Oleh : Dr.M.J. Latuconsina, S.IP,MA
Pemrehati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensi Maluku.id, – Ambon –Alkisah pada suatu hari, di depan rumah di kala sore hari berdiri seorang penggembala kambing (goat shepherd), ia tengah melihat-lihat rombongan kambing ternaknya yang sedang memakan rumput (grass), yang terhampar di depan pagar rumah. Para rombongan kambing ternaknya itu, tidak sebarangan memakan rumput. Rupanya, perilakunya sama seperti manusia, jika memakan makanan, adakalanya juga memilih sesuai selera perut. Begitu pula rombongan kambing itu, tidak semua rumput yang terhampar di depan pagar rumah dilahap habis.
Rombongan kambing itu, hanya memakan sedikit saja rumput, yang terhampar di depan pagar rumah, lantas berjalan sambil berlari-lari pelan-pelan, dari pijakan awal posisi memakan rumput, untuk memilih rumput lain lagi. Begitu pula seterusnya, cara itu dilakukan rombongan kambing itu berulang kali. Tentu bukan karena desakan tuan penggembalanya, yang tengah mengamati mereka, dengan sekali-sekali mengeluarkan kata “huus”dari mulutnya, agar rombongan kambing itu jangan terlalu mendekat pagar rumah, lantaran menghormati tuan pemilik rumah.
Tanya saya kepada pengembala kambing itu, “bang kambingnya tidak memakan semua rumput yah ?”, jawab balik dari pengembala kambing itu, “ia bang kambing itu tidak memakan semua rumput yang ada, tapi kambing itu memilih rumput yang hendak dimakan”, dalam hati saya kambing juga “belagu” makan. Tapi tentang ini, para sarjana ilmu pertanian (agricultural science degree) lah, yang lebih ekspert untuk menjawabnya perilaku tentang para rombongan kambing, yang memilih-milih rumput untuk dimakan.
Berhubung sudah petang, dan sang raja siang, yang hendak tidur di pembaringannya, yang menandai waktu malam akan tiba, penggembala kambing itu pun berteriak “Ooaa” bak Tarzan, tokoh fiktif ciptaan Edgar Rice Burroughs (1875-1950), seorang penulis berkebangsaan Amerika Serikat, dimana Tarzan bisa berkomunikasi dengan binatang (kera besar), dengan berteriak seperti itu nun jauh di hutan rimba Afrika sana, dan para kambingnya itu pun menuruti panggilan tuannya, untuk segera pulang ke kandangnya.
Saya pun terpana melihatnya, lantas penasaran dan bertanya lagi dengan nada serius, “bang apa rombongan kambing ternak milik abang, tanpa dilecuti dengan ranting semak, dan tanpa menariknya dengan paksa, dari tali yang diikat pada lehernya, akan bisa pulang ke kandangnya ?”. Jawab balik dengan gestur optimis dari pemilik ternak kambing itu, “ia rombongan kambing ternak itu akan tetap pulang ke kandangnya, mengikuti perintah saya”, yang tak lain dengan panggilan “Ooaa” seperti Tarzan, dan rombongan kambing ternak itu pun berjalan pulang ke home base-nya.
Suatu cara persuasif yang ditempuh pemilik ternak kambing itu, tanpa adanya penggunaan kekerasan (violence) melalui lecutan ranting semak, yang dihujankan ke sekujur tubuh ternak kambing itu. Begitu pula tanpa disertai dengan menarik paksa tali, yang terikat pada leher ternak kambing itu, agar ternak kambing itu bisa berjalan pulang ke kandangnya kala petang tiba. Berbeda dengan para peternak kambing lainnya, yang tidak lazim menerapkan cara ini.
Fenomena yang luar biasa, si penggembala kambing itu, dapat berkomunikasi dengan ternaknya. Ingatan saya pun tertuju kepada Nabi Sulaiman Alaihissalam, yang merupakan nabi yang ditunjuk Allah SWT, untuk meneruskan risalah kenabian, guna disyiarkan kepada umatnya di dunia. Ia memiliki mukjizat dapat berbicara dengan hewan. Diluar itu, ada juga perasaan terharu, dua hari sebelumnya saya bertanya “bang harga kambing itu berapa ?”, sebaliknya kata peternak kambing itu “sudah ada yang pesan semuanya bang, untuk lebaran nanti.”
Kambing-kambing, yang jinak itu sebantar lagi akan dilepas oleh tuannya. Bakal tidak ada lagi teriakan “Ooaa” bak Tarzan oleh tuannya didepan pagar rumah, yang menandai komando dari tuannya, agar kambing-kambing itu segera pulang ke kandangnya, karena semuanya laris terjual. Tentu bukan pada substansinya para kambing itu terjual, lantas tuannya mendapat keuntungan (profit), bak saudagar bandot seperti judul lagu jadul Saudagar Bandot, yang dinyanyikan Benyamin Sueb (1939-1995), seorang sutradara, aktor, pelawak, dan penyanyi Indonesia, yang populer pada era 1970 hingga 1990.
Namun ada hikmah terpenting, yang didapatkan tuannya tatkala menggembala kambing dari sisi leadership. Hal ini, seperti kisah para nabi yang menggembala kambing pada zamannya, sebagaimana dikisahkan dalam News Letter Islampos 2019, tentang “Nabi dan Rasul Pernah jadi Penggembala Kambing, Apa Hikmahnya ?”. Dimana, disebutkan dalam artikel itu bahwa, tugas utama para nabi dan rasul adalah mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT. Dalam menjalankan tugasnya, mereka kerap mengalami tantangan dan ujian yang berat.
Namun tahukah Anda jika para nabi telah dilatih sejak kecil tentang bagaimana mengurusi umatnya. Dimana, rata-rata para nabi ketika kecil berprofesi sebagai penggembala kambing. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hikmah di balik penggembalaan kambing sebelum masa kenabian tiba adalah agar mereka terbiasa mengatur kambing yang nanti dengan sendirinya akan terbiasa menangani problematika manusia.” (Fathu Al Bari 1/144).
Agar mereka menjadi penggembala manusia pada waktu mereka besar. Sebagaimana Nabi Musa Alaihissalam dan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam serta para nabi lainnya, pada awal kehidupan mereka telah berhasil menjadi penggembala kambing yang baik. Tujuannya tidak lain, untuk mengambil pelajaran setelah berhasil mengendalikan binatang ternak, maka selanjutnya adalah berhasil mengurus anak cucu Adam dalam mengajak, memperbaiki dan mendakwahi mereka.
Dalam pekerjaan mengembala kambing terdapat pelajaran membiasakan diri untuk sifat menyantuni dan mengayomi. Tatkala mereka bersabar dalam mengembala dan mengumpulkannya setelah terpencar di padang gembalaan, mereka mendapat pelajaran bagaimana memahami perbedaan tabiat umat, perbedaan kemampuan akal. Dengan perbedaan tersebut maka yang membangkang mesti ditindak tegas dan yang lemah mesti disantuni.
Hal ini memudahkan bagi yang memiliki pengalaman seperti itu, untuk menerima beban dakwah dibandingkan yang memulai dari langsung dari awal. Itulah awal pembelajaran bagi para Nabi dengan cara menghadapi tabiat yang berbeda, ada yang lemah, ada yang pincang dan bermaksud mendaki gunung, ada yang tidak mampu untuk melintasi lembah. Dari situ, dia mempelajari bagaimana meraih keinginan yang beragam sebagai pengantar untuk mengenal manusia dengan tujuan dan maksud yang juga beragam. (*)
Discussion about this post