Referensimaluku.Id.Ambon-Belajar dari Kasus Ilegal logging di Desa Sabuai, Kecamatan Siwalalat, Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku, yang menyeret CV. Sumber Berkat Makmur (SBM) sebagai perusahaan yang secara nyata merusak hutan adat, mengakibatkan banjir serta mendatangkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat hukum adat di Sabuai, menggugah masyarakat tidak boleh terbuai janji manis setiap perusahaan yang akan berinvestasi di Kabupaten SBT dengan target mencari keuntungan besar, namun akhirnya mendatangkan penderitaan bagi masyarakat di wilayah itu.
Sekretiaris Persaudaraan Etnis Nusantara (PENA) Rahmah Romodar menyatakan belum lama ini ada salah satu investor yang ingin membeli hutan mangrove dari masyarakat hukum adat di Kabupaten SBT. Informasinya hutan mangrove itu akan dijadikan tempat usaha. “Kami menolak tegas rencana penjualan hutan mangrove di Kabupaten SBT,” tegas Romodar kepada Referensimaluku.Id via ponselnya, Sabtu (4/12/2021).
Romodar menyatakan hutan mangrove memiliki fungsi ekologis, ekonomis dan sosial yang penting dalam pembangunan, khususnya di wilayah pesisir. Hutan mangrove dimanfaatkan terutama sebagai penghasil kayu untuk bahan kontruksi, kayu bakar dan bahan baku untuk membuat arang dan juga untuk dibuat pulp. Di samping itu ekosistem mangrove dimanfaatkansebagai pemasok larva ikan dan udang alam.
Saat ini Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kehutanan tengah melaksanakan penanaman mangrove di Kabupaten SBT. Ironisnya, ada masyarakat tertentu di Kabupaten SBT yang ingin menjual hutan mangrove. Lebih parah lagi selain hutan mangrove, lahan atau lokasi yang akan dijual terdapat hutan lindung.
“Ya jadi rencana penjualan hutan mangrove yang ada hutan lindung di sekitanya, kami dengan tegas menolaknya serta akan melakukan pengawasan ekstra. Dalam waktu dekat kami akan menyurati Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Maluku di Ambon dan Kementerian Kehutanan RI di Jakarta,” cetus Romodar.
Romodar menyebutkan di Kabupaten SBT terdapat hutan lindung yang membatasi ruang gerak masyarakat dan untuk dialihkan menjadi milik masyarakat adat sangat sulit. Artinya, tidak ada alasan dalam bentuk apapun untuk hutan mangrove dan hutan lindung dialihkan kepada para korporat yang akan berinvestasi di Kabaupaten SBT. “Yang mau berinvestasi di Bumi Ita Wotu Nusa silakan asalkan masyarakat adat dan daerah tidak dirugikan atau dikorbankan. Kami akan tetap hadir untuk mengawal kepentingan masyarakat hukum adat,” ucapnya.
Seperti diketahui beberapa waktu lalau Masyarakat adat Negeri Banggoi Kecamatan Bula Barat, Kabupaten SBT, Maluku, menolak keras aktifitas perusahaan maupun penebangan hutan mangrove di wilayah petuanan mereka. Sejauh ini, secara turun-temurun masyarakat adat hidup bersama alam. Keseluruhan marga Baliman tidak pernah menandatangani surat kuasa maupun menyetujui penjualan hutan mangrove karena sejak awal marga Baliman dengan tegas menolak penjualan hutan mengrove.
Keluarga Baliman hanya memberikan kuasa kepada pengacara dan pengacara mereka telah membuat laporan ke Komandan Polisi Militer Kodam (Danpomdam) XVI/Pattimura maupuan mendapingi Rivalda Baliman di Polres SBT untuk membuat laporan pengaduan terkait pengrusakan baleho yang dipasang keluarga Baliman. Pengacara Baliman juga telah menyurati Dishut Provinsi Maluku dan jawaban dari Dishut Provinsi Maluku sudah ada dan isi surat tersebut jelas dan tegas dan hal itu merupakan pegangan bagi keluarga Baliman. Kaluarga Baliman tidak pernah memberikan kuasa kepada oknum atau orang tertentu untuk bertindak atas nama keluarga Baliman.
“Ya Kuasa yang diberikan hanya kepada pengacara yang lain tidak ada. Jangan membawa-bawa nama keluarga Baliman,”Kata Aziz Baliman.(RM-03)
Discussion about this post