Referensimaluku.id.Ambon-Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI) Ambon melakukan evaluasi kritis atas kinerja Gubernur Maluku Murad Ismail dan Wakil Gubernur Maluku Barnabas Orno yang sejak dilantik pada 24 April 2019 hingga saat ini tidak ada perubahan signifikan terhadap kemajuan wilayah ini.
Pasalnya visi dan misi Gubernur Ismail dan Wagub Orno belum dirasakan seluruh komponen masyarakat Maluku, baik dari aspek peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, maupun pembangunan infrastruktur. Faktanya konsep pembangunan tidak membumi di masyarakat Maluku.
“Tentu ingatan kita masih segar dengan potret yang terjadi beberapa waktu lalu di Seram Bagian Timur yang mana Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 9 Seram Bagian Timur, harus belajar dalam kondisi bangunan sekolah yang sangat memprihatinkan, dan hanya menggunakan satu ruang kelas yang bisa disebut layak, itupun atapnya sudah bocor, plafonnya rusak parah, hal ini bisa berakibat fatal jika tidak segera diperbaiki. Jika hujan tiba, bocoran air membasahi meja dan bangku para pelajar. Bahkan kondisi ini sudah dilalui para siswa selama sembilan tahun,” tegas Ketua DPC GMNI Ambon, Adi Tebwaiyanan, SE kepada Referensimalukuid di Ambon, Senin (14/3).
Sementara itu Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku dinilai lebih banyak menghambur-hamburkan uang dengan cara membangun kafe dan trotoar super licin yang sesungguhnya kurang ada manfaat, tetapi justru membuat banyak rakyat dan warga kota celaka. Pemprov Maluku hanya mengejar keuntungan dan membangun kekuatan kelompok sehingga jumlah penduduk miskin terus bertambah dalam dua tahun terakhir di tengah pandemi virus korona (Covid-19).
“Anggaran jumlah jumbo tersebut berbandig terbalik dengan kondisi saat ini, dan itu semua belum termasuk minimnya tenaga pendidik serta prasarana penunjang kegiatan belajar mengajar lainnya. Mirisnya lagi, untuk memenuhi standar ujian nasional berbasis online kepala sekolah harus meminjam laptop warga di berbagai desa untuk memenuhi kebutuhan siswa,” sambung Tebwaiyanan.
“Selain itu ada juga fenomena masyarakat yang sakit terpaksa dievakuasi menggunakan gerobak dan berjalan 10 kilometer hanya untuk mendapat pelayanan kesehatan di Puskesmas di Kecamatan Kelmury, Kabupaten Seram Bagian Timur. Hal ini membuktikan Maluku benar-benar ada pada situasi yang kronis. visi dan misi gubernur dan wagub Maluku gagal dalam merealisasikan apa yang menjadi dasar mereka menjadi nahkoda kapal besar Maluku”.
“Sebenarnya ada angin segar bagi masyarakat Maluku ketika pemprov Maluku memperjuangkan Blok Marsela, Lumbung Ikan Nasional (LIN), Ambon New port hingga peminjaman Rp 700 Miliar dari PT Sarana Multi Infratruktur (SMI). Hanya saja angin segarnya mulai surut ketika Direktur PT Maluku Energi Abadi mengatakan hasil pengelolaan Blok Marsela, Maluku hanya mendapatkan 10 persen, sementara Maluku merupakan wilayah terdampak dari prosesi pengelolaan Blok Marsela, dan bukan sampai di situ saja, berlanjut pada Lumbung Ikan Nasional dan Ambon New Port yang sampai saat ini tidak ada kejelasannya, sehingga daya eksekusi Murad dinilai lemah”.
“Rp 700 miliar peminjaman Pemprov Maluku dari PT.SMI dengan dalih Pembangunan Ekonomi Nasional seharusnya menjadi kado terakhir dari Pemprov Maluku pada masyarakat Maluku agar setidaknya dapat mengeluarkan Maluku dari garis lingkaran Provinsi termiskin ke empat di Indonesia, namun ibarat crushing blow/pukulan telak yang diberikan Pemprov Maluku untuk rakyatnya. Bagaimana tidak pengalokasian anggaran Rp 700 miliar menurut kami tidak menyentuh wilayah-wilayah yang masih minim fasilitas pendidikan, kesehatan dan lain-lain, sebab faktanya anggaran sebesar itu malahan hanya dialokasikan untuk wilaya-wilayah yang terjangkau dan mudah di akses”.
“Berdasarkan fakta aktual, DPC GmnI Ambon melihat proyek-proyek yang dianggarkan dari hasil peminjaman Rp.700 Miliar dari PT. SMI banyak yang tidak substansi dari konsepsi Pembangunan Ekonomi Nasional (PEN), semisal proyek drainase di Talake, trotoar Kota Ambon yang licin, dan air bersih di pulau Haruku, sehingga ini jelas anggaran Rp 700 Miliar itu hanya proyek mubasir untuk mengejar keuntungan,” tuding Tebwaiyanan.
“Seharusnya dari anggaran Rp. 700 Miliar itu Pemprov Maluku lebih konsern dalam membangun fasilitas pendidikan dan kesehatan yang layak bagi masyarakat, juga membuka akses transportasi bagi wilayah-wilayah yang terisolir sehingga fenemona seperti di SBT tidak terjadi lagi di wilayah-wilayah lain di Maluku. Dengan sistem desentralisasi yang mana memberikan kewenangan dari atas ke bawah itu sudah menandakan Pemprov Maluku merupakan representasi Pemerintah Pusat di daerah yang seharusnya lebih serius melihat problem-problem fundamental yang masih melilit kehidupan masyarakat Maluku. Karena itu merupakan amanah Pancasila dan UUD 1945,” tutup Tebwaiyanan. (RM-05)
Discussion about this post