Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA
Pemerhati Sosial,Ekonomi&Politik
Referensimaluku.id, – Figur Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta adalah dua tokoh pergerakan Indonesia, yang dikemudian hari tatkala Indonesia merdeka pernah mengemban jabatan sebagai Perdana Menteri (PM/Kepala Pemerintahan) Republik Indonesia ke-1 dan ke-3. Kedunya pernah di buang (eksil) di Banda Naira, Maluku. Untuk Sjahrir publik lebih mengetahui ia adalah Perdana Menteri RI ke-1 periode 1945-1947 di era pra demokrasi parlementer, namun khusus untuk Hatta pasti ada debating dari publik bahwa ia adalah Wakil Presiden RI dan bukan Perdana Menteri RI.
Padahal dalam catatan sejarah RI Hatta adalah Perdana Menteri RI ke-3 periode 1948-1949, dimana sebelumnya jabatan ini diemban Amier Sjarifoeddin sejak 1947-1948. Sebelum kedua tokoh pergerakan kemerdekaan ini ditangkap Belanda dan di buang di Banda Naira, mereka terlebih dahulu di asingkan di Boven Digoel, Papua pada tahun 1934. Boven Digoel adalah penjara alam yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda di Papua. Kondisi penjara ini sangat tidak bersahabat, digunakan Hindia Belanda untuk mematahkan perlawanan kaum pergerakan.
Arsitek pembangunan kam konsentrasi di tanah Papua itu adalah Kapten L. Th. Becking pada awal tahun 1927. Sebelumnya kamp ini diperuntukan bagi tempat pembuangan kelompok komunis di Nusantara, yang melakukan pemberontakan terhadap Pemerintah Hindia Belanda kala itu, baik itu dari Pulau Sumatera dan dari Pulau Jawa. Setelah mendiami pembuangan di Boven Digoel kurang lebih setahun, Sjarir dan Hatta lantas dibuang di Banda Naira pada Februari 1936. Selain menjauhkan mereka dari kontak dengan dunia luar, juga demi kesehatan mereka.(wikipedia.org, 2021)
Keduanya sempat terkena malaria di Digul, Papua. Saat itu, malaria menjadi pembunuh nomor satu bagi tahanan politik yang ditahan di sana. Keganasan nyamuk pembawa penyakit Malaria, saat itu belum dapat ditangani dengan baik. Juga obat-obatan yang tak tersedia cukup untuk tawanan, menyebabkan banyak yang menghembuskan nafas terakhir karena malaria di Papua. Tiba di Banda Naira telah lebih dulu, dua tokoh pergerakan nasional lainnya di asingkan disana yakni, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Mr. Iwa Kusuma Sumantri. (indomaritim.id, 2019).
Begitu sampai di Banda Naira, mereka dijemput utusan Mr Iwa serta dua anak dr Tjipto. Mereka sempat bermalam di rumah Mr. Iwa. Setelah itu, mereka menemui kepala pemerintahan setempat. Hatta dan Sjahrir masing-masing mendapat tunjangan sebesar 75 gulden sebulan. Selanjutnya, Hatta dan Sjahrir tinggal di rumah yang sama, yang mereka sewa dengan biaya 12.50 gulden sebulan. Rumah itu disewa dari seseorang bernama De Vries. Hingga kemudian Sjarir berkenalan dengan Des Alwi dan adik-adiknya yang lantas mengangkat mereka sebagai anak angkatnya.
Pada akhir Januari 1942 sebuah pesawat Catalina milik militer Belanda mendarat di Banda Naira. Mereka datang untuk menjemput dua orang buangan penting di pulau itu, Sjahrir dan Hatta. Kepergian kedua tokoh pergeran kemerdakaan tersebut menandai berakhirnya masa pembuangan mereka di Banda Naira. (tirto.id, 2019). Dalam dinamika Perang Pasifik antara Jepang dan Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat, menandai semakin melemahnya posisi Jepang di Pasifik, dimana pada berbagai front pertempuran di Pasifik. Kondisi ini membuka ruang konsolidasi bagi tokoh-tokoh pergerakan nasional untuk memerdekakan Indonesia.
Pada 17 Agustus 1945 di proklamirkanlah kemerdekaan Indonesia oleh dwi tunggal Soekarno dan Hatta. Berselang empat bulan kemudian pasca kemerdekaan, pada 14 November 1945 Presiden Soekarno memilih salah satu tokoh pergerakan nasional yang pernah di buang di Banda Neira yakni, Sjarir sebagai Perdana Menteri RI pertama. Selanjutnya pada 29 Januari 1948 Presiden Soakrno juga memilih kawan dari tokoh Partai Sosilis Indonesia (PSI), semasa pembuangan di Banda Neira ini sebagai Perdana Menteri RI ketiga, yang tak lain Hatta. Pemerintahan RI boleh di Jakarta, tapi figur-figur kepala pemerintahan RI sebelum menduduki jabatannya dikemudian hari, pernah mengalami penguatan fisik dan mental tatkala di buang di Banda Naira, Maluku. (*)
Discussion about this post