Oleh : Dr. M.J. Latuconsina, SIP, MA
Pemerhati Sosial,Politik&Ekonomi
Referensimaluku.id, – Mengawalinya meminjam penggalan quotes dari Edward Gibbon (1737-1794), sejarawan berkebangsaan Inggris bahwa, “keberanian seorang prajurit ditemukan sebagai kualitas manusia,..” Ungkapan kontemplatif ini relevan dengan sosok pria, yang mengenakan pakaian dinas lapangan polisi lalu lintas, yang tengah diapit dua anakbuahnya tersebut, saat ia diwawancarai oleh para wartawan disela ia menjalankan tugasnya. Ia adalah Inspektur Polisi Dua (Ipda) Purn. Pol. Abidin Tatuhey, SIK.
Semasa tugasnya sebagai polisi, ia telah menunjukan keberaniannya dengan tegas menegakkan hukum dalam berlalu lintas di Kota Ambon. Kata salah seorang putranya, dalam suatu kesempatan saat kita sama-sama masih kuliah di Kota Makassar dalam dialeg Malayu Ambon, “beta pung bapa tugas jadi polantas paleng lama, sampe antua pung tamang-tamang rata-rata su di kantor su seng di jalan lai, maar antua masih di jalan urus lalu lintas.”
Benar adanya yang disampaikan putra Ipda Purn Tatuhey tersebut. Sejak 1995 saat saya melewati depan Hotel Maluku yang berhadapan dengan Ambon Plaza (Amplaz) di Jalan Yos Soedarso, ia yang saat itu masih nampak muda, ganteng, berwibawah dengan kulit kuning langsat dan berkumis mengenakan uniform polantas masih berdiri mengatur lalu lintas dikawasan eks Pasar Gotong Royong itu.
Hingga usai kuliah di tahun 2021 dan balik ke Ambon dari Kota Daeng itu, ia masih bertugas dilapangan mengatur lalu lintas. Tak salah jika ia dijuluki “The Field Soldier”, yang menghabiskan sebagain besar masa dinasnya dimedan tugas, dengan menjadi polantas. Jika ia berdiri di pos polantas yang tidak jauh dari jembatan muara Waitomu di Pasar Mardika, para sopir angkutan kota (angkot) : Lin III, Benteng, Kudamati, Latuhalat dan Amahusu pada takut.
Hingga mereka memanggilnya “Tsunami”, pasalnya ia tak peduli dengan alasan apapun saat surat kendaraan para sopir tak lengkap ia akan menilangnya. Eskpresi para sopir yang takut itu dengan katakan, “awas ada “Tsunami” jang coba-coba lewat kalau surat-surat oto seng lengkap.” Melihatnya disana, mereka keluar dari terminal dengan tertib, dimana tidak menyerobot antrian kawan-kawannya didepan pintu keluar terminal, untuk menaikan para penumpang, yang membuat macet disitu.
Bahkan pernah suatu hari saya menumpangi angkot Lin III melawati Jalan Pala didepan Hotel Sumber Asia, sopir angkot pun kaget dengan katakan : “eh beta kira tsunami e, kalo antua lai katong seng bisa lewat”. Sopir itu nyaris menghentikan angkotnya di tengah jalan, padahal yang dilihatnya seorang polisi yang mirip Ipda Purn. Tatuhey. Saya yang mendengar ucapan sopir angkot Lin III itu hanya tersenyum-senyum dan menganggapnya sebagai suatu joke.
Betapa takutnya mereka padanya, ketakutan itu lantaran mereka tidak memiliki surat-surat kendaraan yang tidak lengkap. Jika saja lengkap tak perlu mereka menunjukan ekspresi seperti itu. Pada tahun 2018 lalu ia masih mengemban jabatan sebagai Kanit Laka Lantas di Polres Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease. Itu adalah jabatan struktural terakhirnya di jajaran Polres yang bermarkas di Parigi Lima Ambon ini, sebelum akhirnya ia benar-benar purna tugas dari instansinya tersebut.
Pada hari-hari berikutnya setelah ia purna tugas, tidak ada lagi polantas yang tegas sepertinya. Bahkan kisahnya menjadi legenda hidup di kota yang bertajuk manise ini, dimana saat orang melihatnya, mereka tidak akan menyebut nama lengkapnya melainkan julukan yang diberikan kepadanya “Tsunami”. Tentang legenda hidup itu mengingatkan saya pada ungkapan Roy Orbison (1936-1988), salah seorang musisi berkebangsaan Amerika Serikat , yang populer melalui albumnya “Less Than Zero” di tahun 1987 lalu bahwa, “saya mungkin adalah legenda hidup,..”. (*)
Discussion about this post