Oleh: Darno Bin Jumat
Penulis adalah Magister Universitas Muhamadiyah Jakarta
Referensimaluku.id,. DALAM momentum peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Againts Gender Violence) dan menyongsong Hari Hak Asasi Manusia (Human Rights Day) yang berlangsung dari 25 November 2021 hingga 10 Desember 2021. Tidak ada salahnya jika kita bahas mengenai substansi dari Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.
Permendikbudristek tersebut menjadi perdebatan di berbagai kalangan, entah itu kalangan akademisi, praktisi, politisi maupum mahasiswa (milenial), secara formil dan materilnya (normatif maupun perancangannya). Mengacu pada konsiderannya (menimbang) maka ada beberapa hal yang sangat penting yang perlu dikemukakan, yakni “Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual sesuai dengan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945”, “Bahwa dengan semakin meningkatnya kekerasan seksual yang terjadi pada ranah komunitas termasuk perguruan tinggi secara langsung atau tidak langsung akan berdampak pada kurang optimalnya penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi dan menurunkan kualitas pendidikan tinggi”, dan “Bahwa untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di perguruan tinggi, perlu pengaturan yang menjamin kepastian hukum dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi”.
Hal-hal tersebut merupakan bagian integral dari tanggung jawab dan kesadaran moral lKemendikbudristek dalam memberikan perlindungan warga negara yang sedang menjalankan studinya. Maka dari itu, Nadiem Makarim (Mendikbud) menegaskan bahwa pembuatan peraturannya telah melibatkan berbagai pihak terkait dan telah mengikuti prosedur perancangan undang-undang. “Droit ne done, pluis que soit demaunde atau hukum memberi tidak lebih dari yang dibutuhkan. Permendikbudristek 30/2021 ini akan mencapai ketiga tujuan hukum, yaitu kepastian, keadilan dan kemanfaatan”, (MataNazwa – Nadiem Makarim).
Mencermati Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, penulis mengkritisi beberapa hal yang paling mendasar, di antaranya:
Pertama, Tidak dicantumkannya UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU Pornografi di dalam konsideran Permendikbudristek 30/2021. Urgensi UU ITE dan UU Pornografi sangatlah penting guna pelaku kekerasan seksual tidak berdalih dan menutut dengan alasan pencemaran nama baik.
Kedua, Frasa “tanpa persetujuan korban”, “dengan sengaja” dan “persetujuan korban” dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Permendikbud 30/2021 sangat multitafsir atau kontraproduktif. Sehingga telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam upaya mencapai tujuan permendikbud tersebut. Dalam pembuatan hukum harus memerlukan kajian bersama khususnya dengan civitas akademik dan harus memperhatikan asas pembentukan peraturan perundang undang-undang sebagaimaimana termaktub secara eksplisit dala Pasal 5 UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Makanya statement Nadiem perlu dipertanyakan sepanjang berkaitan dengan tujuan hukum, yaitu “kepastian, keadilan dan kemanfaatan”.
Ketiga, Pasal 5 ayat (3) Permendikbudristek 30/2021 yang menjabarkan unsur “persetujuan korban” mencakup tidak dalam tekanan, sadar dan tidak rentan. Dalam hukum, hal ini berkaitan dengan kecakapan seseorang sebagaimana yang berbunyi dalam Pasal 1329 KHUPerdata, akan tetapi pengakuan atas dasar itu jangan mengesampingkan berlakunya nila-nilai yang juga hidup di masyarakat seperti agama moralitas, kesusilaan dan adat istiadat.
Keempat, selanjutnya Permendikbudristek 30/2021 tersebut tidak mempertimbangkan adanya sanksi pidana oleh pelaku kekerasan seksual. Kekerasan seksual seharusnya terjerat sanksi pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 289 hingga Pasal 296 KUHPidana dengan sanksi pidana yang setimpal.
Kelima, selain itu, Pasal 46, 47 dan Pasal 48 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pelaku kekerasan seksual diberikan sanksi, dengan hukuman penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun serta hukuman denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Keenam, sanksi administrasi juga diperlukan, tetapi efektivitasnya bergantung kepada pelaksanaan peraturan di perguruan tinggi masing-masing.(*)
Discussion about this post