Referensimaluku.id.Ambon-Kian hari kian tak ada jelas ekspos penetapan tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan Bandar Udara (Bandara) Banda Neira, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku.
Bahkan diduga Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Ambon, Dian Frist Nalle dan anak buahnya di Cabang Kejari Ambon di Banda Neira,M Salahuddin sudah masuk angin karena bungkam ketika ditanyakan kelanjutan pengusutan kasus ini.
Menyikapi hal itu Praktisi hukum di Maluku, Marten Fordatkosu mengatakan jika dalam penyidikan perkara korupsi ketika dilakukan penetapan tersangka minimal penyidik mengantongi dua alat bukti.
Jika dilihat, lanjut dia, perkara korupsi Bandara Banda Neira tersebut merupakan perkara lanjutan dari yang sudah ada. Bahkan ada dua orang yang dinyatakan bersalah dan sementara mendekam di balik jeruji besi Lapas Kelas II A Ambon.
“Kalau sudah ada dua alat bukti yang dianggap cukup, bahkan ini merupakan satu rangkaian dengan kasus yang sudah berkekuatan hukum tetap, mengapa jaksa lama-lama untuk ekspose kasus ini,” heran Fordatkosu, Selasa (1/3/2022).
Marthen menyebutkan terhadap perkara dugaan korupsi bandara Banda Neira, semua fakta-fakta telah clear karena sudah ada putusan tetap pengadilan.
“Menurut saya tidak perlu lagi kejaksaan beralibi macam-macam, karena peristiwa pidana dalam perkara ini diketahui sudah clear, sehingga jaksa perlu menetapkan tersangka dalam perkara ini,” jelas pengacara yang sering menangani perkara tipikor ini.
Jaksa berdarah KKT ini mengatakan, jika dilihat dari perkara ini, pihak Cabjari Ambon di Banda Neira, sudah menaikan dari tahap penyelidikan ke penyidikan. Bahkan statusnya naik penyidikan sejak tahun 2021 lalu. Anehnya, belum juga ada progres lanjutan.
“Kan bukti persidangan itu bisa membuat jaksa lebih gampang mengumpulkan alat bukti. Tapi kalau mandek seperti saat ini pasti dipertanyakan publik. Jadi jaksa diminta tidak tebang pilih, siapa yang bersalah dalam perkara ini harus dijadikan tersangka juga, supaya menjawab rasa keadilan,” tandasnya.
Di tempat terpisah, praktisi Hukum Eduard Diaz melanjutkan, penanganan kasus korupsi yang dilakukan Kejaksaan harus transparan, sehingga tidak membuat publik bertanya-tanya sejauhmana penanganan kasus tersebut. Apalagi kasus yang ditangani penyidik Cabjari Ambon di Banda Neira tersebut sudah naik status dari penyelidikan ke penyidikan.
“Kejaksaan harus transparan dalam penanganan kasus, tidak ada alasan kalau perkara korupsi ditangani lalu kemudian didiamkan. Sebagai praktisi hukum kita mendesak Kejari Ambon dan Kejaksaan Cabang Banda agar segera menggelar ekspos penetapan tersangka di perkara ini,” serunya.
Sebelumnya, Praktisi hukum Fileo Pistos Noija, mengatakan,jika penanganan kasus yang sudah berjalan di tingkat penyidikan tidak ada kejelasan, maka masyarakat yang punya kepentingan dalam perkara ini bisa mengajukan upaya gugatan “class action”. Hal perlu jika memang sudah tidak ada cara lain yang dilakukan agar penyidik segera menuntaskan kasus tersebut.
“Jadi bagi saya ada aturan soal itu, jika memang masyarakat yang merasa ada ketidakadilan serta tidak ada kepastian hukum dalam pengustan kasus ini, maka bisa mengajukan gugatan class action ke pengadilan, yang diwakili satu nama sebagai penggugat,” ujar Noija, Senin (21/2).
Dengan demikian, terhadap seluruh masyarakat yang menganggap dirugikan atas tindakan kejaksaan, atau juga jika memang ada bukti-bukti baru (novum) yang ingin diajukan dalam gugatan itu, segera kumpulkan dan dibawa ke meja hijau.
“Jalan terakhir seperti itu, jika memang kejaksaan sudah tidak lagi konsisten dalam penyidikan kasus,” jelasnya.
Magister hukum Alumni Fakultas Hukum Unpatti ini mengaku, selain mengajukan gugatan PMH oleh masyarakat melalui jalur class action, masyarakat pun bisa melaporkan kinerja kejaksaan ke KPK RI.
“Bisa juga masyarakat yang merasa dirugikan mengajukan laporan ke KPK, dengan meminta agar KPK melakukan supervisi terhadap penanganan kasus tersebut. Jadi intinya banyak jalur hukum yang bisa masyarakat proses demi mencari kepastian hukum dalam perkara ini,” tandasnya.
Sementara pengacara YustinTuny, mengaku, Kajati Maluku Undang Mogopal diminta segera copot Cabjari Banda Neira dari jabatannya.
“Karena Kacab diduga sudah masuk angin dari penyidikan kasus ini, bayangkan, kacab janji akan mengekspos penetapan tersangka awal tahun 2022,namun sampai kini tidak ada tanda-tanda sama sekali,” tandasYustin.
Perlu diketahui saja, dalam perkara ini, terdapat dua terpidana yang dieksekusi pihak oleh Kejaksaan Negeri Ambon Cabang Banda, 24 November 2020 lalu ke Lapas kelas II A Ambon.
Mereka adalah Marthen F. Parinussa dan Sijane Nanlohy, berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI.
Namun terhadap eksekusi yang dilakukan tersebut, pengacara kedua terpidana itu, Yustin Tuny, tidak puas. Karena selain kedua kliennya, ada dugaan keterlibatan sejumlah pihak lain, yang sampai sekarang belum diungkap kejaksaan.
Misalnya, Welmon Rikumahu yang merupakan orang kepercayaan Marthen Pelipus Parinus, untuk mengatur pekerjaan pembangunan standar Runway Bandar Udara Banda Neira tahun 2014.
Tuny menjelaskan, Welmon Rikumahu telah mengakui secara terang-terangan di dalam persidangan, kalau dirinya menggunakan uang negara sebesar Rp 340.000.000 untuk kepentingan pribadi.
Namun keterangan Welmon Rikumahu itu tidak ditanggapi Kejaksaan Negeri Ambon Cabang Banda, alias mengabaikan fakta sidang dalam kasus ini.
“Berdasarkan putusan pengadilan, tindak pidana korupsi pada pengadilan Negeri Ambon, halaman 58, termuat keterangan Wellmon Rikumahu dalam persidangan dibawah sumpah, yang menerangkan kalau dirinya menerima uang sebesar Rp 1. 078.800.000 dari Marthen Pelipus Parinussa, untuk pekerjaan pembangunan Standar Runway Bandar Udara Banda Naira. Sedangkan pada halaman 59, Welmon Rikumahu menerangkan, kalau dia menggunakan uang Rp 340.050.000 untuk membeli mobil truck second dengan harga Rp 138.000.000, dan biaya perbaikan mobil tresebut sebesar Rp 3.000.000,” terang Tuny, beberapa waktu lalu.
Berdasarkan ketentuan Pasal 185 Ayat 1 KUHP, menyebutkan, keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan disidang pengadilan.
Dengan demikiam, katanya, tidak ada alasan dalam bentuk apapun bagi Kejaksaan Negeri Ambon Cabang Banda untuk tidak membuka kasus ini kembali.
“Ya Welmon Rikumahu hebat juga. Dia menggunakan 340 juta untuk kepentingan pribadi, tetapi tidak dijadikan tersangka. Sedangkan Sijane Nanlohy yang menerima fee perusahaan Rp 55.000.000 ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Negeri Ambon Cabang Banda,” Kata Yustin Tuny.
Dia mengaku, kalau memang Kejaksaan berkomitmen untuk memberantas korupsi, maka seharusnya siapapun yang terlibat kasus korupsi, harus dijerat.
Bukan sebaliknya, Marthen dan Sijane Nanlohy dijadikan tersangka, sedangkan Welmon Rikumahu bersenang-senang tanpa merasa terbeban. Padahal dia telah mengaku menggunakan uang negara sebesar Rp 340 juta untuk kepentingan pribadinya.
“Yang pasti, semua orang dimata hukum itu sama. Hanya saja terhadap proses hukum kasus Bandar Udara Banda Neira, Welmon Rikumahu sangat diistimewakan jaksa.Padahal nyata-nyata dia menggunakan 340 juta untuk kepentingan pribadi, tetapi lolos dari jeratan hukum,” katanya.
Selain Welmo Rikumahu, ada juga dugaan keterlibatan Petrus Marina selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Baltasar Latupeirissa selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Ruslan Djalal selaku Bendahara Proyek, Norberta Rerebulan selaku Ketua Unit Layanan Pengadaan Barang dan Jasa (ULP), Sutoyo Direktur CV. Gria Persada (Konsultan Pengawas).
Namun terhadap mereka, Kejaksaan Negeri Ambon Cabang Banda Neira hanya menjadikannya sebagai saksi. Padahal berdasarkan fakta persidangan, mereka juga punya andil yang besar yang mengakibatkan kerugian keuangan negara dalam pekerjaan Bandara Banda. (RM-04/RM-06).
Discussion about this post