Dr. M.J. Latuconsina,S.IP,MA
Pemerhati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensi Maluku.id ,- Meminjam ungkapan heroik Muhammad Yamin, seorang ahli hukum yang memiliki kontribusi besar dalam penyusunan konstitusi Republik Indonesia, kelahiran Talawi, Sawahlunto, Sumatra Barat, pada 24 Agustus 1903 lantas meninggal di Jakarta, pada 17 Oktober 1962 sebelum jauh mengisahkan Pengibaran Bendera Merah Putih di Katapang Seram Barat 74 tahun lampau bahwa, “cita-cita persatuan Indonesia itu bukan omong kosong, tetapi benar-benar didukung oleh kekuatan-kekuatan yang timbul pada akar sejarah bangsa kita sendiri”.
Akar sejarah yang dimaksud Yamin itu, tak lain adalah perasaan senasib di jajah oleh imprealisme Belanda. Perasaan senasib itu, yang kemudian di alami juga oleh warga masyarakat Katapang Seram Barat, yang kala itu memiliki simpati terhadap persatuan Indonesia demi mencapai Indonesia merdeka. Seperti dikisahkan Ahkam Sangaji (2014), dalam artikelnya yang berjudul ; “Pengibaran Bendera Merah Putih di Katapang Maluku” bahwa, tahun 1940-an dalam kehidupan masyarakat Katapang belum terjadi pergerakan perjuangan, kehidupan pada masa itu dirasakan normal adanya.
Dalam anggapan mereka, bekerja untuk Pemerintah Hindia Belanda, dengan mengambil keuntungan seadanya, bukan sebuah penyiksaan. Asalkan tidak ditindas kasar, sehingga mereka tetap melakukan pekerjaan dengan baik. Namun sikap antipati mulai muncul, tapi karena keterbatasan mereka sehingga mereka tak bisa berbuat banyak, dimana hanya pasrah dengan sikap Pemerintah Hindia Belanda kala itu. Seiring penyerbuan tentara pendudukan Jepang di Hindia Belanda, yang bermula dari ; Tarakan pada 11 Januari 1942 lantas berlanjut di Balikpapan, Pontianak, Samarinda, Banjarmasin, Palembang, Teluk Banten di Eretan Wetan, Kragan Jawa Tengah, Subang, Kalijati, Batavia (Jakarta), Bogor, dan di Bandung.
Tak lama berselang, pada 30 Januari hingga 3 Februari 1942 pendaratan tentara pendudukan Jepang di Pulau Ambon, berdampak pada pertempuran hebat antara tentara pendudukan Jepang, dengan tentara Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL), yang disupport oleh Batalyon 2/21 Gull Force dari Australia, yang dikenal dengan Pertempuran Ambon. Penguasaan Pulau Ambon itu, maka secara berlahan-lahan tentara pendudukan Jepang mulai juga menguasai pulau-pulau disekitarnya, antara lain ; Pulau Haruku, Saparua, Seram, Buru dan Kepulauan Banda.
Penguasaan itu terasa hingga ke Katapang Seram Barat, demi kepentingan untuk menghalau lajunya serangan tentara Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat di wilayah Pasific dan sekitarnya, maka tentara pendudukan Jepang pun merekrut warga masyarakat di Katapang sebagai Tentara Pembantu yang lazim disebut dengan HEIHO. Pembentukan HEIHO itu berdasarkan instruksi Bagian Angkatan Darat Markas Besar Umum Kekaisaran Jepang, pada tanggal 2 September 1942 dan mulai merekrut anggota pada 22 April 1943.
Salah satu sosok warga Katapang yang menonjol yang direkrut saat itu dalam HEIHO yakni, Muhamad Noer bin La Ambo. Dikemudian hari dia adalah pejuang, yang bersama-sama dengan Wim Reawaru dari Negeri Wai Pulau Ambon, dan Ye Hasan dari Negeri Luhu Seram Barat, yang dikenal sebagai figur Perintis dan Pejuang Kemerdekaan di Daerah Maluku. Namun nasib Muhamad Noer bin La Ambo, dengan Wim Reawaru tidak mujur, mereka berdua lantas ditangkap oleh pasukan Republik Maluku Selatan (RMS), yang kala itu disebut “Baret”, disiksa lalu dibawa ke Batu Capeo, Negeri Amahusu di pulau Ambon. Kemudian dibawa ke Pantai Hunimua Negeri Liang di Pulau Ambon pada 23 Juli 1950, di sana mereka berdua eksekusi mati oleh tentara separatis itu.
Terlepas dati itu, jauh sebelumnya di tahun 1944 Muhamad Noer bin La Ambo diberi tugas yang sangat besar oleh Bung Karno, untuk menjalankan sebuah misi rahasia. Kemudian beliau memerintahkan empat orang pemuda yang merupakan anak buahnya, untuk menjalankan misi rahasia tersebut. Mereka adalah Abdurahman, Arsad, Djabir yang juga merupakan warga masyarakat Katapang, dan Amei salah seorang keturunan Cina. Mereka di perintahkan untuk menukar senjata di Manila Filipina dengan hasil bumi berupa kopra. Dengan menggunakan perahu kora-kora dan bermuatan kopra mereka pun berlayar menuju Manila.
Misi rahasia itu berhasil, dimana penukaran kopra dan senjata berjalan mulus. Setelah selesai proses barter kemudian mereka berempat kembali ke tanah air, dengan muatan ratusan pucuk senjata dan ratusan peti peluru. Namun perjalanan mereka kembali ke Maluku tidak mulus, dimana sempat tertahan di Manado, berdasarkan informasi yang mereka dapatkan misi mereka telah diketahui pihak tentara pendudukan Jepang. Sehingga amunisi perang, yang mereka bawah dari Manila untuk para pejuang di Maluku, dengan terpaksa mereka tinggalkan di Tanah Kawanua itu.
Setelah semua amunisi perang mereka ditinggalkan di Manado, kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke Maluku. Mamasuki Pulau Ambon mereka digeledah, dan ditahan oleh tentara pendudukan Jepang. Kurang labih empat bulan mereka mendekam di penjara, baru kemudian mereka dibebaskan oleh Muhammad Noer bin La Ambo, yang tak lain adalah komandan HEIHO sekaligus pimpinan mereka pada saat itu. Dari paparan Ahkam Sangaji (2014), tatkala mereka kembali ke Katapang para pejuang ini, telah membawa bendera Sang Saka Merah Putih pemberian Bung Karno.
Perjuangan mereka terus berlanjut, dimana setiap pergerakan perjuangan nasional saat itu, para tokoh Katapang siap siaga meresponsnya. Pada waktu-waktu tertentu Muhammad Noer bin La Ambo sering berkomunikasi dengan kapal-kapal para pejuang, yang berlalu lalang di perairan Katapang. Komunikasi yang dibangun terkait dengan gerakan-gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Adanya komunikasi perjuangan inilah, yang membangkitkan spirit nasionalisme para pejuang di Katapang. Namun pada waktu itu, perjuangan yang mereka lakukan hanyalah sebatas pemberian informasi tentang kekuatan, dan kelemahan tentara pendudukan Jepang.
Tak lama berselang, tatkala pada tanggal 17 Agustus 1945, setelah proklamasi kemerdekaan yang disampaikan dwi tunggal Bung Karno-Bung Hatta di Batavia (Jakarta) di Jalan Pegangsaan Timur 56, maka tentara pendudukan Jepang pun menyampaikan informasi kemerdekaan itu, dengan nada kesal kepada warga masyarakat Katapang bahwa, “kalian telah merdeka”. Penyampain informasi kemerdekaan dengan cepat menyebar di warga masyarakat Katapang mendahului wilayah-wilayah lainnya di Maluku. Hal ini dikarenakan tentara pendudukan Jepang tatkala mendarat di tahun 1942 di Katapang telah lebih dulu membangun sebuah pemancar penerima siaran radio, dan memfasilitasi beberapa pasukan mereka dengan pesawat radio. Sehingga berbagai aktifitas pergerakan tokoh-tokoh nasional ke arah kemerdekaan Indonesia di Batavia (Jakarta), dapat dengan mudah mereka ketahui.
Meskipun warga masyarakat Katapang telah mendengar informasi itu, dari tentara pendudukan Jepang, namun tidak serta merta warga masyarakat Katapang merespons proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 itu. Besoknya pada tanggal 18 Agustus 1945 barulah warga masyarakat Katapang memanfaatkan kesempatan ditengah-tengah kekecewaan, yang tengah dialami tentara Pendudukan Jepang, karena Kekaisaran Jepang sudah menyerah dan bertekuk lutut pada Sekutu pada bulan itu juga, lantas mengibarkan Sang Dwiwarna Merah Putih selama beberapa jam, namun dengan pengawalan ketat dari tentara pendudukan Jepang. Usai pengibaran Sang Dwirana Merah Putih, bendera itu kemudian disimpan dan dinaikan pada tahun-tahun berikutnya.
Dari kisah pengibaran bendera Sang Dwiwarna Merah Putih itu, dapat dikatakan bahwa, dari Ketapang lah pada tanggal 18 Agustus 1945 telah lebih dulu dilakukan pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih di Maluku, mendahului pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih di Namlea pada tanggal 8 April 1946, yang bertepatan dengan Peristiwa Namlea, pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih Negeri Kobi Lama Seram Utara pada tanggal 16 Oktober 1948, dan pengibaran Sang Dwiwarna Merah Putih di Negeri Hitumesing pada tanggal 27 Desember 1949. Mengakhiri kisa heroik ini, mengutip ungkapan kontemplatif dari Bung Hatta Sang Proklamator Republik Indonesia bahwa, “pahlawan yang setia itu berkorban, bukan buat dikenal namanya, tetapi semata-mata membela cita-cita”.
Apa yang dikatakan Bung Hatta itulah yang di ekspresikan oleh Muhammad Noer bin La Ambo bersama kawan-kawannya dan warga masyarakat Katapang di Seram Barat, dengan menunjukkan kegigihannya yang terhingga, dalam menjaga eksistensi kemerdekaan Republik Indonesia, dengan melakukan pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih pada tanggal 18 Agustus 1945, meskipun respons dari tentara pendudukan Jepang tak bersahabat kala itu, menyusul menyerahnya Kekaisaran Jepang pada Sekutu, tanpa syarat di bulan Agustus 1945. Oleh karena itu, yang mereka lakukan, tentu demi membela cita-cita Indonesia merdeka, dan bukan untuk dikenal nama mereka. (Sangaji 2014, Ambon Ekspres 2014, Wikipedia, 2019). (*)
Discussion about this post