Dr. M.J. Latuconsina,S.IP,MA
Pemrehati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensi Maluku.id ,- Memikirkan serta merumuskan kembali makna agama merupakan tanggung jawab seluruh umat beragama di dunia. Agama dalam kehidupan selain berfungsi sebagai pedoman hidup secara individu, agama juga berfungsi sebagai instrument dalam menyikapi semua perbedaan. Agama merupakan jalan yang diambil sebagai alternatif bagi seseorang untuk mendapatkan keselamatan dalam hidupnya. Keyakinan akan adanya kekuatan maha tinggi, yang mengatur jalannya kehidupan memang sudah seharusnya dipercayai oleh manusia.(Shahab 2007, Amin 2012, Amalia 2019).
***
Dalam perspektif itu, agama memiliki peran ideal bagi kemanusiaan, ini adalah sisi positif dari agama. Namun adakah sisi kelam dari agama ?, untuk menjawabnya, tentu kita perlu dengan saksama membaca pemikiran Reza A.A. Wattimena, yang berjudul : “Untuk Semua Yang Beragama : Agama Dalam Pelukan Filsafat, Politik, dan Spritual.” Diterbitkan PT Kanisius Yogyakarta, 2020. Ia seorang peneliti pada bidang filsafat politik, filsafat ilmu dan kebijaksanaan timur, dan juga merupakan seorang doktor lulusan Hochschule Fur Philosophie Munchen, Philosopiche SJ Munchen, Jerman.
Jika ditilik, pemikirannya itu merupakan bagian dari filsafat Perennial, yang juga disebut Perenialisme, adalah sebuah sudut pandang dalam filsafat agama, yang meyakini bahwa setiap agama di dunia memiliki suatu kebenaran yang tunggal dan universal, yang merupakan dasar bagi semua pengetahuan dan doktrin religius. Gagasan perenialisme sudah ada sejak zaman kuno, dan dapat ditemui dalam berbagai agama dan filsafat dunia.
Istilah philosophia perennis pertama kali digunakan Agostino Steuco (1497-1548), yang mendasarkannya dari tradisi filosofis yang sebelumnya sudah ada, yaitu dari Marsilio Ficino (1433-1499), dan Giovanni Pico della Mirandola (1463-94). Pada akhir abad ke-19, gagasan ini dipopulerkan oleh pemimpin Masyarakat Teosofis seperti H.P. Blavatsky, dan Annie Besant dengan nama “Kebijaksanaan-Agama” atau “Kebijaksanaan Kuno”.
Pada abad ke-20, gagasan ini dipopulerkan di negara-negara berbahasa Inggris oleh Aldous Huxley dalam bukunya yang berjudul ; “The Perennial Philosophy”. Serta juga tulisan dari sekelompok pemikir yang kini dikenal dengan nama Mazhab Tradisionalis. Sudut pandang ini bertentangan dengan saintisme dalam masyarakat sekuler modern.
***
Pada abad ke-21 ini, agama tetap memainkan peranan besar di dalam hidup manusia. Berjuta kritik sudah diarahkan kepadanya. Namun, agama memperbarui diri, dan tetap mengembangkan sayapnya di abad ilmu pengetahuan dan teknologi ini. Ia tetap memberikan warna bagi hidup pribadi orang, sekaligus kepada tata politik global yang semakin kompleks.
Namun, dalam perjalanan, agama kerap digunakan oleh kepentingan sempit untuk mengacaukan keadaan. Agama dipakai untuk memecah belah, dan membenci satu sama lain. Agama juga digunakan untuk mengancam keamanan dan ketertiban sosial. Di berbagai belahan dunia, agama juga dijadikan pembenaran untuk kekerasan dan terorisme. Ayat-ayat tertentu digunakan untuk membenarkan sikap jahat terhadap perbedaan. Tidak hanya itu, agama juga membelenggu kebebasan berpikir dan sikap kritis.
Di banyak tempat, agama justru menjadi sumber masalah yang menyebabkan keterbelakangan pikiran dan kemiskinan hidup. Untuk menanggapi hal ini secara tepat, agama harus diangkat ke tingkat spiritualitas. Ia harus menjadi terbuka pada perbedaan dan perubahan. Untuk itu, agama justru harus kembali ke akarnya sendiri, yakni pengalaman kesatuan dengan Tuhan, dan dengan segala yang ada. Di tingkat ini, segala pandangan agamais yang sempit, tertutup, terbelakang, dan penuh kekerasan akan lenyap secara alami.
Akhirulkalam, buku dengan konten filsafat ini layak di baca bagi mereka intens mengkaji filsafat dalam jangkauan yang luas. Sehingga dapat memperkaya khasana pemikiran tentang relasi filsafat, politik, dan spritualitas. Tentu tidak ada sesuatu yang tidak bisa dipahami, sepanjang kita mau secara serius membaca filsafat, pasalnya dengan membaca filsafat secara serius kita akan mampu mengetahuinya, sehingga persepsi keragua-raguan bahwa, filsafat itu memusingkan kita akan tergantikan dengan “kenikmatan pengetahuan” yang luar biasa. (*)
Discussion about this post