat politik Perdana Menteri Inggris pada zamannya itu, menandaskan betapa penting ingatan, yang terealisasi dan terakuntabel melalui penulisan sejarah para negarawan yang pernah menjadi Presiden RI, agar tidak hilang ditelan dinamika perkembangan zaman. (Detik.com, 2015, Wikipedia, 2022). (RM-03)
Discussion about this post