Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA
Pemerhati Sosial,Politik&Ekonomi
Referensi Maluku.id, –Ungkapan lawas dalam dialeng Malayu Ambon, “harus skolah ana biar kamong jadi manusia”, merupakan nasehat dari para orang tua, yang sering disampaikan mereka berulang kali kepada kita sejak mengawali sekolah di Taman Kanak-Kanak (TK), dan Sekolah Dasar (SD). Kadang karena masa itu kita masih polos, dimana beranggapan hari ini adalah hari ini saja, tidak ada hari esok dengan masa depan yang cerah. Kita pun balik berkata kepada kepada mereka, “mama, papa..e katong su jadi manusia ini, masa katong harus skolah lai par jadi manusia.”
Baru kemudian dijelaskan oleh orang tua kita kepada kita bahwa, dengan sekolah akan menambah ilmu pengetahuan dan akan memperoleh ijazah. Dengan ijazah dapat digunakan sebagai tiket untuk melamar pekerjaan yang lebih baik lagi, ketimbang tidak sekolah dimana tidak memiliki bekal ilmu pengetahuan dan ijazah, maka pekerjaannya tidak lebih baik dimana berada pada pekerjaan level terendah.
Sebab sudah kita tahu bersama, mereka yang tidak sekolah atau putus sekolah rata-rata tidak tahu baca, dan menghitung. Tentu tidak akan dapat memperoleh pekerjaan pada level menengah dan atas lantaran tidak bisa membaca, dan juga menghitung. Pada akhirnya mereka yang tidak sekolah atau putus sekolah menggeluti pekerjaan tingkat rendahan, jika dibandingkan dengan mereka yang tuntas sekolah memiliki pekerjaan yang lebih baik.
Motivasi para orang tua kita tersebut, akhirnya benar-benar membuahkan hasil, dimana kita mampu menuntaskan jenjang pendidikan dari level TK hingga Perguruan Tinggi (PT) dengan baik. Dengan berbekal ilmu pengetahuan dan ijazah, maka kita pun melamar pekerjaan pada instansi pemerintah/negara dan swasta. Banyak diantara kita yang diterima, lantas mengeluti pekerjaannya itu dengan serius, dengan memperoleh penghasilan yang memuaskan, dimana berdampak pada ketercukupan kita.
Bahkan tidak sebatas ketercukupan saja, namun juga ada keterlebihan, dimana sebagian meniti karier dari bawa hingga sukses menempati jabatan strategis sebagai pimpinan. Pada titik ini ekspetasi orang tua kita pun terpenuhi, dimana kita benar-benar menjadi “manusia” sebagaimana harapan mereka sejak awal, tatkala mulai mengantarkan kita mengeyam pendidikan guna meraih masa depan yang lebih cerah. Ekspetasi itu sejalan dengan pemikiran Aristoteles (384-322 SM) seorang filsuf Yunani bahwa, “pendidikan mempunyai akar yang pahit, tapi buahnya manis.”
Kadang dahulu lantaran malas ke sekolah karena hanya ingin bermain-main, membuat orang tua kita menjadi gusar dengan melecuti tubuh kita dengan sebilah rotan, sambil balik menasehati kita, dimana membandingkan kita dengan handaitaulan mereka yang putus sekolah lantas masa depan mereka tidak begitu baik, “ana kalo ale seng skolah nanti kaya om di kampung sana, dolo tete deng nene suruh skolah tapi seng mau, akhirnya skarang karja pukul sagu di kampong.” Itu adalah nasihat komparatif yang disampaikan oleh orang tua kita, agar kita serius untuk sekolah.
Dalam perkembangannya kita pung sukses menjadi “manusia” seperti ekspetasi orang tua kita, dengan pekerjaan dan karier yang bagus. Tidak sebetas menjadi “manusia” dengan pekerjaan semata, tapi juga karier yang diawali dari bawah meroket hingga kita dapat menempati jabatan, dengan menjadi pimpinan pada instansi pemerintah/negara dan swasta. Meskipun kebanyakan dari kita telah menjadi “manusia” tapi tidak menyurutkan semangat kita untuk terus sekolah, untuk menambah kapasitas ilmu pengetahuan.
Namun tentu menolak perspektif pemikiran lawas Roem Topatimasang sebagaimana judul karyanya “Sekolah Itu Candu” di tahun 2013 lalu. Sekolah dalam konteks ini, bukan karena candu, namun sekolah yang kita tempuh sesuai dengan kebutuhan kita akan pemenuhan ilmu pengetahuan dan kualifikasi ijasah, untuk kepentingan kelembagaan tempat dimana kita bekerja, yang mewajibkan kita untuk memenuhinya, yang disesuaikan dengan dinamika perkembangan kependidikan dilevel global, nasional dan lokal.
Dalam usia yang tidak muda lagi, saya masih menyempatkan diri untuk menempuh sekolah pada jenjang terakhir pendidikan formal di republik ini, dimana menempuh sekolah pada Program Pasca Sarjana (S3) Administrasi Publik di Universitas Negeri Makassar. Dalam dialeg Malayu Ambon “biar su jadi manusia katong masih skolah”, suatu penegasan bahwa sekolah itu penting, dimana tidak mengenal berhenti lantaran sudah memiliki usia yang tidak mudah lagi.
Hal ini, sebagaimana ungkapan lawas John Dewey (1859-1952) seorang filsuf dan kritikus sosial dalam bidang pendidikan dari Amerika Serikat, yang menjadi salah satu perintis pemikiran pragmatisme, “long life education”, yang dimaknai pendidikan seseorang akan terus berlaku tanpa mengenal usia. Tidak ada kata terlambat lantaran usia yang tidak muda lagi, untuk menempuh sekolah, tapi selagi masih bisa untuk kita sekolah lakukannlah, karena sekolah jalan menuju kebaikan dan kesuksesan. (*)
Discussion about this post