Oleh : Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA
Pemerhati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensimaluku.id,-Ambon- Melawat ke Pasar Mardika, merupakan suatu kunjungan yang memiliki kisah, yang tentu berbeda dengan kisah yang ada pada novel “Pasar” karya Kuntowijoyo (1943-2005), yang ditulis pada tahun 1971 lalu. Hal ini dkarenakan novel “Pasar” merupakan salah satu novel, yang mencoba mengangkat realitas kehidupan masyarakat Jawa pada masa itu. Novel ini tentu mampu menggambarkan kondisi sosial masyarakatnya, dimana kisah dalam novel ini sesungguhnya sangat sederhana.
Latar ceritanya adalah masyarakat Jawa, yang diwakili oleh sebuah kecamatan, yaitu Kecamatan Gemolong. Tokoh yang bermain di dalamnya pun tidak banyak. Namun, tidak dapat dipungkiri, novel ini sarat makna, khususnya tentang nilai-nilai Jawa yang selama ini dianggap sangat luhur. Nilai-nilai Jawa ini menyangkut masalah sikap, jiwa, dan kebudayaannya.
Berbeda dengan kisah melawat ke Pasar Mardika, tatkala di waktu malam menyempatkan waktu mengunjungi pasar itu, ketika para pedagang ikan, dan sayur masih ramai menjajakan dagagannya kepada para pembeli, yang semakin larut mulai berkurang pembelinya. Hanya sesekali terdengar teriakan pedagang ikan dan sayur ; “ikan, ikan, ikan dan sayur, sayur, sayur”, dengan penuh optimisme kata mereka kepada para pembeli, yang berdiri tidak jauh dari mereka ; “ini ikan masih segar baru sore tadi didatangkan. Begitu pula “sayurnya masih segar baru tiba sore tadi”.
Interaksi itu, merupakan proses yang sering dilakukan di pasar itu. Teriakan para pedagang merupakan bagian dari promosi para pedagang kepada para pembeli, agar para pembeli sudi membeli dagangan mereka. Hingga malam pasar itu masih beroperasi, melayani mereka yang tidak sempat berbelanja di waktu pagi, siang dan sore hari, karena kesibukan. Masih nampak lampu listrik menyala menerangi dagangan mereka, namun juga ada pedagang yang tidak menerangi dagangan mereka dengan lampu listrik.
Meskipun demikian, mereka tetap confidence dengan lantang berteriak, agar para pembeli bisa menghinggapi dagangan mereka, ditengah bisingnya suasana pasar itu, karena berseliwerannya kendaraan roda dua, dan kendaraan roda empat, yang sesekali membunyikan klaksonnya kepada kerumunan para pembeli, yang tengah menawarkan dagangan dari para pedagang, yang sedang berada pada badan jalan.
Tentu Pasar Mardika, bukan pasar malam seperti tema novel karya Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) yang dipublis pada tahun 2004 lalu, melainkan pasar yang melayani warga Kota Ambon, yang berbelanja di malam hari. Berbeda dengan Pasar Mardika, “Bukan Pasar Malam”, merupakan novel karya sastrawan Pulau Buru, yang diterbitkan pada tahun 1951 oleh Balai Pustaka, kemudian dinyatakan terlarang pada tahun 1965. Pada tahun 1999, novel ini diterbitkan kembali oleh Bara Budaya.
Oleh sebagian pembaca, “Bukan Pasar Malam”, sering disimpulkan sebagai novel yang bernuansa religius, beraura mistik, dan mengandung pergulatan eksistensial diri manusia ketika berhadapan dengan maut, di samping ironi seorang pejuang kemerdekaan, yang kecewa dan tak mendapatkan tempat yang layak justru ketika kemerdekaan, yang diperjuangkan dengan penuh pengorbanan itu sudah terwujud. Tentang ini, Fiersa Besari seorang novelis yang populer melalui karyanya ; “Konspirasi Alam Semesta” lantas menyebutkan bahwa,..“kecewa adalah konsekuensi, bahagia adalah bonus.”
Akhirul kalam, tatkala malam semakin larut, dan ketika semakin sepihnya para pembeli di Pasar Mardika, dikarenakan para pembeli tidak lagi mendatangi lapak dagangan para penjual. Lantas satu per satu para pedagang itu mulai membersihkan lapak dagangan mereka, hingga menunggu waktu subuh pun tiba, itu pertanda pergantian hari, untuk mereka kembali melengkapi lapak-lapak dagangan mereka dengan aneka sayur dan ikan. Begitu pun seterusnya, selalu mengikuti hukum perputaran bumi pada porosnya, sebagai pertanda siang dan malam, dimana merupakan sesuatu yang lumrah. (*)
Discussion about this post