Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA
Pemerhati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensimaluku.id,-Ambon– Sosok Pramoedya Ananta Toer, kelahiran Bolar Jawa Timur pada 6 Februari 1925, lantas wafat di Jakarta pada 30 April 2006 adalah seorang budayawan Marxis, yang pernah merasakan hidup dalam pembuangan di Pulau Buru. Pada suatu waktua dia pernah mengungkapkan bahwa, “jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Di mana pun ada yang mulia dan jahat. Di mana pun ada malaikat dan iblis. Di mana pun ada iblis bermuka malaikat, dan malaikat bermuka iblis. Dan satu yang tetap, Nak, abadi: yang kolonial, dia selalu iblis”. Dalam pikiran-pikiran poskolonialisme, sastrawan kiri ini menilai kolonialisme Eropa dalam wujud baik dan buruk
***
Terlepas dari itu, Ambon sebagai suatu wilayah di Nusantara yang kaya rempah-rempah, menarik bangsa-bangsa Eropa ; Portugis, Spanyol, dan Belanda mendatanginya. Kehadiran bangsa-bangsa Eropa ini, memiliki dampak terhadap hadirnya budaya Eropa di tengah-tengah warga masyarakat Ambon. Lambat laun budaya dari kolonial Eropa itu mengalami integrasi dengan budaya Ambon. Sehingga menghadirkan hibridas budaya, baik itu dari identitas marga, bahasa, dan tarian. Dalam perpespektif studi poskolonialisme hibriditas budaya tak bisa terhindarkan, karena menciptakan transbudaya baru (new trans culture) sebagai konsekuensi dari proses kolonialisme.
Dari identitas marga Belanda Van Afflen, Van Room, dan lain-lain. Portugal : Da Costa, De Fretes dan lain-lain. Spanyol : Oliviera, Diaz, dan lain-lain. Sedangkan, aspek bahasa, dimana bahasa Melayu Ambon banyak dipengaruhi bahasa Eropa, dan kebanyakan masih digunakan hingga saat ini. Misalnya kata yang berasal dari bahasa Portugis kadera : kursi, bendera : bendera, bahas Belanda dankje : terima kasi, voor : untuk. Begitu pula tarian khususnya Tarian Katreji berasal dari Portugis. Diluar yang disebutkan ini masih banyak lagi pengaruh Eropa.
Dalam studi poskolonialisme, yang menghadirkan gagasan Edward William Said, dan Homi K. Bhabha, sebagaimana yang dipaparkan Nanang Martono (2018) dalam karyanya yang berjudul ; “Sosiologi Perubahan Sosial” bahwa, “keduanya tertarik pada masalah-masalah percampuran unsur-unsur budaya sebagai dampak kolonialisme yang ternyata “bekas daerah jajahan” akan mengadopsi banyak unsur budaya bangsa penjajah. Pada akhirnya proses penjajahan ini akan melahirkan hibriditas”.
Hibriditas merupakan ekses dari hadirnya kolonialisme di Ambon pada masa lampau, yang menandakan perjumpaan budaya barat dan timur (west and east encounter), dimana bukan sebagai bentuk hegemoni tapi suatu pengaruh yang masih dalam batas-batas moderat. Meskipun kadang ada reaksi protes kecil dari mereka-mereka, yang enggan menerima hibriditas budaya dalam ruang public, dengan alasan bukan merupakan budaya otentik kita, melainkan bagian dari pengaruh kolonialisme. Namun perlu kita sadari bahwa hibriditas budaya sudah menjadi bagian dari budaya kita, yang perlu mendapat tempat diruang public, sehingga eksistensinya menjamin pewarisannya pada generasi berikutya. (*)
Discussion about this post