Oleh : Dr. M.J. Latuconsina,S.IP,MA
Pemerhati Sosial,Politik & Ekonomi
Referensi Maluku.id,-Beragam reaksi muncul tatkala legislator membuang menu gorengan ubi, dan membolak balik meja di gedung wakil rakyat. Bahkan menyita perhatian publik, karena viral dimedia sosial dan media massa. Kasus pertama menuai protes keras publik, lantas secara gentleman legislator itu meminta maaf kepada publik. Kasus yang kedua mengundang decak kagum publik, lantaran disebut itulah tipe wakil rakyat yang sejatinya memperjuangan kepentingan rakyat. Sementara yang lainnya tidak respek dan tidak memberikan pujian, malah ada yang mengatakan wakil rakyat itu terlampau “emosional” dan harusnya lebih “beretika”.
Relevan dengan itu, muncul suatu hipotesis non statistik dalam perspektif metodologi kualitatif : “figur emosional dapat mengemban jawatan publik”. Hasilnya, tentu figur emosional bisa mengemban jabatan publik. Sebab bukti empirisnya sebelumnya telah ada, dimana dalam dinamika perjalanan bangsa ini, terdapat figur yang emosional sukses memimpin.
Bukan hanya seorang figur saja, melainkan banyak figur baik di jajaran sipil dan militer. Namun sikap emosional mereka tersalurkan sesuai dengan tugas dan fungsi mereka tatkala dipercayakan memimpin suatu jabatan sipil dan militer. Bahkan dalam level global di pemerintahan pun, justru mereka sukses dan menuai kekaguman terhadap leadership mereka.
***
Salah satu diantara figur yang dikenal emosional itu adalah Letnan Jenderal (Letjen) Korps Komando Operasi (KKO) Ali Sadikin. Dipenghujung kekuasaannya, Presiden Soekarno kebingungan untuk memilih Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta yang baru. Dari beberapa nama yang disodorkan termasuk beberapa jenderal Angkatan Darat(AD), tak seorangpun yang cocok. Saat itu Dr. Johannes Leimena, Wakil Perdana Menteri (Waperdam) menyebut nama Jenderal KKO itu kepada Presiden Soekarno, “ Ali Sadikin, orang menyebutnya een koppig heid keras kepala “. Namun justru dia yang dipilih Presiden Soekarno. Pada 28 April 1966, tatkala masih berpangkat Mayor Jenderal (Mayjen) Ali Sadikin pun dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta diusianya ke 37 tahun.
Dalam sambutannya Presiden pertama Republik Indonesia itu menyebutkan, bahwa Jakarta membutuhkan seorang yang keras kepala untuk menertibkan para ndoro ayu dan tuan tuan yang suka seenak perutnya saja. Lebih lanjut ia mengatakan kelak suatu hari, orang akan mengenang apa yang telah dikerjakan oleh Ali Sadikin. ‘ Dit heft Ali Sadikin gedaan ‘.Inilah yang telah dilakukan oleh Ali Sadikin. Pidato Bung Karno telah memacu Gubernur baru ini untuk membawa perubahan pada Jakarta. Sewaktu menjadi Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin lekat dengan predikat pemarah.
Emosinya kerap meluap-luap. Tidak jarang umpatan keluar dari tutur lisannya. Seperti dikisahkan Ciputra dalam buku “Jaya: 50 Years and Beyond”, yang di publis tahun 2012 lalu. Dimana pada era Gubernur Ali Sadikin Ciputra dan PT Pembangunan Jaya dipercayakan menggarap proyek peremajaan kawasan Senen. Pada kesempatan lain, Ciputra dan anak buahnya menghadapi masalah lumayan serius. Ada seorang makelar tanah menghalangi upaya pembebasan tanah. Makelar itu mengumpulkan semua pemborong dan berhasil membujuk mereka menghentikan proses pembebasan tanah.
Walhasil, pengerjaan proyek terhenti. Ciputra pergi ke Balai Kota dan melaporkan masalah itu kepada Gubernur Ali Sadikin.Gubernur Ali meminta Ciputra mengundang si makelar ke Balai Kota. Ciputra bergegas ke Senen. Makelar itu tak berkeberatan diajak Ciputra ke kantor Gubernur Ali. Saat mereka berdua menunggu di ruang sekretariat Balai Kota, Gubernur Ali lewat. Dia bertanya kepada Ciputra ada di mana si makelar. Ciputra menunjuk orang di sampingnya.
Tak disangka oleh makelar itu, juga oleh Ciputra, Gubernur Ali menarik kerah baju orang itu dan menyeretnya ke ruangan. Dan plak… plak… tangan Gubernur Ali melayang ke pipinya. Makelar itu tak berani melawan, hanya pasrah pipinya ditempeleng Ali Sadikin. Ciputra pun melongo. Bengong.”Di mobil, dia duduk di sebelah saya. Gemetaran…. Saya nggak menyangka Bang Ali menempeleng orang itu,” kata Ciputra. Sore harinya, Gubernur Ali mendadak muncul di Proyek Senen dan mendatangi kantor makelar tanah itu. Dia menyuruh orang itu menutup kantornya. “Ya, Pak… iya,” orang itu menjawab dengan ketakutan. Sejak hari itu, tak ada lagi yang berani menghalangi proyek Senen.
Diluar kisan itu, untuk membangun Ali Sadikin dibuat pusing karena anggaran belanja Jakarta pada tahun itu cuma Rp 66 juta, itu pun sudah termasuk suntikan dana dari pemerintah pusat. Anggaran itu dinaikkan menjadi Rp 266 juta, tapi masih saja jauh dari kebutuhan pembangunan infrastruktur dan fasilitas perkotaan. Ia pun mulai mencari solusi mengatasi kendala yang dihadapi dalam pembangunan Jakarta baik pembangunan ekonomi maupun sosial budaya. Salah satu solusi yang paling kontroversial mengatasi keterbatasan pemasukan daerah adalah melegalkan perjudian. Ia melegalkan judi demi menambah pundi-pundi pendapatan daerah dari pajak.
Tak hanya itu, warga Jakarta saat itu pasti masih ingat kebijakan Gubenur Ali Sadikin, yang melokalisasi pelacuran Kramat Tunggak dan membuka tempat hiburan malam. Meski menimbulkan beragam kecaman, tapi ia berhasil menarik pajak untuk pembangunan ibu kota. Ali Sadikin cukup berhasil menyulap Jakarta menjadi kota metropolitan meski anggarannya terbatas. Ia gencar membangun kota dengan proyek-proyek buah pikirannya. Pada 1968 Ia membangun Taman Ismail Marzuki sebagai pusat pengembangan kesenian dan kebudayaan. Tempat ini dibangun untuk menampung segala kegiatan kesenian masyarakat.
Begitu pula di era kepemimpinan Ali Sadikin, Jakarta mengalami banyak perubahan. Ia dikenal sebagai Gubernur yang keras namun membangun kota dengan manusiawi. Ia menyediakan tempat hiburan bagi warga Jakarta. Mulai dari Kebun Binatang Ragunan, Taman Impian Jaya Ancol, Monas, hingga pelestarian budaya Betawi di Condet. Begitu pula, ia menyelenggarakan pekan raya Jakarta atau yang lebih dikenal dengan nama Jakarta Fair, membangun persepakbolaan Persija dan lain-lain.
Konkulsinya, meskipun Ali Sadikin seorang figur yang “keras kepala” dan “emosional” tapi selama masa kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, ia justru menunjukan sisi leadhership yang baik, yang bisa kita membacanya dalam perpektif implementasikan gaya kepemimpinan situasional , sebagaimana yang digagas Paul Hershey dan Kenneth Blanchard sejak 1969 lampau, yang dikenal sebagai “teori siklus hidup kepemimpinan”, dengan empat point penting gaya kepemimpinan itu, yakni ; dirckting (mengarahkan), coaching (melatih), supporting (mendukung), dan delegating (mendelegasi).
Akhirulkalam, sisi keras kepala atau emosional seorang figur tidak selamanya selalu berimplikasi negatif di mata khalayak, yang menyangkut dengan jabatan publik yang ia sandang. Semunya terpulang kepada gagasan-gagasan development, yang kemudian diperjuangkan dengan gigih di ranah legislatif dan eksekutif dari para figur itu, yang outputnya untuk kepentingan rakyat, sebagimana ekspetasi rakyat kepada mereka. Hal ini sudah terbukti pada diri Ali Sadikin, dimana sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan karakter yang “keras kepala” atau “emosional”. Namun ia mampu memimpin Jakarta, sekaligus mempu melakukan pembangunan di ibu kota negara itu, sehingga dapat mentransformasikan Jakarta dari kawasan tradisional menjadi modern. (Brotoseno 2008, merdeka.com 2016, detik.com 2019). , (*)
Discussion about this post