Oleh : Dr. M.J. Latuconsina, S.IP, MA
Pemerhati Sosial, Ekonomi&Politik
Referensimaluku.id, – “Sesungguhnya manusia tidak sama sekali bersalah, karena ia tidak memulai sejarah. Tapi juga tidak sama sekali tanpa salah, karena ia meneruskan sejarah.” (Albert Camus).
***
Membaca tema narasi ini, pasti persepsi khalayak akan menyebut figur Gubernur di maksud merupakan julukan yang diberikan kepada salah satu Gubernur dari tiga daerah penghasil Cengke (Syzygium aromaticum) di kawasan timur Indonesia yakni : Maluku, Maluku Utara dan Sulawesi Utara. Ternyata bukan salah satu Gubernur dari ketiga Provinsi itu, melainkan figur dimaksud yakni, Brigjen (Hor) Purn. Seotran, yang merupakan Gubernur Provinsi Irian Jaya (kini Papua) ke-6 periode 1975-1980.
Soetran mirip dengan “Gubernur Jagung”, yang tak lain adalah Fadel Muhammad Al-Haddar Gubernur Provinsi Gorontalo periode 2001-2009. Meskipun sebelumnya Gorontalo bukan salah satu daerah penghasil jagung di tanah air layaknya Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Madura tapi pria keturunan Arab kelahiran Ternate, Maluku Utara ini sukses melakukan swasembada jagung. Dampaknya pertumbuhan ekonomi daerah ini meningkat dari 6,7 persen pada 2002 menjadi 7,3 persen pada 2005.(Antara, 2006).
Narasi ini bukan bandingkan figur gubernur berasal dari Jawa, yang memperkenalkan gerakan tanam Cengke, dengan gubernur di ketiga daerah penghasil Cengke itu. Namun hanya deskripsi historik, agar kita tahu dahulu ada figur gubernur berasal dari Jawa di Irian Barat sana, yang memahami nilai ekonomi Cengke. Kita tak perlu kritik “pedas” guna menyinggung dan menghujat figur penting manapun terkait nilai ekonomi Cengke bagi rakyat, karena deskripsi ini bukan dimaksudkan mengajak nitizen untuk mengritik.
***
Lahir di Sidoarjo, Soetran harus berhenti dari pendidikan dasar pada kelas 4 dan melakoni berbagai pekerjaan. Pada tahun 1942, Soetran masuk ke dalam organisasi PETA dengan pangkat budancho (setingkat sersan). Setelah kemerdekaan Indonesia, Soetran masuk TNI, dan menjabat sebagai Dandim di Merauke dan Trenggalek. Jauh sebelum ia mengemban tugas sebagai Gubernur Irian Barat, Seotran mengemban tugas sebagai Bupati Trenggalek.
Ia terpilih sebagai Bupati Trenggalek pada tahun 1968. Salah satu karakteristik kepemimpinannya adalah sistem komando yang dianut oleh pemerintah daerah. Pencapaian terbesarnya sebagai bupati adalah menjadikan Trenggalek sebagai pusat cengkih se-Jawa Timur. Soetran juga mencanangkan kebijakan tembokisasi (pembangunan tembok) dan reboisasi di wilayah Trenggalek sebagai upaya untuk meningkatkan taraf hidup rakyat Trenggalek.
Soetran ditunjuk kembali untuk masa jabatan keduanya pada tahun 1973, dan Trenggalek menerima penghargaan Parasamya Purnakarya Nugraha sebagai kabupaten terbaik di tahun 1974. Sebagai penghargaan atas pencapaiannya di Trenggalek, Soetran ditunjuk untuk menjabat sebagai Gubernur Irian Jaya pada tahun 1975. Pada masa kepemimpinannya, Soetran menerapkan program Wajib Tanam Cengke.
Ia mewajibkan hampir seluruh penduduk dan instansi di Irian Jaya untuk menanam cengkih. Karena programnya tersebut, Soetran dijuluki sebagai “Gubernur Cengkih”. Meskipun begitu, program tersebut gagal karena pelaksanaannya yang tergesa-gesa, ketidakpahaman mengenai penanaman Cengkeh, keputusan untuk mengimpor cengke dari Trenggalek meskipun belum diuji kelayakannya, dan kurangnya sosialisasi program. (Wikipedia, 2021).
Meskipun Gubernur Soetran telah gagal dengan program menanam Cengke-nya, tapi paling tidak ia telah memiliki itikad yang baik untuk mencoba program menanam tanaman produktif, yang memiliki nilai ekonomi bagi rakyat tersebut di Irian Kaya kala itu. Suatu tujuan baik, yang sesuai dengan ungkapan kontemplatif dari Bunda Teresa (1910-1997), seorang Biarawati Katolik Roma dari Kalkuta, India bahwa, “Tuhan tidak meminta kita untuk sukses, Dia hanya meminta kita untuk mencoba.* (”)
Discussion about this post