Oleh : Dr. M.J. Latuconsina,S.IP,MA
Pemrehati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensi Maluku.id ,- Ambon –Mengawalinya, memijam ungkapan kontemplatif yang disampaikan Albert Camus, seorang filsuf berkebangsaan Prancis, kelahiran Mondovi (Deraan) Aljazair, pada 7 November 1913 dan meninggal di Villeblevin Prancis, pada 5 Januari 1960 lampau, yang hits melalui karyanya ‘Caligula’ di tahun 1944 lalu. Ia mengatakan bahwa, “rahasia kejayaan hidup adalah persediaan manusia untuk menyambut kesempatan yang menjelma.” Diksi kejayaan yang disampaikan filsuf eksistensialis berdarah Spanyol itu, memiliki relevansi yang realistis dengan Chavismo, yang pernah dipraktikan di Venezuela, suatu negara dibelahan Amerika Selatan.
Tatkala kita membaca Chavismo, maka memory kita tidak asing lagi dengannya, dimana akan menautkanya dengan mendiang Presiden Hugo Rafael Chávez Frías, Presiden Venezuela sejak tahun 1999 sampai wafat di tahun 2013 lalu, yang populer dengan panggilan Hugo Chavez. Pasalnya, Chavismo adalah ideologi politik sayap kiri berdasarkan ide, program, dan gaya pemerintahan yang terkait dengan mantan Presiden Venezuela Hugo Chávez, yang menggabungkan unsur unsur sosialisme, populisme sayap kiri, patriotisme, internasionalisme, bolifarisme, feminisme, politik hijau, dan integrasi Karabia serta Amerika Latin. (https://id.wikipedia.org, 2020).
Naiknya Chavez menjadi presiden membuat arah kebijakan pemerintah berubah. Chavez segera berusaha menghilangkan ketergantungan pada perekonomian internasional, yang dianggap terlalu kapitalistik dan bernuansa imperialis. Seiring dengan meningkatnya devisa negara akibat meningkatnya harga minyak dunia, Chavez segera membayar kembali semua hutang Venezuela pada International Monetary Fund (IMF), dan World Bank. Chavez telah melunasi seluruh hutang Venezuela kepada IMF pada tahun 1999 kemudian dilanjutkan melunasi seluruh hutang pada World Bank pada tahun 2007. (Akbar, Sandriati, 2011).
Padahal sebelumnya, krisis sosial-ekonomi di Venezuela dimulai semenjak masa pemerintahan Carlos Andez Perez pada tahun 1989, ketika keuntungan ekonomi dari penjualan hasil minyak hanya mampu membayar empat hari beban impor dan membayar hutang kepada IMF sebesar US$ 4,5 milyar. Pada waktu yang bersamaan, tingkat kemiskinan naik dua kali lipat dari satu dekade sebelumnya, dari rumah tangga miskin sebesar 27,6 persen mencapai 58,9 persen. Sementara itu angka statistik rumah tangga amat miskin juga naik dari 7,4 persen satu dekade sebelumnya mencapai 26,9 persen. (Pribadi, 2016).
Selanjutnya formula ortodoksi neoliberal berupa pengetatan fiskal, pembatasan peran negara bagi subsidi sosial dan transformasi ekonomi Venezuela menuju ekonomi pasar bebas, seperti privatisasi institusi telekomunikasi nasional dan maskapai penerbangan sebagai respons krisis tersebut tidak memberikan solusi terhadap krisis. Formula neoliberal yang dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Perez justru menstimulus pembangkangan sosial pada tahun 1989 yang dikenal dengan konflik Caracazo, yang mendorong represi pemerintah besar-besaran dan korban jiwa sebesar 400 orang. (Julia Buxton 2009).
Hutang pada Word Bank sendiri sebenarnya mempunyai tenggat waktu hingga tahun 2012, sehingga dengan melunasi lima tahun lebih cepat, Chavez berhasil menghemat pembayaran bunga sebesar US$ 8 juta. Sejak kemenangannya pada pemilu tahun 1998 dan kemudian sekali lagi pada tahun 2000, Chavez terus mendapat kepercayaan rakyat Venezuela. Referendum tahun 2004 berhasil dimenangkan oleh pendukung Chavez dan ia kembali memenangkan pemilu presiden pada bulan Desember 2006. (Blommberg, 2010, Akbar, Sandriati, 2011).
Kepemimpinan Chavez di Venezuela terbukti berhasil. Keberhasilan ini terlihat dengan meningkatnya perekonomian Venezuela sejak tahun 2003. Chavez berhasil menguasai secara penuh pengolahan minyak dan gas di Venezuela. Keberhasilan lain yang dibuktikan oleh Chavez adalah meningkatnya aset fisik PDVSA (Petroleos de Venezuela SA) dari US$ 50 milyar menjadi US$ 71 milyar. Langkah ini diambil sebagai tindakan high profile yang menandai kepemimpinan Chavez yang makin nyata dalam gelombang politik anti neoliberal di Amerika Selatan. (Soyomukti, 2008:42).
Buah dari Chavismo berimplikasi positif, dimana memimpin sejak 1999, Chavez melakukan perubahan besar-besaran. Rakyatnya dimanjakan. Pangan, perumahan, transportasi sampai kesehatan disubsidi. Paling fenomenal adalah nasionalisasi aset-aset swasta. Chavez melakukan itu semua karena punya modal besar. Sumber daya alam minyak sebagai tumpuannya. Dalam data Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) tahun 2015, Venezuela punya cadangan minyak mentah dalam perut bumi terbesar di dunia. Jumlahnya 300 miliar barrel. Angka itu lebih besar dibanding Arab Saudi 226 miliar barrel, Iran 158 miliar barrel dan Irak 142 miliar barrel.
Selama menjadi presiden, Chavez memang memegang kendali penuh industri minyak di Venezuela. Keuntungan ekspor minyak mentah itulah yang digunakan Chavez membangun Venezuela. Hingga rakyatnya menganggap Chavez sebagai penyelamat. Namun langkah Chavez kemudian malah jadi bumerang bagi Venezuela. Semua aset dikuasai pemerintah. Semua bidang kehidupan disubsidi. Akhirnya beban negara menjadi sangat besar. Ketika harga minyak terjun bebas, Venezuela tak punya uang lagi membiayai negaranya. Sektor swasta sudah lama tak bisa diharapkan. (https://www.merdeka.com, 2019).
Seiring perjalanan waktu, pada tanggal 5 Maret 2013, Wakil Presiden Nicolás Maduro mengumumkan di televisi nasional bahwa Chávez telah meninggal dunia di Caracas pada pukul 16:25 waktu setempat. Wapres menyatakan Chávez meninggal, setelah berjuang melawan penyakit yang dideritanya selama hampir dua tahun. Wafatnya Chaves kemudian menenggelamkan Chavismo, meski negara itu dipimpin Maduro sebagai Presiden, yang sebelumnya adalah mitra Chaves sebagai Wakil Presiden, tapi ia tidak bisa mengembalikan kejayaan ekonomi tatkala masih dipimpin Chaves. Pasalnya, kasus korupsi, salah urus pemerintahan, hingga tingkat utang yang tinggi telah membuat perekonomian negara itu ambruk. (https://id.wikipedia.org, 2020).
Krisis besar terjadi di Venezuela, ketidakpuasan masyarakat luas akan kepemimpinan Maduro berdampak pada kerusuhan yang terjadi di negara tersebut. Terlebih lagi terjadi ketidakpastian pemerintahan setelah pemimpin oposisi Juan Guaido memproklamirkan diri sebagai presiden interim, padahal Maduro belum diturunkan. Ketidakpuasan yang tumbuh di Venezuela, dipicu oleh hiperinflasi, pemadaman listrik dan kekurangan makanan dan obat-obatan, telah menyebabkan krisis politik. Krisis yang terjadi ini juga mempengaruhi perekonomian masyarakat di Venezuela.
Secara luas masyarakat mengeluhkan kelaparan, kurangnya perawatan medis, meningkatnya pengangguran hingga maraknya kegiatan kriminal bahkan dengan kekerasan. Lebih dari tiga juta rakyat Venezuela telah meninggalkan negaranya selama beberapa tahun terakhir karena hal tersebut. Dampak pertama pelemahan ekonomi negara ini adalah tingkat inflasi yang terus meroket. Bahkan, tingkat inflasi tahunan negara mencapai 1.300.000% dalam 12 bulan hingga November 2018.
Pada akhir tahun lalu saja, harga rata-rata naik dua kali lipat setiap 19 hari. Ini telah membuat banyak rakyat Venezuela berjuang untuk membeli barang-barang pokok seperti makanan dan peralatan mandi. Selain itu, nilai tukar mata uang mereka (bolivar) juga terus melemah. Yang awalnya untuk mendapatkan US$ 1 hanya membutuhkan tidak sampai 200 bolivar pada tahun 2018, kini butuh sekitar 1.600 bolivar untuk memiliki satu dollar. (https://finance.detik.com,2019).(*)
Discussion about this post