Referensimaluku.Id.Ambon – Maria Ressa, jurnalis asal Filipina, mendapat penghargaan Nobel Perdamaian 2021. Maria dipilih sebagai pemenang Nobel Perdamaian karena kegigihannya dalam memperjuangkan kebebasan pers di Filipina.
Beberapa upaya represi dan pembungkaman yang dilontarkan oleh Pemerintah Filipina di bawah kepemimpinan Rodrigo Duterte terhadapnya tidak membuat semangatnya surut.Dalam memperjuangkan kebebasan pers dan demokrasi di Filipina, Maria bergerak bersama dengan Rappler, media Filipina yang ia pimpin.
Rappler pertama kali hadir pada 2011 sebagai sebuah halaman Facebook bernama Move.PH. Kemudian, pada 2012, Move.PH akhirnya mempunyai halaman daring tersendiri bernama www.rappler.com. Dilansir dari rappler.com sebagaimana dikutip referensimaluku.id dari Tempo.Co hingga saat ini, Rappler berinisiatif untuk menjadi media yang memperjuangkan kebebasan berpendapat dan memperbesar partisipasi publik dalam berbagai permasalahan sosial.Ide untuk membangun Rappler tidak datang dari kepala Maria seorang.
Selepas menamatkan pendidikan dari Princeton University dan pulang ke Filipina, Maria sempat menjadi Kepala Biro Cable News Network (CNN) di Filipina dan Indonesia hingga 2005. Setelah keluar, Maria terlibat diskusi bersama teman-temannya yang juga merupakan jurnalis. Mereka mencoba menjawab beberapa permasalahan terkait dengan berbagai upaya represi kebebasan berekspresi.Maria bersama teman-temannya pun akhirnya membentuk Rappler.
Pada waktu itu, Rappler didukung oleh tiga media besar di Filipina, yakni Newsbreak, Dolphin Fire, dan Hatchd. Tiga media besar tersebut mampu menjadi pendukung dari Rappler karena orang-orang yang ada di balik tiga media tersebut merupakan teman Maria sendiri, yang juga memiliki visi dan misi sama seperti dirinya. Pembiayaan awal Rappler berasal dari tiga media tersebut.Beberapa tahun berjalan, Rappler akhirnya mendapat pendanaan tambahan dari beberapa pihak.
Pada Mei 2015, North Base Media (NBM), perusahaan investasi internasional yang berfokus terhadap pendanaan media-media independen, memberikan pendanaan terhadap Rappler. Beberapa investor lain pun menyusul setelahnya yang kemudian membuat Rappler semakin militan.Karena militansinya, Rappler menerima banyak tekanan dari Pemerintah Filipina. Dikutip dari Koran Tempo, ketika melaporkan mengenai cara-cara pendukung Duterte memanipulasi lawan politiknya di Facebook, Rappler mendapat serangan daring secara agresif. Upaya represi terhadap Rappler mencapai puncaknya pada 2018 ketika Pemerintah Filipina mencabut izin operasi Rappler. Pada saat yang sama, Maria juga dipidanakan oleh Pemerintah Filipina. (RM-03)
Discussion about this post