Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA
Pemerhati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensi Maluku.id,- Ambon -Pesatnya perkembangan modern market (pasar modern) secara nasional, dengan format hypermart dan supermarket, terjadi seiring dengan pertumbuhan ekonomi kita, yang semakin positif dan semakin kondusif, jika dibandingkan pada era yang lalu, yang tidak pesat. Begitu pula terjadi sejalan dengan semakin banyaknya pembangunan mall pada berbagai kota di tanah air. Kedua faktor ini, menjadi aspek determinen bagi para pengusaha nasional yang lazim disebut konglomerat, yang bergerak dalam jaringan hypermart dan supermarket melakukan aktifitas usahanya. Hal ini di support pula dengan penduduk kita sekitar 230 juta, yang merupakan potensi konsumen dari modern market itu.
Penetrasi modern market seperti hypermart dan supermarket ke berbagai kota di tanah air, berdampak terhadap warga masyarakat kelas menengah ke atas, dimana mereka berlahan-lahan mulai meninggalkan traditional market (pasar tradisional). Kondisi ini tidak terlepas dari penataan modern market yang apik, yang diikuti pula dengan terjaminnya kebersihannya, sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka, untuk membeli barang sesuai dengan kapasitas finansial mereka. Namun berbeda dengan traditional market, di modern market tidak terjadi proses tawar menawar, pasalnya harga dari suatu barang sudah paten tertera pada barang-barang yang hendak dibeli.
Pada modern market di sejumlah kota di tanah air, tidak saja menghadirkan pengusaha lokal sebagai pemiliknya, tapi juga para konglomerat nasional, antara lain ; Matahari Department Store merupakan anak perusahaan Lippo Group, yang dimiliki James Tjahaja Riady. Ada juga Transmart sebuah perusahaan ritel terbesar, pemilik dari jaringan supermarket Carrefour dan Carrefour Express, yang dimiliki Chairul Tanjung. Begitu juga PT Gelael Supermarket yang bergerak dalam usaha swalayan, yang dimiliki Dick Gelael. Pada posisi berikutnya PT Hero Supermarket Tbk, yang memiliki cabang swalayan di berbagai daerah, yang dimiliki Muhammad Saleh Kurnia.
Salah satu daerah di tanah air, yang masyarakatnya mulai meninggalkan pasar tradisional yakni, Kota Manado. Hal ini sebagaimana dipaparkan Pontorondo (2016) dalam jurnalnya ; “Perubahan Perilaku Berbelanja dari Pasar Tradisional ke Pasar Modern di Kota Manado Dipandang dari Aspek Sosiologi”. Dia menyebutkan, sebagian besar warga masyarakat Kota Manado mengkonstruksikan perilaku berbelanja dari kebiasaan berbelanja di pasar tradisional, menjadi kebiasaan berbelanja di pasar modern. Warga masyarakat meninggalkan ciri-ciri kerjasama, dan kepercayaan dalam tindakan sosial ekonomi melalui aktivitas di pasar tradisional yang mulai luntur, cenderung berperilaku konsumtif, individualistis, sarat persaingan, tetapi inovasi dan kreatif.
Pola tindakan semacam ini, dapat menjadi tindakan kolektif pada tataran makro subjektif, dimana perubahan perilaku individu warga Kota Manado pada tingkat tertentu, seiring dengan pesatnya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi, akan berimplikasi pada perubahan sosial yang fundamental dalam struktur perilaku sosial keseluruhan masyarakat di kota itu. Kendati demikian, Potoronda tidak selalu memandang negatif, melainkan dia menilai dalam perspektif berkemajuan, dimana kelak Kota Manado akan menjadi kota yang dihuni masyarakat modern, dengan tindakan ekonomi berorientasi konsumsi atau lazim disebut sebagai masyarakat konsumtif.
Berbeda dengan traditional market, yang semrawut dan tidak bersih, sehingga para pembeli terkadang merasa tidak nyaman. Bagi warga masyarakat kelas menengah ke bawah, tentu tidak menganggap modern market sebagai sebuah pasar yang harus dikunjungi untuk membeli barang, yang mereka butuhkan. Namun mereka akan selalu meluangkan waktu, untuk mengunjungi traditional market, karena disanalah mereka akan membeli barang sesuai dengan kapasitas finansial mereka. Dua frame pemikiran yang berbeda, yang didasari kapasitas ekonomi warga masyarakat, yang berbeda-beda pula, sehingga mereka juga terfragmentasi kepada market yang berbeda-beda juga yakni, modern market dan traditional market.
Diantara jenis market itu, ada juga walk market (pasar berjalan), yang populer dengan sebutan mobil toko, yang disingkat moko, dimana moko tak hanya menawarkan barang dagangannya kepada pembeli dari kelas menengah ke bawah saja, namun juga kepada kelas menengah ke atas, sebab moko tak hanya menyusuri perkampungan warga masyarakat biasa, tapi juga menyusuri perumahan kelas menengah hingga elite, untuk menjajakan dagangannya. Jauh sebelum krisis ekonomi melanda republik ini di tahun 1997-1998 lalu, Dewi Motik Pramono seorang pengusaha perempuan, yang juga merupakan seorang sosio-entrepreneur, telah aktif menggelorakan koperasi dan usaha kecil menengah pada rakyat kecil, telah lebih dulu memperkenalkan ide moko, yakni berjualan di atas mobil.
Melalui koperasi De Mono yang ia kelola, dimana ia pernah menggelar 100 moko dengan menggunakan mobil niaga sejenis Suzuki Futura. Ide Dewi Motik Pramono melalui koperasi De Mono, yang ia galakkan dulu itu, tidak lain dalam rangka merealisasikan konsepsi Mohammad Hatta (1902-1980) Bapak Proklamator Republik Indonesia, Wakil Presiden (1945-1956), dan Perdana Menteri (1948-1950) tentang koperasi. Hatta, melalui rasa kepeduliannya yang tinggi terhadap rakyat dan perekonomian di Indonesia, dia kemudian secara serius dan konsekuen membuat gerakan ekonomi kerakyatan lewat koperasi.
Dalam pandangan Bapak Proklamator Republik Indonesia ini, tujuan dari negara (state) adalah memakmurkan rakyat, dengan berlandaskan atas asas kekeluargaan, dan bentuk perekonomian yang paling cocok bagi Indonesia adalah ‘usaha bersama’ secara kekeluargaan, yang bersumber dari budaya ekonomi Indonesia. Usaha bersama menurut Hatta adalah koperasi. Atas kontribusinya rillnya, terhadap perekonomian Indonesia, dalam bentuk gagasan koperasi itu, Hatta lantas diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada tahun 1953, yang bertepatan dengan dilaksanakannya Kongres Koperasi ke-2 di Bandung.
Rata-rata barang-barang kebutuhan rumah tangga, yang dijual di moko, tidak terlalu mahal seperti di modern market. Namun setara dengan yang dijual pada traditional market, yang bisa dijangkau semua kalangan. Tujuan kita selaku warga masyarakat membeli barang di moko, disamping untuk digunakan oleh kita sehari-hari, tentu juga guna mensupport para pedagang kecil itu, dimana para pedagang kecil itu memiliki omzet per tahun 300 juta hingga Rp 2,5 miliar, dan memiliki aset Rp 50 juta sampai Rp 500 juta. Indikator ini, sebagaimana parameter normal, yang dikeluarkan resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Output dari sikap kita yang sudi berbelanja di moko itu, tentu akan mampu menggeliatkan usaha mereka, yang dampaknya pada kemandirian ekonomi, dan kemampuan daya beli mereka. Begitu juga akan dapat menurunkan kesenjangan ekonomi, melalui tiga indikator strategis yakni ; kekayaan, pendapatan, dan konsumsi. Persoalan menyangkut dengan kesenjangan ekonomi, sebenarnya mencakup kesetaraan ekonomi, kesetaraan pengeluaran, dan kesetaraan kesempatan. Aspek ini, telah menjadi perhatian serius dari pemerintah kita sejak dahulu kala. Ini terjadi tatkala pembangunan nasional saat era pemerintahan Orde Baru (1965-1998), yang dilakukan dengan gencarnya.
Kondisi ini dikonkritkan pemerintah kala itu, dengan dirumuskan pada delapan jalur pemerataan, antara lain ; (1) pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan perumahan, (2) pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan, (3) pemerataan pembagian pendapatan, (4) pemerataan kesempatan kerja, (5) pemerataan kesempatan berusaha, (6) pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita, (7) pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air, dan (8) pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
Meskipun telah ada perhatian khusus dari pemerintah saat itu, melalui delapan jalur pemerataan itu, namun inti dari pembangunan kita yang di konsepkan melalui trilogi pembangunan sejak Pelita I (1969-1974) sampai dengan Pelita VI (1994-1999), tetap saja lebih mengarah pada pertumbuhan (growth), dan bukan pada pemerataan (equity). Hal ini menunjukan dalam praktiknya, pemerintah hanya menetapkan target tingkat pertumbuhan yang hendak dicapai, tapi kemudian tidak terlalu serius menetapkan target mengenai tingkat kemerataan. Dampaknya golongan dengan pendapatan ekonomi tinggi, tetap menikmati kesejahteraan, sementara golongan dengan pendapatan ekonomi menengah dan rendah tidak terlampau menikmati kesejahteraan.
Oleh karena itu, tak salah jika Wilkinson dan Pickett (2009) dalam bukunya berjudul ; “The Spirit Level : Why More Equal Societies Almost Always Do Better” menyebutkan bahwa, kesenjangan yang terlalu besar cenderung merugikan,, karena kesenjangan pendapatan dan pemusatan kekayaan, mampu menghambat pertumbuhan jangka panjang. Terlepas dari itu, moko yang merupakan bagian dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di tahun 2019, diperkirakan memiliki kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 5%. Hal ini sejalan dengan estimasi pertumbuhan ekonomi nasional, yang berkisar antara 5%-5,2%. Kita optimis, moko akan memiliki kontribusi rill bagi kesejahteraan pengusaha kecil sekaligus menggeliatkan perekonomian kita. (*)
Discussion about this post